"Buktikan dong! Jika orangnya cantik sepertimu, pasti pup-mu juga cantik. Kan sudah kubilang kalian buang air besar di toilet kami saja. Eh, sudah dipersilakan, malah menuduh kita akan mengintip kalian. Tak baik berburuk sangka," ceramah Indra dengan suara cempreng bernada 7 oktaf.
"Kau ingin semua orang tahu?" Bisik Arin panik sembari menoleh ke kiri dan kanan. "Kuadukan kau ke Nisa. Siapa yang mau dengan pria cerewet sepertimu? Kau kan tahu toilet kalian itu hanya bangunan setengah jadi."
Indra menyeringai puas. "Benar kan. Arin jorok. Mencemari lingkungan. Mengapa sih tak kau tuang saja pup-mu itu ke lubang kloset kami? Atau, kau mencret, ya? Ih...cantik-cantik kok mencret..."
"DIAM! Jika tak diam juga, kulempar kau dengan benda ini tepat di mulutmu."
Indra dan Rudi tertawa terbahak-bahak. Puas rasanya menggoda Arin yang biasanya tenang dan dewasa. Sekarang Arin menggali tanah dengan bantuan ranting, disaksikan tatapan kedua temannya yang usil itu. Melihat mulut Arin yang manyun, mereka pun terkekeh sembari berbisik-bisik. Arin persis kucing...
***
"Nisa, mengapa wajahmu pucat pasi seperti itu?" Tanya Indra penuh perhatian pada gadis pujaannya. Ia sedang duduk santai di teras rumah milik Pak Iman yang disewa kelompoknya untuk KKN. Bibirnya yang seperti ikan cucut, sibuk meniup kopi panas sehitam tinta.
"Aduh, celaka. Rumah yang kutempati, klosetnya macet. Sudah kusiram 3 ember air tetap macet."
"Ah, soal kecil itu. Kau coba saja campuran cuka, baking soda, dan air panas. Pasti lancar lagi."
"Aneh banget. Kayak bikin kue saja pakai baking soda."
Indra mengangkat bahu sembari berdiri hendak meninggalkan Nisa. "Ya sudah, kalau tak percaya."
"Eh, tunggu. Kau punya cuka dan baking soda-nya?"