Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kuliah itu Kebutuhan Tersier?

6 Juni 2024   05:08 Diperbarui: 6 Juni 2024   05:33 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Untuk apa lanjut S3? Tak berguna," ujar salah satu dosen yang mengujiku saat tes masuk. 

Aku ingin tertawa saat mendengar pertanyaan tersebut karena hal tersebut diucapkan oleh seseorang yang memiliki ijazah S3.  Sementara saat itu, aku mengejar LoA S3 karena syarat menjadi peneliti atau pun dosen harus memiliki ijazah S3. Tapi sekarang susah menjadi dosen karena latar pendidikanku tak linear. Saat itu sedang semangat mengejar beasiswa S3. Sayangnya, gagal masuk tes S3. Ya sudah, bukan nasibku. Lagipula aku memang tak ikut tes masuk S3 Universitas lain karena budgetku terbatas.  Masih ada banyak jalan menuju Roma.

"Bapak tidak akan menghalangi niatmu. Kau ini seharusnya jangan meneruskan studi S3 di kampus ini. Tak ada lagi yang bisa kami ajarkan. Sebaiknya, lanjut studi di kampus lain," saran dosen penguji lainnya sembari tertawa.

Kalau ditanya kecewa tidak saat itu? Ya, sangat lelah dengan segala persiapannya. Bayangkan saja. Saat itu baru lulus S2, langsung kebut buat proposal disertasi 25 halaman. Ikut tes potensi akademik dan TOEFL. Lalu, mengurus segala syarat dokumen yang banyak sekali. Jika tak salah, ada 10 syarat dokumen.

Dosen pembimbingku saat S2 terkejut saat aku ditolak karena ia yang menulis surat rekomendasi untukku. Tak heran sih biasanya yang S3 itu harus sukses dalam karir (biasanya direktur, manajer, dll). Sementara pengalaman kerjaku di UKM dipandang kurang memadai (padahal yang memiliki UKM tempatku kerja itu guru besar di Universitas tersebut, tapi dosen penguji tak mengetahuinya). Selain itu, sepertinya topik proposal disertasi yang kuajukan kurang luas cakupannya. Pokoknya, dosen pembimbingku jauh lebih kecewa dibandingkan aku. Dosenku itu memang baik sekali. 

Yang unik. Setelah itu, 2 tahun kemudian malah ada email penawaran S3 dari Universitas tersebut. Tepat saat keluargaku mengalami masalah besar. Mana mungkin fokus kuliah. Lagipula tanpa beasiswa, aku tak sanggup kuliah S3. Sepertinya, pihak Universitas baru menyadari jurnalku saat S2 itu Q1 (berkat dosen pembimbing, keluarga, pakar, dan teman). Membuat jurnal Q1 itu seperti lari maraton. Dosen pembimbingku sampai berkata, "Kunci penelitian yang baik ialah kesabaran." Kebetulan aku orangnya tak sabaran.

Sedih, ya? Ukuran kesuksesan seseorang itu dari pencapaian karir. Apakah bekerja di industri besar? Apakah bekerja di kantor ber-AC? 

"HAHAHA. Mau ambil S3? Untuk apa? S2 saja tak kerja kantoran?" Ujar teman ibuku sembari mencibir. 

Sebenarnya, salah besar jika menganggap bekal pendidikan Universitas itu hanya untuk kerja. Ijazah Universitas memang menjadi persyaratan kerja. Tapi, mindset (cara berpikir) harus diubah. Pendidikan di Universìtas itu untuk menambah wawasan dan mengembangkan cara berpikir. 

Terus terang, berkat penelitian tesis, aku bisa memahami cara berpikir mafia sehingga setidaknya  aku masih bisa menghirup oksigen hingga detik ini. Memang ajaib dan tak logis. Tapi itulah yang terjadi.  Ilmu rantai nilai membuat kita memahami proses. Sementara ilmu keberlanjutan membuat kita memandang satu obyek dari berbagai sudut pandang. Dan juga berkat banyak membaca buku karya Agatha Christie dan Sir Arthur Conan Doyle. Jadi, tak ada ilmu yang sia-sia. 

Berhubung keluargaku tergila-gila dengan pendidikan, wajib mengejar pendidikan setinggi mungkin dengan budget minimalis. Walaupun demikian, suara sumbang banyak sekali. Dan aku menganggapnya suara cicak. Kita tak akan pernah mengetahui kapan kita sukses karena rahasia kesuksesan itu di tangan Allah Swt. 

Ketika semua harta direbut penjahat, apa yang tersisa selain ilmu pengetahuan yang melekat di otak.

Ketika perang, apa yang bisa menjadi bekal untuk hidup di masa mendatang, selain  ilmu pengetahuan yang melekat di otak.

Berdasarkan hal tersebut, sudah jelas bahwa kita itu wajib mengejar pendidikan dan keahlian. Jika mampu, kejarlah pendidikan di Universitas. Jika kurang mampu, kejarlah skill dari berbagai sumber. Jika kurang mampu, sebaiknya bekerja sembari studi di Universitas Terbuka. Yang terpenting, setiap langkah untuk mengejar kesuksesan itu harus terus dilakukan, entah berlari atau pun merayap.

Kita harus bercermin pada diri sendiri untuk mengenali kelemahan dan kekuatan diri kita. Apakah mengejar karir di industri atau kantor? Apakah wiraswata? Atau, freelancer? 

Jadi, menurut kalian, perlukah kita kuliah? Jawabannya tentu beragam tergantung dari cara pandang dan mimpi kita.

Banyak orang sukses yang tidak lulus kuliah. Misalnya, Bill Gates (pendiri Microsoft), Mark Zuckerberg (CEO Facebook), Steve Jobs (pendiri Apple), dll. Tapi itu hanya segelintir orang sukses. 

Pernyataan 'Kuliah Tidak Wajib' harus dipandang dari berbagai sisi. Memang negara Indonesia menganut pendidikan dasar 9 tahun, yaitu dari SD hingga SMU. Tapi, relevankah pernyataan itu dengan kebutuhan karir saat ini? 

Mayoritas lowongan kerja mensyaratkan minimal S1 atau fresh graduate. Sedangkan lowongan SMU atau SMK rata-rata kerja yang cukup memakan fisik. Persyaratan dunia kerja itu unik. Misalnya, batas usia maksimal kerja antara 25-30 tahun (jarang sekali 35 tahun). Belum lagi pengalaman kerja yang harus selama mungkin (padahal fresh graduate). Atau, skill teknis yang harus dipenuhi. Yang sebenarnya skill itu bisa diajarkan melalui training. Sebenarnya, beberapa pemberi kerja kurang memahami syarat utama lowongan kerja. Yaitu integritas, kejujuran, adaptif, loyalitas, efisiensi, dan inovatif. 

Imbas dari banyaknya persyaratan kerja ialah tak berkembangnya industri karena tidak adanya keragaman dari staff yang direkrut. Suatu perusahaan akan lebih suka merekrut mantan staff perusahaan kompetitor karena bisa mendapatkan network dan cenderung bisa mengetahui rahasia kompetitor. Hal tersebut merupakan strategi jangka pendek. Tapi untuk strategi jangka panjang, hal tersebut tidaklah relevan karena tidak adanya inovasi jika hanya mengandalkan strategi bocoran dari kompetitor.

Kebutuhan kuliah digolongkan sebagai kebutuhan tersier dengan asumsi tidak semua lulusan Universitas bisa mencapai kesuksesan. Tapi, apa definisi kesuksesan itu sendiri? Dan apa ukuran dari kesuksesan? Sumber Daya Manusia merupakan salah satu kekayaan negara sehingga harus dikembangkan.  Parameter keunggulan SDM suatu negara diukur dengan tingkat pendidikan. Semakin maju suatu negara, semakin tinggi rata-rata tingkat pendidikan warga negaranya. 

Anggapan kebutuhan kuliah sebagai kebutuhan tersier merupakan pengakuan bahwa biaya pendidikan tinggi sekarang ini terlampau mahal. Sebaiknya, dilakukan pengkajian apa yang menyebabkan tingginya biaya pendidikan, khususnya UKT.

Berdasarkan Data Statistik Pendidikan 2022, hanya 10,15 persen penduduk Indonesia yang menamatkan pendidikan tinggi. Sementara Menteri Tenaga Kerja (Menaker) RI, Ida Fauziyah, menyatakan sekitar 12 persen pengangguran di Indonesia saat ini didominasi oleh lulusan sarjana dan diploma karena tidak ada sinerginya antara kebutuhan industri dengan pendidikan tinggi. Tapi Peneliti dan Pengamat Ketenagakerjaan Tadjuddin Noer Effendi menyatakan tingkat pengangguran yang paling banyak di Indonesia berasal dari lulusan SMA dan SMK.

Alinea IV Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu cara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ialah dengan mendorong sektor pendidikan semaju mungkin karena Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu sumber kekayaan negara.

UUD 1945 Pasal 28C ayat  menyatakan:

“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia. Berarti kebutuhan akan memajukan sektor pendidikan tidak bisa ditawar. Hukum itu mutlak. 

Beasiswa pendidikan untuk kuliah tidaklah mudah. Syarat untuk memperoleh beasiswa cukup rumit sehingga terkesan priviledge. Akhirnya, beasiswa seringkali kurang tepat sasaran. Sementara UKT yang mahal menghambat keterjangkauan pendidikan tinggi bagi kalangan menengah ke bawah.

____

Dear Pembaca,

Apa opinimu mengenai pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun