Permakultur adalah sebuah konsep keseimbangan yang bisa diterapkan dalam membangun wilayah. Beberapa orang menganggap desain Permakultur lebih pada konsep pertanian.
Akan tetapi sesungguhnya issu lingkungan, masalah pemimpin, society, Â desain kota bahkan mengembalikan kealamian sebuah wilayah bisa masuk di dalamnya.
Permakultur dikenalkan oleh dua orang bernama Bill dan... dari Australia. Sebagai respon terhadap alam yang sudah rusak. termasuk wilayah-wilayah megapolitan yang kini dipenuhi masalah pencemaran berupa asap, polusi suara, tingkat oksida yang tinggi.Â
Design dan praktek hidup Permakultur mengingatkan kita bahwa sebuah kota harus dibangun dengan Etika: Peduli Bumi, Sesama, dan Masa Depan.
Sayangya, realitas menunjukkan Pembangunan Megapolitan Jabodetabek bekerja hanya dengan memenuhi etika Peduli Sesama. Yang berfokus pada mengupayakan manusia makan dan bisa hidup.Â
Tetapi seribu persen melupakan etika Peduli Bumi dan Masa Depan. Terlihat dari kacamata Permakultur bahwa pembangunan di Jabodetabek tidak berbasis pada pembagian zona?Â
Tidak membangun puzle wilayah berdasarkan komponen. Dan jauh dari prinsip keanekaragaman, tentang pola, tentang kealamian, dan berbagai prinsip Permakultur lainnya.
Membangun Megapolitan Berbasis Zona
Jabodetabek harusnya dibangun berbasis zona. Prinsip Permakultur dalam satu wilayah membagi wilayah berdasarkan zona.Â
Ada zona I yang menjadi bagian dari kehidupan manusia sekitar meliputi rumah, kelurahan, halaman rumah, pekarangan, ternak kecil, tanaman, bunga-bunga.Â
Zona ini adalah wilayah yang diurus oleh rumah tangga terkecil. Rumah sehat dengan ventilasi bagus (bukan mahal), rumah yang menggunakan energi sekitar (matahari, angin,dll). Termasuk penggunaan air sehat yang disediakan secara terjangkau oleh pemerintah.Â
Zona II lebih pada aktivitas ekonomi yang menjadi sumber kehidupan warga. Bisa berupa perkantoran, pabrik-pabrik penghasil kain, elektronik, tambak, peternakan, usaha pangan berbasis rumahan.Â
Zona ini menjadi zona ekonomi yang saat ini memang menjadi mayoritas persentasenya di wilayah Jabodetabek. Dan zona II ini menjadi akar persoalan yang sesungguhnya mengapa terjadi polusi parah di wilayah ini.Â
Era industrialisasi dengan konsep pertumbuhan ekonomi telah menjadi akar masalah berbagai proses pembangunan yang tidak pernah meletakkan zona II sesuai dengan kebijakan, aturan dan ketentuan yang ada.Â
Tentu berbagai aktifitas pabrik, perusahaan, transportasi, perkantoran, hotel dan usaha perdagangan lainnya sudah jauh diatas ambang keseimbangan akan wiayah ini.Â
Padahal dalam konsep Permakultur, eksploitasi terhadap sumber daya alam harus berbasis pada 3 etika di atas.
Zona III: Sungai, taman kota, hutan, pepohonan, tempat bermain. Ketidakrelaan pada membagi zona pada wilayah publik menjadi satu masalah serius untuk polusi kota yang semakin membahayakan.Â
Jika pemerintah atau negara hanya fokus pada zona II sebagai upaya satu-satunya dalam menuju kesejahteraan ekonomi dengan eksploitasi habis-habisan, maka konsep dengan zona III tidak akan pernah menjadi fungsi menyeimbangkan  pencemaran kota. Menurut aturan /regulasi taman kota ...persen.Â
Buktinya mungkin hanya sekian persen dari luas wilayah. Wilayah ini menjadi aktifitas ramah bumi dimana warga menggunakan tehnologi tanpa energi fosil misal sepeda.Â
Di ruang-ruang terbuka ini akan memunculkan berbagai aktifitas ekonomi, sosial, budaya yang rendah karbon. SUngai-sungai bersih akan dipenuhi berbagai pohon untuk menyerap emisi GRK yang memenuhi udara Jakarta.Â
Pepohonan yang jumlahnya jutaan bisa hidup berbarengan dengan nafas manusia dan berbagai pencemaran asap pabrik dan kenderaan.
Berbagai aktifitas tanam pohon akan berkelanjutan jika zona III terpenuhi luas, jumlah dan volumenya. Tempat bermain menjadi arena menghilangkan stress, bukannya takut ke luar rumah karena sekarang indeks pencemaran kota Jakarta sudah pada tahap bahaya.Â
Zona IV: Zona Hutan menjadi bagian yang harus dibiarkan liar. Zona ini menjadi peyangga kota dimana harusnya tumbuh berbagai tanaman liar sesuai kecocokan iklim dan wilayah setempat.Â
Harus ada zona yang dibiarkan dan memang harus rela juga membiarkan wilayah-wilayah kosong agar tanah, pohon, berbagai renik bernafas.Â
Jangankan melihat tanah kosong, pasti para ekonomist dan pengusaha akan berputar dan langsung mau mengalihfungsi apabila ada bangunan atau tanah terlantar. Padahal daerah-daerah ini akan menjadi tempat terbaik penyeimbangÂ
Pembagian zona dalam konsep Permakultur hanya menjadi bingkai yang mengkerangkai proses pembangunan di satu wilayah termasuk cocok jika diterapkan di Jakarta.Â
Suatu ide yang menjadi desain dalam ruang yang sudah carut marut jika memang ada niat mau memperbaiki. Konsep ini juga bisa diparkatekkan.Â
Memang dalam wilayah lebih kecil misalnya kelurahan bisa diterapkan. Secara tehnis, konsep dan praktek ini sebenarnya sudah dilakukan di desa-desa atau beberapa wilayah yang kita temukan di banyak wilayah di Indonesia.Â
Kita memang kurang rela jika suatu wilayah ada daerah terbengkalai dan dianggap tidak produktif. Apalagi jika melihat lahan kosong di wilayah Jabodetabek dengan harga tanah yang sangat mahal.Â
Padahal harga yang kita bayar akan lebih mahal  jika semua lahan kita eksploitasi. Coba kita hitung berapa kerugian jika udara terpolusi.Â
Manusia sakit, aktifitas terhambat, biaya perubatan mahal, kemudian juga aktifitas penerbangan terganggu , dan banyak dampak negatip lainnya.Â
Orientasi kita saat melihat tanah kosong ditumbuhi  tanaman liar  pada zona IV akan langsung beranggapan bahwa lokasi tidak efektif, tidak efisien dan tidak produktif padahal berbagai tanaman liar lokal yang tumbuh akan  menjadi penyerap racun gas berbahaya yang paling efektif.Â
Lihat air yang tercemar akan tumbuh tanaman eceng gondok yang berfungsi  menyerap berbagai racun kimia berbahaya di sungai.Â
Demikian juga  oleh polusi pabrik, kenderaan dan aktifitas manusia lainnya, jika makin banyak tanaman dan lahan terbuka semakin besar peluang penyerapan. Yang menjadi masalah  apakah kita rela membiarkan beberapa titik tanah dan wilayah dimasukkan dalam zona IV?
Ini hanya masukan receh di tengah persoalan kota-kota besar dunia saat ini. Sekedar masukan saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H