Meski hukum rasa syukur tidak kontan seperti itu, prosesnya tetap menuju ke situ. Maksudnya, orang yang syukur pastilah sangat bahagia, karena ia menyadari berlimpahnya nikmat Tuhan yang diperoleh, sehingga ia suka dan gemar berbagi atau memberi kepada yang lain dan semesta.
Sebaliknya, orang tidak mau terima kasih atau tidak bersyukur, pastilah orang yang menderita. Kerjanya dalam hidup hanyalah, menerima, bakhil, pelit, kikir, mengeluh, menggerutu, berkeluh kesah, kritik berlebihan, terburu-buru, tergesa-gesa, ingin instan, marah-marah, sesak napas, dan hanya menimbun atau menabung harta benda. Sampai batas akhir hayatnya, ia sangat kikir bukan hanya untuk orang lain, bahkan untuk dirinya sendiri?
Bukankah contoh yang terakhir itu semacam hukuman psikologis, betapa azab orang yang tak terima kasih itu sedemikian pedih.
Apa yang Diberikan?
Pemberian itu dapat berupa harta benda yang diterima lalu dikasih sebagiannya kepada orang lain dan kebaikan serta kedamaian dunia.
Tapi, jenis pemberian juga dapat berupa ilmu pengetahuan, sikap bijak, nasihat, motivasi, pelatihan, waktu, cinta, uang, atau berbagi lainnya yang bermanfaat untuk kemanusiaan dan alam semesta.
Kepada Siapa?
Kepada siapa saja. Jangan harus menyelidik keyakinan, agama, budaya, suku, etnis, kabilah, marga, latar belakang, warna kulit, jenis kelamin, dan identitas lainnya yang awalnya hanya penandaan kita buat menjadi kotak dan kontak perbedaan berlebihan berbaur dengan rasa angkuh yang kolot?
Jangan Mengharap Balasan?
Memberilah secara ikhlas dan tulus. Jangan mengharapkan balasan, bahkan ucapan terima kasih pun, tak usah diharapkan.
"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu." (QS. Al-Insan: 9).