Lambat laun dunia yang saya tinggali menjadi dunia yang emosional, bukan lagi berpikir jernih dan terpilah-pilah. Keputusan yang dibuat para warganya juga bukanlah sebuah keputusan rasional melainkan lebih emosional. Inggris contohnya memutuskan untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa agar bisa mempunyai keleluasaan untuk menolak imigran yang datang kenegaranya. Sentimen anti imigran yang dibalut dengan anti muslim semakin kuat di negara Eropa.
Saya berkunjung pertama kali ke Tunisia pada tahun 2009 sebelum Arab Spring di Kota Gabes. Kemudian kunjungan berikutnya di Kota Tunis pada tahun 2011 setelah Arab Spring. Tidak ada hal yang berbeda yang terjadi ketika saya berkunjung di Tunis. Masyarakat masih ramah dan mereka sangat mengenal orang Indonesia.
Hubungan Indonesia dan Tunisia sudah terjalin sejak tahun 1951. Pada tahun tersebut, Habib Bourguiba sendiri datang ke Indonesia untuk meminta dukungan bagi kemerdekaan Tunisia. Peran Indonesia saat itu jelas membantu rakyat Tunisia untuk memperoleh kemerdekaannya. Tunisia juga dilibatkan dalam Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 meski masih berstatus peninjau dari Afrika Utara karena masih dijajah oleh Perancis.
Pada tahun 1956, Tunisia memperoleh kemerdekaan dan pemerintah Tunisia memberikan penghargaan tertinggi, Wism Jumhuria dan Al Istihqaq Al Watani, kepada Mohammad Natsir dan Hamid Algadri selaku ketua dan sekretaris jenderal Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Afrika Utara.
Transisi politik yang terjadi di Tunisia setelah Arab Spring tidak sekeras yang terjadi di Suriah atau Libya. Tunisia sendiri setelah tahun 2010 mulai berbenah dan mulai mengembangkan sektor pariwisata yang sempat terpuruk waktu itu. Tempat wisata di Kota Tunis kemudian diperbaiki dan semakin gencar berbagai promosi untuk mengenalkan kembali Tunisia.
Pada tahun 2011, Kota Tunis belum seramai saat ini. Meski Kota Tunis adalah kota terbesar sekaligus ibu kota Tunisia, ketika itu suasana Arab Spring masih terasa. Saat itu saya tidak bisa melihat dari dekat kediaman presiden Fouad Mebazaa, pengganti Presiden Zine El Abidine Ben Ali, karena penjagaan yang sangat ketat.
Acropolium of Carthage ini terletak di puncak Byrsa Hill dan dekat dengan reruntuhan Punic. Katedral ini dibangun di atas reruntuhan sebuah kuil tua untuk Dewa Eshmun. Bangunan kuil ini masih bisa diakses lewat ruang bawah tanah katedral. Di sini saya menemukan banyak peninggalan dari Romawi Kuno baik dari gaya arsitektur katedral maupun berbagai patung dan reruntuhan di sekitar katedral.
Di tempat ini banyak juga ditemukan para penjual koin kuno yang berasal dari peninggalan Romawi Kuno. Akan tetapi ada baiknya untuk berhati-hati membeli karena banyak juga yang menjual koin tiruan yang mirip dengan aslinya.
Carthage kemudian didirikan kembali pada tahun 44 dan berada di bawah kekuasaan Romawi di zaman Kaisar Agustus. Kota ini merupakan kota yang paling makmur di Afrika Utara. Meski sempat dijarah oleh kaum Vandal pada tahun 440, kota ini dibangun kembali di zaman kekaisaran Bizantium pada tahun 533. Pada tahun 698, Carthage akhirnya jatuh di tangan orang-orang Arab.
Carthage sendiri sejak tahun 1979 sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai peninggalan kuno yang dilindungi. Reruntuhan Carthage yang menjadi salah satu tempat wisata yang selalu dikunjungi para penjelajah dunia sampai saat ini masih terawat dan dilindungi oleh undang-undang negara Tunisia.
Pagi para penjelajah dunia yang tertarik dengan sejarah masa lalu dan berkunjung ke tempat wisata peninggalan sejarah, jangan lewatkan berkunjung ke reruntuhan Kota Carthage. Selain amphitheater, para penjelajah dunia juga bisa menemukan situs kuno agama punic yang dikenal dengan Kuil Ball Hammon. Selain itu di sini juga terdapat museum Palechristian yang berisi peninggalan arkeologi seperti marmer, peralatan rumah tangga, mosaik dan lain-lain.