Miris, tentu menjadi kata pertama yang terucap ketika membaca apa yang menjadi alasan oknum pejabat Unila tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut informasi dari KPK, mereka mematok kisaran angka 100 -- 350 juta rupiah per mahasiswa agar diloloskan untuk masuk ke Unila melalui jalur seleksi mandiri. Â
Sekali lagi, kondisi ini menggambarkan masih bobroknya oknum pendidik, yang tentu ini bukan sembarangan oknum karena pelakunya adalah pucuk tertinggi pimpinan kampus tersebut. Kasus ini pun diusut KPK karena ada beberapa korban yang melaporkan adanya penyuapan ini, dan bila tidak korban yang melaporkan, saya rasa kasus ini belum terselesaikan.
Dalam prespektif ekonomi pasar, tidak ada transaksi yang terjadi ketika tarik-menarik antara permintaan (demand) dan penawaran (supply) tidak menemukan titik temu. Hal ini mengambarkan bahwa adanya permintaan yang tinggi untuk masuk ke kampus tersebut, sehingga penawaran dengan kisaran 100 hingga 350 juta tetap menjadi pilihan orangtua mahasiswa untuk memasuki dunia perkuliahan.Â
Fenomena ini laksana gunung es, yang siap mengerupsi kasus-kasus lain yang mungkin semakin menggelegar.
Apakah kasus ini lumrah? tentu saya tidak bisa memberikan sebuah kesimpulan. Tetapi desas-desus yang beredar luas memberikan prespektif yang menjurus kearah yang sama, bahwa perlu adanya "Biaya" tambahan bagi yang ingin memasuki sebuah kampus, terlebih itu adalah seleksi secara mandiri.Â
Semuanya seakan tergenalisir bahwa sekolah itu selalu membayar, masuk ke suatu instansi pun selalu dibilang membayar, bahkan ada suatu cerita bahwa ingin menjadi buruh pabrik aja suruh membayar. Semuanya tentang membayar dan membayar.
Wong Ke Toilet aja membayar!!
Pahit dan Mencederai Hati saya
Pahit. Tentu saya merasa pahit. Ingin mengatakan bahwa itu semua tidak selalu benar. Bahkan belasan tahun yang lalu ketika masih menjalani Pendidikan Tinggi di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang saat ini berubah menjadi PKN-STAN, saya pernah cedera hati ketika ditanya seseorang, "masuk ke kampusmu, uang pangkal bayar berapa?"
"nggak bayar kok pak" jawabku. Orang itu pun tersenyum kecut seakan tidak percaya.
"benar, bahkan kuliahnya saja saya tidak bayar," jawabku kembali, tetapi di dalam hati saja. Saya tahu pernyataan ini tidak akan mampu menggulingkan stigma negatif yang tercipta dan masuk ke sanubari orang tersebut. Apalagi ketika kasus yang disebutkan di awal kembali mengemuka, saya yakin stigma tersebut semakin mandarah daging dan terpatri di dalam hatinya.
Padahal di dalam hati saya ingin mengatakan bahwa saya sekolah itu gratis dan tidak ada biaya yang saya keluarkan. Sejak Sekolah di SMA, saya telah mendapatkan beasiswa. Kemudian setelah lulus, saya menempuh Pendidikan di STAN pun gratis karena dibayai oleh negara lewat belanja fungsi Pendidikan.Â
Setelah melewati Pendidikan yang luarbiasa ketat dan berdarah-darah (Bahasa Bapak Iwan Bule), saya pun menjadi bagian dari Kementerian Keuangan dan ditempatkan di daerah hidung Kalimantan satu dasawarsa yang lalu.
Saya ingin kembali ke Pulau Jawa, sehingga disamping bekerja, saya juga berjuang untuk mendapatkan kembali beasiswa dan akhirnya saya mendapatkan beasiswa serta kembali ke daerah saya.Â
Tahun demi tahun berlalu, kini setelah kembali bekerja saya juga terus berusaha untuk kembali mendapatkan beasiswa untuk  menempuh Pendidikan selanjutnya. Saya pun kembali mendapatkan beasiswa di kampus yang sama melalui beasiswa pendidikan Indonesia. Sekali lagi, ini semua tanpa biaya atau penyuapan sedikitpun.
Kalau dipaksa mengaku masa tidak ada biaya? Yah baiklah saya menyerah memang ada biaya. Biaya itu dikeluarkan untuk membeli materai, kertas, bolpoint, kuota internet hingga biaya mencetak untuk mendatangani surat siap kembali ke Indonesia atau siap kembali ditempatkan di mana saja. Yes, sebuah nilai yang harus diperjuangkan tentunya.
Pendidikan Murah untuk peningkatan Kualitas SDM Indonesia
Saya Cedera hati. Tentu. Sebagai bagian terkecil dari pemerintahan dalam mengelola keuangan negara, tentu kasus ini langsung mengingatkan saya kepada pertanyaan pahit itu.Â
Padahal di sisi lain, pemerintah sedang gencar-gencarnya berjuang meningkatkan kualitas SDM masyarakat Indonesia. Selain kualitas kesehatan, sektor Pendidikan menjadi sektor vital yang terus diperjuangkan.Â
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun mengamanatkan minimal 20% digunakan untuk sektor Pendidikan. Sebanyak 550 Triliun dari 2750 Triliun belanja negara tahun 2021, digunakan untuk sektor Pendidikan.Â
Di tahun 2022 pun anggaran Pendidikan naik menjadi 621,3 triliun rupiah yang digunakan untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, beasiswa, pembangunan fasilitas sekolah, hingga gaji guru dan pengajar.
Tidak hanya Pendidikan dasar dan wajib 12 tahun, kampus-kampus negeri di Indonesia pun mendapatkan subsidi Pendidikan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas layanan sehingga dapat memberikan biaya Pendidikan yang lebih murah kepada mahasiswanya. Namun ini menjadi sebuah ironi ketika kasus biaya tambahan di luar akuntabilitas ini terjadi di Unila.Â
Seyogyanya dengan subsidi pemerintah, mahasiswa di kampus-kampus negeri menikmati layanan yang lebih murah, bukan malah membebankan biaya-biaya yang di luar dari ketentuan yang berlaku, dan semakin ironisnya, para orangtua pun berlomba untuk memberikan dana yang lebih besar demi anaknya bisa masuk ke perguruan tinggi negeri tersebut.
Jadi seharusnya kampus itu tidak ada biaya? Bukan begini konsepnya. Sebagai bagian dari Pendidikan tinggi di Indonesia, kampus-kampus negeri tentu dapat membebankan biaya kepada mahasiswa.Â
Meskipun mendapatkan subsidi dari pemerintah, kampus-kampus negeri juga tentu masih membutuhkan pendapatan dari layanannya kepada masyarakat agar mampu lebih mandiri dalam mengembangkan layanan dan kualitas Pendidikan yang diberikan.Â
Tetapi tetap, biaya tersebut harus tercatat dan transparan serta tidak main dibawah tangan. Masyarakat sudah memberikan pajaknya kepada negara dan Sebagian digunakan untuk sektor Pendidikan tinggi, maka sudah sepatutnya biaya yang dikeluarkan mahasiswa (sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri) lebih murah dan lebih masuk akal dibanding biaya kampus non negeri lainnya.
Tidak semua hal di negeri ini harus membayar dan menyuap, saya mungkin segelintir orang yang tidak mengalami hal ini dalam proses pendidikan hingga pekerjaan yang saya lalui. Tapi semoga, cerita segelintir ini dapat memberikan prespektif lain tentang bagaimana Pendidikan di Indonesia yang masih mempunyai asa untuk berkembang.Â
Ada harapan tentang bagaimana negeri dengan bonus demografi ini mampu meningkatkan kualitas SDM yang dimiliki. Asalkan tidak mematikan, cedera itu masih bisa disembuhkan kok. Indonesia Bisa.
Dari saya, yang meskipun berdarah-darah tapi tetap tercederai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H