ARMY memilih Twitter sebagai wadah untuk melakukan aktivitas digital karena platform ini menyediakan cara yang gratis dan mudah untuk mengirimkan dan menyebarkan suatu pesan. Adanya umpan balik ketika fandom dan pengikutnya mengetahui peristiwa yang terjadi dari pagi hingga malam hari. Ikut memperkuat pesan atau konten dari influencer melaui repost, retweet hingga pesan tersebut viral.Â
Perbincangan dalam fandom bukan hanya tetang idola, namun juga terkait isu-isu yang ada di dalamnya. Salah satunya saat fandom menolak adnaya RUU Cipta Kerja. Hingga beberapa hari pemberitaan di media massa lebih banyak mengadopsi informasi dari twitter. Aksi penolakan digital dengan menggunakan twitter telah terbukti mampu membangan aktivis digital hingga menjadi perbincangan publik.
Perang antar fandom juga bisa disebabkan oleh adanya kabar kencan para idol atau dikenal dengan dating. Jika salah satu anggota idolnya dikabarkan seedang berpacaran dengan anggota lain, hal ini dapat memunculkan reaksi yang berbeda-beda. Ada pihak yang melakuka penolakan dengan berperilaku agresif terhadap orang yang memiliki hubungan khusus dengan idolanya.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya fans culture tidak lepas dari hal positif dan negatif. Hal ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi pada kalangan fandom, sehingga aktivitas pengidolaan tidak dikenal dengan citra negatif yang melekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H