"Baik, Kakek Tama. Hamba siap menerima perintah," kataku sembari membungkukkan badan sembilan puluh derajat. Ternyata itu posisi salah. Tama langsung mengambil kesempatan dan menjitak kepalaku dengan penuh semangat.
"Aduh! Keras sekali kau memukul kepalaku," protesku. "Bisa benjol sebesar telur burung unta."
"Supaya pikiranmu Kembali jernih. Ada yang harus kita diskusikan."
"Mengenai apa?" Tanyaku sembari duduk di atas bantal lantai bermotif macan tutul. Aku memeluk boneka guling berkepala beruang, hadiah dari Ranko-chan. Aku sungguh-sungguh iri pada dirinya. Gadis imut keturunan Jepang itu sedang study tour ke Lembang. Via status WhatsApp, ia memamerkan dirinya sedang memetik stroberi dengan kawan-kawan sekolahnya. Ia memeras susu sapi. Ia mandi air panas di Ciater. Bahkan, ia juga makan telur rebus yang dimasak dengan air panas di Ciater tersebut. Aku mengirimkan pesan WhatsApp pada dirinya. Cukup pamer wisatanya. Ia malah membalas dengan emoticon beruang menggoyangkan pinggulnya. Hey!
Tama menghela napas. "Ini persoalan rumit. Aku mendengar kabar buruk dari Ismi, hantu kucing sebelah rumah. Farrel, anak Pak Rama, menghilang sejak kemarin sore."
"Kemudian, apa hubungannya denganku? Seharusnya Pak Rama menghubungi polisi."
PLETAK!
Aku meringis kesakitan. Jemariku meraba jidatku. Hantu kucing yang satu ini sungguh-sungguh pemarah.
"Dengar dulu penjelasanku."
Aku mengganggukkan kepala ala militer.
Tama menggeram, "Ismi berkata terakhir kali ia melihat Farrel di halaman belakang rumahnya saat menjelang Magrib. Ia mendengar kepakan sayap. Tiba-tiba Farrel menghilang."