Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Kipas Putri Alam

24 Mei 2024   08:27 Diperbarui: 24 Mei 2024   08:29 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kipas kertas buatan Edo sangat terkenal. Kipas bergaya Jepang itu terbuat dari kertas putih kaku yang dilukis dengan tinta. Yang menjadi ciri khas lukisan Edo ialah sosok perempuan cantik yang selalu hadir dengan berbagai latar pemandangan atau spot terkenal. Semua penggemarnya penasaran siapa sebenarnya sosok yang menginspirasi Edo yang tampan dan hidup membujang hingga usianya 30 tahun?

Walaupun wajah Edo yang keturunan Jepang, tampan dan halus bagaikan tokoh boyfriend dalam manga, tapi karakteristiknya sama sekali berbeda. Ia pendiam, dingin, dan kasar. Oleh karena itu, orang-orang terdekat Edo heran bagaimana mungkin pria kaku yang tak pernah berhubungan dengan perempuan seperti Edo, dapat melukis sosok perempuan cantik dengan begitu menawan. Perfeksionis. Mungkin itulah kuncinya. Edo hidup dalam dunianya yang idealis dan penuh aturan. Padahal kecantikan itu bukan kesempurnaan.

Edo mengeluarkan seri kipas Putri Alam yang hanya dibuat sebanyak 5 buah. Kipas Putri Alam terdiri atas 5 unsur alam, yaitu Putri Bumi, Putri Angin, Putri Air, Putri Api, dan Putri Logam. Ada kolektor yang ingin memborong kelima kipas tersebut, tapi Edo menolaknya. Ia tidak menjual seri kipas Putri Alam, tapi menghadiahkannya pada kelima perempuan cantik yang merupakan tokoh terkenal sehingga otomatis mereka merupakan Brand Ambassador kipas buatan Edo. Kipas Putri Bumi diberikan pada Vera Andriani, seorang gadis bersahaja yang senang melakukan kegiatan kemanusiaan.  Kipas Putri Angin diberikan pada Livia Samara, artis cantik yang memenangkan banyak penghargaan. Kipas Putri Air diberikan pada Mariska Donna, seorang penari tarian tradisional. Kipas Putri Api diberikan pada Rosa Nadila, politisi perempuan yang masih berusia muda dan orator ulung. Dan yang terakhir, Kipas Logam diberikan pada Diana Angelina, seorang chef dengan spesialisasi kuliner Asia.

Saat launching, publik menyambut kipas seri Putri Alam dengan heboh. Kipas-kipas tersebut memang begitu cantik. Begitu pun dengan yang menerimanya. Banyak perusahaan besar yang mensponsori acara launching tersebut karena acara launching tersebut juga merupakan acara amal untuk yayasan kanker. Edo melelang beberapa kipas buatannya yang bukan kipas seri Putri Alam dan berhasil terjual dengan harga fantastis.

Sudah dua bulan berlalu sejak acara launching tersebut. Edo tak habis pikir dari mana awalnya isu tak mengenakkan ini. Kipas-kipas seri Putri Alam diberitakan di berbagai media sebagai kipas pembawa kemalangan karena satu per satu penerima kipas tersebut meninggal dunia secara misterius kecuali Diana. Vera tewas karena tenggelam di sungai ketika membantu korban banjir. Livia tewas karena overdosis obat tidur. Mariska tewas karena terjatuh dari tangga. Dan Rosa tewas ditikam di gang sepi dan pembunuhnya belum tertangkap. Uniknya, masing-masing kipas yang dimiliki para korban tersebut raib sehingga polisi menduga pencurilah yang melakukan pembunuhan berantai tersebut.

"Hallo, Diana? Kita bisa bertemu besok jam 4 sore di Caf Miracle?" Tanya Edo. "Tidak, tidak ada apa-apa. Tapi, aku ingin berdiskusi mengenai kematian beruntun penerima kipas seri Putri Alam."

Edo menutup sambungan telepon setelah Diana menyetujui permintaannya. Ia menghela napas berat. Setidaknya, ia berusaha agar tidak jatuh korban lagi. Ia merasa begitu berdosa jika benar kipas buatannya yang memicu tragedi.

***

Edo menatap jemari-jemari Diana yang dibalut perban. "Kau mengalami kecelakaan di dapur?"

Diana tertawa riang. "Ya, biasalah. Aku kan setiap hari bergelut dengan api dan panas."

"Diana, apa kau memiliki dugaan mengenai pelaku pembunuhan berantai pada pemilik kipas seri Putri Alam?"

"Tentu saja tidak. Kak Edo percaya pada takhayul bahwa kipas tersebut membawa kemalangan? Aku tidak."

"Tapi, sudah terbukti kipas-kipas tersebut raib. Berarti ada kaitan antara kipas dan pembunuhan."

"Itu kan hanya spekulasi di media massa."

"Ah, kau ini gadis yang sangat optimis. Apa kau tak memiliki rasa takut sedikit pun? Mungkin saja kau yang menjadi incaran selanjutnya."

"Kak Edo mengharapkan aku mati?" Tanya Diana sembari tergelak.

Mendengar pertanyaan sarkastis tersebut, Edo terpana. "Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin kau berpikiran seperti itu? Bagiku, kau spesial. Tidak banyak orang yang tahu bahwa kau saudara tiriku."

"Tepatnya, aku anak haram Ayah," kata Diana dengan sinis.

"Jangan berkata begitu. Ayah sangat mencintaimu walaupun ia malu mengakuinya."

Pada saat yang bersamaan, Diana mendendangkan lagu Michael Learn to the Rock, Paint My Love. Seolah-olah ia tidak mau mendengarkan perkataan kakak tirinya mengenai sang ayah.

Edo menghela napas. "Bagaimana jika kita menyewa villa di Lombok? Kita bisa tinggal sementara waktu hingga polisi berhasil menangkap pembunuh berdarah dingin tersebut. Jika kau setuju, aku akan mengatur segalanya dan meminta Bu Arin untuk tinggal bersama kita. Ia sangat pandai memasak. Pak Ali, suami Bu Arin merupakan pensiunan polisi. Aku yakin kau akan aman bersama kami."

Diana menatap kakak tirinya dengan pandangan merenung, "Kau yakin? Kau tak takut dengan gosip yang akan menerpamu jika kita ketahuan tinggal bersama?"

"Kita tidak tinggal berdua, tapi berempat dengan Pak Ali dan Bu Arin."

"Gosip terbakar seperti api."

"Aku tak peduli. Tinggal kau keluarga yang kupunya," seru Edo dengan jengkel.

"Bagaimana dengan fansmu yang mayoritas perempuan?"

"Kau tahu sendiri aku orang yang sudah mati sejak Rina kecelakaan kapal laut tujuh tahun yang lalu. Mungkin kau yang takut akan gosip mengenai kita akan mempengaruhi calon pasanganmu? Aku siap jika harus membukakan rahasia keluarga kita mengenai hubungan darah kita."

"Aku tak menyangka nasib malang menghampiri Kak Rina. Padahal kalian baru saja bertunangan. Saat itu aku baru berumur 17 tahun dan Kak Rina berumur 20 tahun," gumam Diana. "Kak Edo begitu terobsesi olehnya hingga melukis sosoknya dalam setiap kipas.  Aaah, aku iri akan cinta kalian. Aku tidak memiliki satu pun calon pasangan hidup. Mengapa Kak Edo berpikir seperti itu? Kak Edo mengerti kan pandanganku akan cinta?" Tanya Diana dengan mata berkilat tajam hingga Edo tak sanggup menatapnya dan mengalihkan pandangan.

"Aku anggap kau setuju dengan rencanaku. Kita berangkat besok malam ke Lombok. Aku akan menjemputmu."

"Secepat itu?"

"Aku tak mau mengambil risiko. Kau juga jangan memberitahu siapapun engkau pergi ke mana. Katakan saja kau pergi berlibur ke luar negeri untuk urusan kerjaan."

Diana mengangguk.

***

Sempurna! Diana sangat bahagia tinggal bersama dengan Edo. Pak Ali dan Bu Arin juga tipe pendiam sehingga tak pernah menganggu privasi Diana. Sudah sebulan mereka semua tinggal bersama di Lombok. Debur ombak menemani mimpi-mimpi panjang Diana. Belum pernah ia tidur selelap ini.

Diana baru menyadari dunia itu begitu indah jika bersama orang tersayang. Edo yang selalu membangun pertahanan sekuat Tembok Berlin, akhirnya luluh. Ia memang kakak yang penyayang walaupun ia otoriter. Tapi, jauh di lubuk hati Diana, banyak kata yang berlarian. Mengapa? Andaikan. Jika saja...

Tidak ada seorang pun yang mengerti keresahan hati Diana. Masa kecil Diana suram dan penuh hinaan karena Diana anak di luar pernikahan. Hanya Edo yang mengulurkan tangan pada Diana. Hanya Edo yang menganggap Diana itu anak peri hutan, dan bukan onggokan dosa.

"Ada paket untukmu. Aneh, apa kau memberitahu alamat ini ke temanmu?"

Diana menggelengkan kepala. Ia membuka paket tersebut dan terpana. Ada sebuah kartu pos yang bertuliskan: AKU TAHU APA YANG KAU LAKUKAN. RINA.

"Diana, apa yang telah kau lakukan?" Tanya Edo dengan suara panik. Ia menunjuk kotak peti kecil tersebut yang berisi 4 kipas lukis yang tersusun rapi.

Diana ingin waktu berhenti detik ini juga. Atau, ia mati saja saat ini. Ia tak sanggup melihat rasa kecewa yang membanjiri kedua pupil mata berwarna cokelat hangat tersebut. Ia tak sanggup...

"Kak Edo, aku bisa menjelaskannya..."

___

Dear Pembaca,
Apa yang akan kalian lakukan jika seseorang terobsesi dengan diri kalian?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun