"Aku sudah melakukan penyelidikan awal dan menanyai roh-roh penunggu rumah di area ini. Mereka curiga Farrel dibawa oleh kalong wewe ke rumah kosong milik Almarhum Pak Danu."
"Rumah angker di atas bukit itu? Rumah tanpa atap yang Sebagian besar dindingnya sudah runtuh?"
Tama dan Ismi kompak mengganggukkan kepala.
"Aduh, rumah itu seramnya luar biasa. Tapi, kita mencarinya saat terang matahari, kan?" Tegasku.
Tama dan Ismi menatapku datar.
"Ya. Ya. Aku mengerti. Kita harus mendatanginya tepat tengah malam."
"Tidak perlu tengah malam. Sehabis Magrib juga sudah bisa," ujar Tama. "Malam ini juga kita berangkat."
"Aku juga akan ikut."
"Ismi, kau tak perlu ikut. Biar kami, para pria, yang menghadapi kalong wewe," kata Tama gentle. Ia sedikit membusungkan dadanya yang kurus. Seringkali aku heran pada Tama yang selalu terlihat kurus padahal ia makan begitu banyak. Mungkin hantu kucing memang makan, tapi nutrisinya hilang entah ke mana.
"Tidak. Aku tetap ikut. Aku sangat khawatir pada Farrel. Aku bisa menghibur Farrel. Sebenarnya, ia indigo dan bisa melihatku."
"Dasar perempuan. Tak mau mengerti bahwa perburuan ini berbahaya." Tama menyerah sembari menggerutu. Misainya bergerak-gerak lucu.