"Cantiknya! Tidak hanya jelita. Sakti benar gadis itu. Aku harus memperistrinya," kata Danar yang kagum dengan kemampuan seorang gadis rupawan yang dapat terbang dengan lincah di antara pohon kelapa. Bahkan, gadis itu bisa berdiri dengan santai di ujung daun kelapa. Tak sekali pun ia kehilangan keseimbangan. Ia pun mengejar sosok gadis itu hingga gadis itu menapak di tanah.
"Mengapa kau mengejarku? Apakah kita saling mengenal?" Tanya Mala. Ia mengkerutkan alisnya yang indah dengan mimik bertanya.
"Maafkan aku jika tingkah lakuku kurang sopan. Aku ingin berkenalan denganmu. Namaku Danar. Aku baru saja pindah ke area ini. Aku membeli kayu jati dari perkebunan rakyat dan menjualnya di Singapura," kata Danar.
"Aku Kemala. Orang-orang biasa memanggilku Mala. Aku anak Pak Hanafi. Abang kenal dengan ayahku?"
"Tentu saja. Siapa yang tak kenal dengan Pak Hanafi, tetua dukuh ini yang baik hati dan terpandang? Beliau selalu membantu warga pendatang dengan tulus."
Mala tersenyum mendengar antusiasme Danar. Memang ayah Mala banyak disukai orang karena keramahannya.
  Sejak saat itu hubungan Danar dan Mala menjadi dekat. Mereka sering jalan bersama. Danar yang tampan, rajin, dan pandai bernyanyi lagu romantis sembari memetik gitar merupakan pujaan gadis-gadis di Dukuh Raya, tak terkecuali Mala. Danar simpatik. Bahkan, jika Mala merajuk pun, Danar tetap sabar menghadapinya.
"Mala, maukah kau menikah denganku?" Tanya Danar dengan tegas. Ia tidak mau jika Mala si kembang desa, kepincut dengan pria lain. Ia tahu ada beberapa pemuda desa yang menaruh harapan untuk mempersunting Mala.
"Hati Abang sudah mantap menjadikanku istri?" Tanya Mala dengan suara halus. Wajahnya tersipu karena ditatap begitu lekat oleh Danar. "Kita baru berkenalan selama sebulan. Nanti Abang menyesal ketika bertemu dengan gadis lain yang melebihi Mala."
"Mana mungkin aku menyesal. Aku merasa kau memang jodohku. Akhir minggu ini aku akan melamarmu ke orangtuamu. Apa mahar yang kau inginkan?"
Mala tidak menjawab pertanyaan Danar. Ia hanya tersenyum manis dengan pikiran menerawang. Hubungan cintanya dengan Danar begitu mulus. Semua terasa begitu indah.
Pernikahan Danar dan Mala pun berlangsung dengan meriah. Hampir semua warga Dukuh Raya datang ke pernikahan mereka.
   Danar membeli sebuah rumah kayu yang cukup besar di dekat perbatasan desa dengan hutan. Rumah panggung itu tampak asri dengan banyaknya pepohonan sebagai latarnya. Jendela-jendelanya besar dengan tirai anyaman bambu yang artistik. Terasnya sangat nyaman hingga ia selalu menikmati kopi tubruk saat petang hari di area tersebut.
    Â
***
Akhir-akhir ini Dukuh Raya dicekam ketakutan. Para suami melindungi istri-istri mereka yang sedang mengandung dengan selalu memalang pintu rumah. Mereka berusaha tidak meninggalkan rumah saat malam hari untuk menemani istri-istri mereka. Para pria dewasa di Dukuh Raya pun melakukan patroli malam secara bergiliran.
 Â
   Sudah lima bayi yang mati mengenaskan dalam tempo dua bulan ini. Mayat-mayat bayi tersebut ditemukan di halaman rumah mereka atau pun tergeletak begitu saja di tanah perkebunan kelapa sawit.
Masyarakat Dukuh Raya sering mendengar lolongan mengerikan di tengah malam. Suara perempuan yang melengking tinggi menembus keheningan alam. Â Tidak ada orang yang tidak merinding ketika mendengar jeritan yang mencekam tersebut.
"POPO...POPO...POPO..."
Jika suara Popo terdengar, maka keesokan harinya pasti ada bayi yang menjadi korban keganasan hantu tersebut. Oleh karena itu, masyarakat Dukuh Raya menyebutnya Hantu Popo.
***
"Berhati-hatilah! Kunci rumah dengan baik. Juga palang pinKau tahu kan sedang ramai tersiar adanya Hantu Popo di Dukuh Raya. Walaupun korbannya selalu bayi, tak ada salahnya jika kau pun menjaga diri. Aku akan menginap di desa sebrang selama beberapa hari untuk transaksi kayu pinus," kata Danar penuh khawatir. "Benar? Kau tak apa-apa tinggal sendiri? Perlukan aku menyewa tenaga Lala atau gadis dukuh lainnya untuk menemanimu? Jangan merasa segan padaku untuk meminta tolong."
Mala menggelengkan kepala. "Tak perlu. Aku akan menjaga diri dengan baik."
"Kau benar-benar gadis pemberani. Tak salah aku memilihmu sebagai istriku," puji Danar sembari menjentik hidung Mala yang mancung. "Ya, sudah. Aku pergi dulu, ya. Aku akan berusaha menyelesaikan urusanku sesegera mungkin."
Seperti biasa, Mala pun mengantarkan Danar hingga batas pagar rumah. Ia melambaikan tangan ketika Danar terus-menerus menoleh ke arah dirinya sembari berjalan menjauh. Mala merasa tingkah laku Danar begitu manis.
***
"Aduh, berkas dokumenku malah ketinggalan," gerutu Danar. Ia mempercepat langkah kakinya menuju rumahnya. Hari menjelang malam. Suasana begitu gelap gulita. Danar hampir tak bisa melihat jalan setapak di depannya.
KRESEK. KRESEK.
Angin kencang bertiup hingga menyibakkan daun-daun kelapa sawit seperti sibakan jari-jemari. Tampaklah sesosok bayangan bergaun putih. Danar tercekat karena ia sangat mengenali sosok bayangan itu. Apa yang sedang dilakukan Mala? Padahal Danar sudah berpesan agar Mala tak keluar rumah jika hari sudah larut malam.
Danar pun berjalan mengendap-endap dan mengikuti sosok Mala yang begitu ringan bergerak melompat dari satu pohon kelapa sawit ke pohon kelapa sawit lainnya. Danar tak mempercayai pandangannya. Mala sedang membopong bayi merah. Mulut Mala berlumuran darah. Pipi Mala pun terpercik darah segar bayi malang tersebut. Danar merasa mual ketika gigi taring Mala mencabik usus bayi tersebut.
"POPO...POPO...POPO."
Danar merasa jengkel dan malu dengan kelakuan biadab Mala. Ia tak peduli lagi. "Mala, turunlah kau. Mengapa kau menganut ilmu hitam dan membunuh bayi malang tersebut?"
Mala yang berada di atas pohon kelapa sawit pun terkejut dan menjatuhkan mayat bayi itu. "Danar, aku bisa menjelaskannya. Mengapa kau berang? Aku hanya mempertinggi ilmuku agar bertambah sakti. Bukankah kau juga tertarik dengan diriku karena kesaktianku?"
"Cukup. Aku sangat kecewa. Kupikir kau tidak menganut ilmu hitam. Mulai sekarang kita bukan lagi suami-istri."
Mala menatap Danar dengan berang. "Terserah. Tapi, aku akan tetap menghantui keluargamu. Aku akan mendampingi setiap keturunan lelaki di keluargamu."
***
Danar termenung. Kilasan kejadian mengerikan itu masih segar dalam benaknya. Ia bisa melihat bayangan Hantu Popo di sisi Alfi, cucu laki-lakinya yang baru berumur 7 tahun. Sosok Mala yang berwujud Hantu Popo masih secantik ingatan Danar. Setiap orang yang mengganggu Alfi pasti menemui nasib tragis. Kakak kelas Alfi yang sering membully Alfi, tiba-tiba mengalami patah tulang kaki karena kecelakaan lalu lintas. Tetangga yang menghina Alfi, mengalami kanker mata. Dan masih banyak lagi kejadian kebetulan yang menimpa orang-orang yang memusuhi Alfi. Terlampau banyak tragedi yang terjadi secara kebetulan.
"Kakek, lihatlah mainan robotku ini! Kakak perempuan cantik itu  baru saja memperbaikinya," celoteh Alfi.
Danar menatap wajah Mala yang tersenyum menyeringai. Ia menghela napas. Perempuan memang keras kepala. Entah itu manusia ataupun hantu.
____
Dear Pembaca,
Ada yang mau ditemani Popo?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H