"PEREMPUAN JAHANAM! MENGAPA KAU REBUT SUAMIKU? PADAHAL KITA INI SAHABAT," jerit Tari. Ia menempeleng Rani sekuat tenaga.
"Sudah, Tari! Sudahlah! Malu dilihat orang," bujuk Heru, suami Tari yang tampan. Peluh sebesar telur puyuh bercucuran di pelipisnya.
Tari menatap tajam sang suami yang telah hidup bersamanya selama 10 tahun. Ia pun menjewer telinga kanan Heru yang tak kuasa melawan. "KAU GANJEN SEKALI, BANG! PUBER KEDUA DENGAN JANDA? PUAS SUDAH SAKITI HATIKU?"
"Aku tidak bermaksud selingkuh. Tapi..."
"TAPI APA?"
Heru menghela napas panjang. Serasa ada katak raksasa di kerongkongannya, tapi ia harus mengucapkannya. "A...aku...aku cinta pada Rani. Aku tak bisa menghilangkan rasa cinta ini."
"KAU TAK MEMIKIRKANKU DAN ANAK-ANAK."
Dengan ekspresi sesendu kucing yang tak makan seminggu, Heru berbisik. "Habis mau bagaimana? Perasaan cinta kan datangnya dari Allah Swt. Kalau kau keberatan dengan cintaku pada Rani, kau tanya saja pada Allah Swt."
"KAU KUALAT. KAU BERDALIH CINTA DENGAN MEMBAWA NAMA YANG MAHA KUASA. SADARLAH, BANG! KAU SUDAH GILA KARENA CINTA," jerit Tari bertambah murka. Ia pun menuding sang mantan sahabat. "DAN KAU? MENGAPA KAU LAKUKAN INI? KAU DENDAM PADAKU? APA SALAHKU PADAMU?"
Ekspresi wajah Rani sedingin es. Ia mengangkat bahu. "Kau tak salah apa pun. Suamimu yang mengejar-ngejarku. Tanyakan saja pada dirinya." Tanpa mempedulikan suami istri yang sedang bertengkar tersebut, ia pun berlalu begitu saja. Andai saja pasangan tersebut melihatnya. Pasti mereka merinding karena senyuman tipis penuh kepuasan yang bermain pada bibir cantik sang pelakor.
Rani puas karena Heru sudah memberikan sebidang tanah seluas 300 m2 untuk dirinya bulan lalu. Ia tak menginginkan apa pun lagi. Sudah saatnya menjerat korban baru.