"AAAAARGH, keluar kau!" Teriak anak perempuan yang memakai kimono handuk tersebut. Bahkan, ia melempar sebelah sandal kamar kepala kelincinya tepat ke atas puncak kepalaku.
Aku terpana. Siapa anak perempuan ganas yang berani mengusirku dari ruang tidurku sendiri? Wajahnya begitu putih dan halus seperti porselen. Mengingat penampilan anak perempuan tadi, wajahku merah padam.
Mendengar jeritan anak perempuan tersebut, Ibu terburu-buru menghampiriku dari dapur. Ibu menjelaskan bahwa Rika-chan ialah anak Tadashi-san, atasan Ayah. Ibu Rika-chan baru saja meninggal dunia 3 minggu yang lalu karena serangan jantung. Orang tua Rika-chan merupakan ekspatriat yang baru saja menetap di Jakarta selama setengah tahun. Mereka asli orang Jepang sehingga tidak ada sanak saudara di Indonesia yang bisa menampung Rika-chan yang baru berusia 14 tahun. Oleh karena itu, ayah Rika-chan yang tiba-tiba harus dinas sementara ke Australia, meminta tolong pada orangtuaku untuk menampung Rika-chan selama sebulan. Tentu saja orang tuaku menyanggupinya dengan antusias. Apalagi Ayah juga merupakan teman kuliah Tadashi-san ketika Ayah memperoleh beasiswa kuliah di Osaka. Tapi, terus terang aku tidak berminat untuk bergaul dengan makhluk perempuan 3D yang emosional.
"Ibu, bukankah kita tidak boleh menampung orang asing selama pandemi covid-19?" Bisikku.
"Rika-chan bukan orang asing buat kita. Ayahnya sangat baik pada ayahmu. Lagipula, Rika-chan sudah dites PCR dan hasilnya negatif."
"Tapi, mengapa Ibu memberikan kamar tidurku untuknya? Nanti aku tidur di mana?"
"Kau kan bisa tidur di kamar tamu."
"Tapi, kamar tamu sempit..."
Tak ada gunanya mendebat Ibu. Apalagi jika bibir Ibu sudah mengerucut seperti itu. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan keluarlah Rika-chan yang sudah berpenampilan rapi.
"Rika-chan, would I introduce you to my single son, Fero, who has similar age as you," kata Ibu dengan antusias. Ibu setengah menyeret tubuhku. Dengan sodokan keras ke pinggangku, Ibu memaksaku untuk bersikap sopan pada Rika-chan.