Mohon tunggu...
Amin Rois Sinung Nugroho
Amin Rois Sinung Nugroho Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Akun twitter: @sinunkdotnet. Blog: http://sinunk.net

Selanjutnya

Tutup

Puisi

The Miracle of Faschel: Lebih Bagus dari Harry Potter

16 Maret 2011   06:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:45 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Chapter 1. Rhea Zeph

Sepasang mata berwarna ungu terang mengintai dari balik celah pintu yang terbuka sedikit. Mata itu memeriksa keadaan koridor dengan teliti sebelum akhirnya si pemilik mata itu keluar dengan sangat hati-hati. Pintu kayu setinggi dua puluh meter itu bergerak pelan membuka. Pintu itu tampak sangat kokoh dengan ukiran kelelawar dan beberapa benda seperti panah. Rhea kembali menutup pintu dengan sangat perlahan. Ia memeriksa koridor sekali lagi. Tak ada siapapun, aman. Ia mengembangkan sayapnya dan terbang setinggi lima meter dari lantai marmer yang hitam dan dingin. Suara kepakan sayapnya terdengar lembut di sepanjang koridor.

Rambutnya yang kecoklatan tampak berkilau memantulkan cahaya lilin yang diletakkan satu-satu di atas tiang lilin yang terbuat dari perak dan berukiran bunga lili putih. Di ujung koridor ia berbelok ke kiri. Ia menuruni tangga batu yang sempit dan curam. Tak ada lagi lilin-lilin di tembok. Semua gelap. Ia nyaris tidak dapat melihat apapun. Tapi itu tidak lama. Di ujung tangga tampak dua buah tiang lilin dengan lilin yang bersinar redup mengapit sebuah pintu besi. Ia menahan nafasnya dan terbang mendekati pintu besi itu. Ia sangat khawatir bila penjaga memergokinya. Ia mengeluarkan sebuah kunci dari balik gaun putihnya dan memasukkan dengan sangat perlahan ke lubang kunci dengan sangat hati-hati. Ia memutar kunci itu pelan-pelan. Pintu besi yang ada di hadapannya perlahan terbuka. Seberkas cahaya remang-remang memancar dari dalam ruangan di balik pintu itu dan bercampur dengan cahaya lilin di samping pintu. Ia masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu.

Ruangan yang ia masuki hanya berisi sebuah tiang lilin di sudut ruangan yang hanya menerangi sedikit bagian ruangan itu. Hawa dingin segera terasa menusuk tulang. Sesosok tubuh tampak duduk bersandar tepat di bawah tiang lilin. Rhea mendarat tepat di hadapan sosok itu.

"Daphrio... ini aku. Rhea," si Rhea berbisik. Ia duduk dan memegang bahu sosok itu. Sosok itu bergerak pelan. Matanya membuka. Sinar lilin yang tidak begitu terang membuat wajahnya tampak begitu pucat.

"Rhea...." Sosok itu mencoba untuk berbicara, tapi yang terdengar hanya desisan pelan. "Bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini?" Rhea tidak menjawab. Dia langsung mendekati Daph dan memegang besi yang mengikat tangan dan kaki Daph. Rhea menekan sedikit besi itu dan besi itu pun hancur jadi debu.

"Daph, kita harus pergi dari sini. Kita harus pergi...."

Rhea mengusap rambut hitam pekat Daphrio dengan sayang. Daphrio menatap Rhea.

"Tidak ada gunanya, Rhea.... Istana ini dijaga ketat. Kita bisa tertangkap," ujar Daphrio. Ia menghembuskan napas berat.

"Tapi mereka akan membunuhmu!" Rhea setengah berteriak. "Mereka akan membunuhmu...." Namun kemudian suaranya menjadi tercekat.

Daphrio terdiam. Ia menatap lantai marmer hitam yang dingin.

"Kita bisa mencoba, Daph."

"Rhea, dengarkan aku. Kalau kita tertangkap...."

"Tidak. Kamu yang dengarkan aku, Daph!" potong Rhea. "Kita akan pergi dari sini!"

"Kenapa kau lakukan ini?" tanya Daphrio.

"Kenapa? Kamu tanya kenapa?" suara Rhea meninggi. "Aku tidak bisa membiarkanmu mati setelah apa yang mereka lakukan padamu." Rhea menarik tangan Daphrio sehingga terlihat pergelangan tangannya yang penuh dengan bekas luka sayatan. Cairan berwarna putih kebiruan masih menetes dari bekas luka itu.

"Lihat tanganmu ini, Daph. Mereka mengambil darahmu setiap hari untuk menyembuhkan luka Zhephero Zheph. Lihat tanganmu ini, Daph. Mereka tidak pernah mau tahu rasanya disayat seperti ini. Mereka tidak menghargai nyawamu...."

"Banyak tabib yang mengalaminya, Rhea...." gumam Daphrio.

"Dan mereka mati...."

"Sudah menjadi nasibku begini...."

"Dan kau tidak mau mengubah nasib itu, Daph? Ingat, Rheon, kakakku, membantu kita. Dia yang memberitahuku kalau kamu ada di sini. Dia yang memberikan kunci ruangan ini. Daph, percayalah padaku. Kita bisa mengubah semua ini. Tanpa darahmu, jantung Zheph yang terkena panah itu akan membusuk. Dia akan mati."

"Zhephero Zheph itu ayahmu dan kamu juga seorang Zheph, Rhea Zheph."

Rhea menghembuskan napas panjang.

"Aku tidak peduli. Kita akan pergi."

* * *

Rhea berjalan perlahan menyusuri koridor. Koridor itu tidak begitu terang, hanya ada beberapa buah lilin yang diletakkan di tiang lilin dengan jarak yang cukup jauh. Tingginya hampir sepuluh meter dan itu membuat Rhea merasa tidak aman. Gaun hitamnya melayang lembut seirama langkah kakinya. Gaun itu memperlihatkan punggungnya. Ada beberapa bekas luka di punggung itu. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya. Koridor itu kosong. Tidak ada siapapun. Tapi itu bukan jaminan bahwa dia tidak sedang diikuti.

Terdengar suara langkah kaki dari ujung koridor. Rhea kaget. Matanya yang berwarna ungu muda berubah cemas. Sayap putih seperti sayap burung merpati muncul dari punggungnya. Sayap itu membuka lebar, tiga kali lebih panjang dari panjang tangannya. Dengan cepat Rhea meluncur ke bagian atas koridor. Bersembunyi di balik gelap. Dia menahan nafasnya yang seketika berubah memburu. Dua orang pelayan lewat sambil membawa kain-kain kotor bernoda darah yang sangat merah dan kental. Rhea menunggu sampai pelayan itu menghilang di ujung koridor yang lain. Rhea kembali terbang secepat kilat menuju sebuah pintu kayu di ujung koridor. Pintu itu tertutup. Rhea mengetuknya pelan.

"Rheon.... Ini aku, Rhea."

Terdengar suara berat dari dalam. Sesaat kemudian Rheon sudah membukakan pintu. Matanya yang hitam pekat langsung membesar cemas ketika melihat Rhea datang sendirian. Rheon menarik Rhea ke dalam kamarnya. Sayap Rhea menghilang seketika.

"Kamu tidak sadar kalau ini sangat berbahaya. Keadaan istana ini sedang tidak aman," Rheon gusar. Rhea terdiam.

"Rhea...," Rheon berubah lembut. Garis wajahnya yang keras pun ikut berubah lembut. Rambut hitamnya yang panjang diikat dibawah tengkuknya. Rhea selalu mengagumi rambut kakak laki-lakinya itu. Tidak seperti rambutnya yang keemasan dan sulit diatur.

"Ya?" Rhea memandang wajah Rheon.

"Mereka semua mencari siapa anak haram itu dan akan membunuhnya. Jika ramalan itu benar, anak itu adalah yang terkuat yang pernah ada." Rheon mengatakan itu dengan wajah sedih. Rhea mengerti mengapa. Selama ini semua percaya Rheon adalah yang terkuat karena dia adalah anak dari Zhephero Zheph dan Myanda Zheph yang punya kekuatan luar biasa. Rheon diangkat menjadi panglima tertinggi di Faschel. Tapi sekarang, semua orang pun tahu kalau Zhephero Zheph punya anak haram dari seorang perempuan yang ditakuti kekuatannya. Anak itu menjadi sesuatu yang menakutkan karena tidak seorang pun tahu siapa dan bagaimana dia. Semua orang hanya tahu bahwa anak itu sangat kuat, melebihi kekuatan Rheon.

"Seharusnya Papa mengatakannya saja," ujar Rhea pelan.

"Agar mereka bisa membunuhmu?" Rheon berjalan ke tempat tidurnya. Ia duduk di sisi tempat tidur yang besar dan mewah itu. Tempat tidur seorang putra mahkota, seorang panglima yang sekarang merasa nasibnya di ujung kehancuran. Rhea mengagumi betapa besar, mewah, dan menyenangkannya kamar Rheon ini. Tirainya dibuat dari sutra terbaik, begitu juga dengan seprai, kelambu, dan permadaninya.

"Aku tidak sekuat yang mereka bayangkan," Rhea kembali berkata pelan.

"Kamu tidak bisa membayangkan sekuat apa dirimu itu. Mereka pun tidak bisa membayangkannya."

"Aku hanya ingin pergi dari sini, Rheon. Aku ingin membawa pergi Daph dari sini."

Rheon mengulurkan tangannya. Rhea menyambut uluran tangan itu dan duduk di samping Rheon yang tampak lelah.

"Penyerangan itu sudah membuat Papa sekarat. Dia membutuhkan darah Daph untuk menyembuhkannya, kamu tahu itu," kata Rheon sambil menatap Rhea.

"Setelah Daph menyerahkan darah yang dibutuhkan Papa, aku akan membawanya pergi."

Rheon menggelengkan kepalanya. "Itu tidak mungkin, Rhea. Menurutmu dimana Daph sekarang? Dia tidak sedang berkeliaran di hutan seperti yang kamu kira. Mereka menyekapnya di istana ini. Butuh banyak darah untuk menyembuhkan Papa. Mungkin perlu semua darah Daph. Papa akan membunuhnya."

Rhea tampak terguncang. Dia sudah tahu kenyataannya memang seperti itu.

"Aku tahu...," Rhea menyahut pelan. Terdengar hampir seperti berbisik. "Aku sudah menemui Daph. Aku mencuri kunci ruangan tempat Daph disekap dari kamar Papa. Aku sudah berjanji pada Daph untuk membawanya pergi dari sini. Aku dan Daph punya hak untuk menentukan jalan hidup kami. Aku sudah muak dengan begitu banyak perang, kematian, darah.... Aku ingin pergi dari sini, Rheon. Aku ingin kamu membantuku."

Rheon terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa.

"Keadaan Daph sudah sangat lemah. Kalau aku tidak membawanya pergi malam ini, besok mungkin dia akan dibunuh."

"Aku tidak yakin bisa membantumu, Rhea."

"Aku tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi, Rheon. Kalau Daph dibunuh, aku pun tidak tahu harus bagaimana. Aku sangat mencintainya...," Rhea mulai menangis. "Aku sudah kehilangan banyak hal. Sekarang aku tidak ingin kehilangan Daph."

Rheon memeluk Rhea dengan sayang.

"Aku tidak mengerti mengapa kamu diberikan hati selembut itu dan mengapa aku diberikan hati sekeras ini."

* * *

Cerita ini adalah bagian pertama dari novel berjudul, The Miracle of Faschel.

Novel ini pertama kali ditulis oleh istri saya, OctaNh, sewaktu masih SMP, tahun 2002.

Waktu itu salah seorang penggemar cerita ini, Eva Manalu, teman SMPnya bahkan berpendapat bahwa novel ini lebih bagus dari Harry Potter.

Novel ini belum pernah diterbitkan. Saat ini sedang diedit dan akan diposting per-chapter.

Untuk cerita lengkapnya dan edisi selanjutnya, silahkan kunjungi:

http://www.faschel.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun