"Kaulah  duluan yang rawat Mamak" Â
Letak duduk agak memiring. Suami Mak Nanta punya penyakit wasir. Sudah dideritanya sepuluh tahun lalu.
"Kau yang punya Mamak. "
"Kok aku yang sendiri yang ngurus." Sangat ketus.
"Soalnya sayang. Dua minggu ini lumayan dapat duit."
"Buat biaya sakit dan kebutuhan lain."Â
Mak Nanta merepet-repet. Sedikit emosi. Tentu bukan karena uang. Tapi karena suaminya cukup malas jika diajak  menjenguk ibunya yang lagi sakit. Dia heran bertahun-tahun mencari uang. Untuk siapa. Bahkan saat mertua sudah sakit parah masih sibuk cari uang.
Walau tidak kaya raya, Mak Nanta merasa cukup kebutuhan mereka. Suaminya seorang pekerja keras. Dia juga membantu mencari penghasilan. Dan rasanya sejauh ini semua kebutuhan harian, bahkan tabungan masih cukup.
DI Desember ini hanya satu rencana. Menjenguk mertuanya yang sudah sepuh. Bahkan saat ini sedang dirawat di rumah sakit swasta .
Mak Nanta ingin memberi waktu-waktu kritis seperti ini untuk merawat ibu dari suaminya. Â Memberi waktu menjaga, memberi makan dan mengganti pampersnya. Selama ini keluarga mereka hanya mengirimkan kebutuhan sang ibu dalam bentuk uang.
Menurut orang-orang mengirim bentuk uang sudah dari cukup. Dalam jumlah belasan juta setahun adalah sangat besar. Bagi perempuan separuh baya ini tidak cukup.
Walau tidak begitu harmonis dengan mertuanya. Ingin rasanya sekali merawat. Teringat ibunya yang sudah lama pergi. Ketika dia remaja.Â
***
Rumah sakit berwarna krem teduh. Sore yang mendung, nampak pengunjung sedang santai. Pertukaran shift kali ini tidak seperti biasa. Tidak tergesa. Pasien juga kebanyakan tidur pulas. Rumah sakit ini berada tepat di ujung SImpang Limun. Suasana Desember membuat beberapa sudut ruangan semarak. Ada pohon natal kecil hijau dan merah .
Mak Nanta duduk seraya mengganti pembalut yang sudah penuh. Berbau busuk, aroma sangat tak enak. Mau muntah.Â
Ruangan yang sempit dengan hanya ada tempat tidur, satu kursi dan lemari kecil membuat sesak dadanya. Tiga hari ke depan, dia akan merawat mertuanya. Iparnya sudah pulang ke rumah. Keluarga sepakat  bergantian menjaga perempuan sepuh yang hampir sudah tak sadar diri ini.
Selang bantu pernafasan dua puluh empat jam. Warna hijau muda persis sama dengan infus di lengannya yang membengkak.
Sanggupkah Mak Nanta berada di rumah sakit ini? Dalam waktu tujuh puluh dua jam. Aroma obat , uap dari kamar mandi dan karbol pembersih. Bau-bau tak sedap hampir membuatnya pingsan.
Belum lagi malam horor. Saat lorong kamar-kamar sepi. Entah kemana perawat pergi. Saat dinihari infus sudah habis. Tombol pemanggil perawat tak berfungsi.Â
Ini masih tiga jam pertama. Dengkuran sangat halus. Disertai batuk dan dahak terus-menerus.
***
Bahkan suaminya tak hadir. Panggilan berkali-kali tak ada jawaban. Mak Nanta akan meninggalkan perempuan ini. Mengendarai mobil Avanza miliknya yang diparkir tidak jauh dari ruang IGD. Singgah di kedai kopi langganannya. Untuk memesan roti dengan toping ikan tuna. Tak perlu dioven lagi. Ikan tuna dalam roti segitiga itu terlalu menggoda untuk langsung disantap. Bukannya kembali ke rumah sakit, Mak Nanta melaju terus ke arah Utara. Melewati toko-toko waralaba yang kini menjamur di kota Medan. Berbelok terus ke kiri, jalan besar ditumbuhi pohon rindang. Rumah sakit dengan lampu-lampu redupnya tertinggal jauh. Akhirnya tiba di rumahnya yang nyaman. Tidak terlalu besar. Bantal gulingnya wangi. Selimutnya tipis dan sangat hangat.Â
Kini Mak Nanta ada dalam dekapan suaminya. Bermanja dan tak ingin marah.
Dalam amplop besar untuk upah dua minggu. Diterimanya dengan sumringah.Â
"Besok kita antar tunai. Tidak usah lewat transfer!"Â
Hanya satu ungkapnya,"Ya!" Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H