Mohon tunggu...
Sintha Wahyu Arista
Sintha Wahyu Arista Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

I was born to express, not impress others.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arunika di Puncak Ancala [Bagian Empat]

14 Maret 2023   16:54 Diperbarui: 15 Maret 2023   15:39 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arunika Di Puncak Ancala [Bagian Empat] sumber foto/pinterest
Arunika Di Puncak Ancala [Bagian Empat] sumber foto/pinterest

Kringggg. . . Kringggg. . .

Kringggg. . . Kringggg. . .

Kringggg. . . Kringggg. . .

Alarm yang sudah ku atur sebelumnya telah berbunyi, tandanya?

Ya, tandanya sudah pukul 00.00 WIB. Waktunya aku dan Ancala harus bangun dan bergegas summit.

Tapi ada yang aneh. Sleeping bag yang dikenakan Ancala ada bercak merah.

Aku membangunkan Ancala.

Betapa kagetnya aku, saat melihat wajah Ancala.

Darah sagar mengalir dari hidung Ancala.

"Al, hidung kamu Al."

Mendengar aku berkata itu, Ancala langsung bangkit dari posisi tidurnya. Tangan kanannya perlahan memegang hidung dan mengusap darah yang sedari tadi mengalir.

"Oh gapapa ini, mungkin karena faktor udara aja yang terlalu dingin. Udah gapapa, yuk kita prepare summit!"

Meskipun Ancala mengatakan dirinya baik-baik saja, tapi ada yang mencurigakan dari gerak-geriknya.

Aku memastikan kondisinya sekali lagi, "Al, kamu sebenarnya kenapa Al? Kalau kamu lagi nggak enak badan, kita turun aja ya Al, nggak usah lanjutin pendakian ini." kataku pada Ancala.

"Aku gapapa Arunika!" jawabnya.

Aku terus berusaha membujuk Ancala untuk menghentikan pendakian ini, tapi Ancala terus menolaknya.

Di sisi lain, Ancala sembari membersihkan sisa-sisa darah yang masih menempel pada hidung dan pipinya menggunakan tissue basah.

"Ayo, kita summit sekarang. Katanya mau lihat sunrise di Mahameru?" ajak Ancala bersemangat, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Aku yang sangat mengkhawatirkan dia, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan nanti.

Sebelum mulai mendaki menuju puncak, aku dan Ancala persiapkan semua dengan baik. Menggunakan gaiter untuk mencegah pasir masuk ke dalam sepatu. Menggunakan sarung tangan dan buff untuk melindungi wajah dari terjangan debu & pasir. Membawa air minum dan waistbag yang berisi handphone dan dompet.

Semua peralatan, kita tinggal di dalam tenda.

00.40 WIB, Ancala memimpin doa dan dimulailah pendakian yang sebenarnya.

Perjalanan dari Kalimati menuju Kelik kurang lebih 2 jam. Kelik merupakan batas vegetasi, batas tumbuhnya pepohonan. Jalur mendaki ke Puncak ini terasa cukup berat. Di awal pendakian, jalur tanahlah yang masih akan kalian lewati. Tapi setelah beberapa saat akan mencapai Kelik, jalur sudah mulai berubah menjadi pasir dan berbatu.

Jalur pendakian sudah berubah, dari tanah menjadi pasir berbatu. Kini tidak ada lagi pepohonan yang akan melindungi kalian dari dinginnya angin yang berhembus. Seiring berubahnya jalur, maka berubah juga cara pendakiannya. Jalur yang tadinya bisa dilewati secara lurus, sekarang harus kalian lewati dengan cara mendaki zig-zag.

Kalian tau, peralatan pendakian yang paling berguna untuk saat ini? Ya, tracking pole. 

Karena sudah tidak ada lagi pohon beserta akarnya yang bisa kita gunakan untuk pegangan, serta sudut elevasi yang mencapai 60 derajat, maka pegangan satu-satunya adalah tracking pole. 

Memang ada beberapa batu besar yang bisa digunakan sebagai alas atau pegangan, tapi itu terlalu beresiko. 

Mengingat kondisi pasir yang tidak stabil, memungkinkan batu tersebut dapat jatuh ketika dipegang dan itu membahayakan pendaki lain yang berada di bawah. 

Sudah banyak kasus kematian pendaki akibat dihantam batu yang menggelinding dari atas.

"Al, kok nggak nyampe-nyampe sih?" teriakku pada Al yang posisinya berada di bawahku beberapa meter.

"Perjalanan masih panjang, udah fokus ke depan!" jawab Ancala.

Syndrome "Kok nggak nyampe-nyampe sih?" akan menyerang kalian di fase menuju puncak ini. 

Penting untuk diperhatikan agar kita tidak beristirahat terlalu lama di satu titik apalagi sampai tertidur. 

Ketika kalian tertidur, maka kalian tidak bisa mendengar ucapana atau himbauan dari teman-teman pendaki lainnya yang berada di atas. Jika ada batu terjatuh dan kalian tertidur, maka kalian bisa tahu kan kemungkinan apa yang akan terjadi?

Aku terus berjalan, berjalan, dan berjalan.

Sesaat aku berhenti. Menengok ke arah kanan kiri. Pemandangan yang sangat menakjubkan.

Lautan awan! Lautan awan itu beneran nyata.

"Ayo Arunika, jangan berlama-lama istirahat disini. Bahaya!" 

"Al, lihat itu Al. Bagus banget Al." ucapku dnegan penuh takjub.

"Di atas lebih bagus lagi."

Mendengar jawaban Ancala, aku semakin bersemangat untuk melihat mentari lebih dekat, di atas puncak tertinggi jawa.

Jujur, pendakian ini lebih susah dan menantang dibanding pendakian sebelum-sebelumnya.

Setiap aku melangkahkan satu kaki, pasir ini selalu membuatku turun tiga langkah kaki.

Dengan penuh semangat, aku terus berjalan.

Dan.. Finally, di bagian akhir, aku tiba di atap tertinggi Pulau Jawa dengan ketinggian 3.676 mdpl.

Dari Puncak Semeru yang bernama Mahameru, aku bisa melihat cantiknya proses matahari terbit. Sunrise di Mahameru mungin adalah salah satu sunrise terbaik yang pernah aku lihat di seluruh dunia. Langit yang tadinya gelap perlahan berubah menjadi oranye, dan dari balik horizon secara pelahan sang surya menampakkan wujudnya.

 "Arunika!" dari kejauhan Ancala berlari ke arahku. "Kita berada di puncak tertinggi Pulau Jawa." ucapnya sambil memelukku dan ak pun dengan erat membalasa pelukan Ancala.

Tak terasa, air mata ini perlahan menetes. 

"Aku bisa disini Al, sama kamu. Impian aku!" jawabku sambil terus memeluk tubuh Ancala. "Terima kasih ya Al, kamu sahabat terbaik aku. Terima kasih udah menemin aku sampai puncak." lanjutku.

Setelah momen haru itu usai, kini aku dan Ancala mulai mengabadikan beberapa foto. kalau kata Ancala sih, biar bisa kita jadikan kenangan di hari tua nanti. Hehehe..

Aku selalu takjub dengan keindahan Mahameru, tak henti-henti mengucap kalimat syukur.

Wahai, Mahameruku

Tak ada satupun yang membatasimu

Termasuk hujan yang tidak sekalipun menggerusmu

Tetaplah kokoh dan membisu

Selama berada di atas, Semeru melalui Kawah Jonggring Saloka akan mengeluarkan letusan setiap 15 menit sekali. Kalau menurut para porter yang sudah bolak-balik ke sini sih letusan ini tidaklah berbahaya, hanya saja pendaki memang dilarang untuk mendekat ke area kawah.

Letusan ini merupakan salah satu momen yang ditunggu-tunggu oleh pendaki. Di puncak ini, suhu akan sangat dingin.

Arunika Di Puncak Ancala [Bagian Empat] sumber foto/pinterest
Arunika Di Puncak Ancala [Bagian Empat] sumber foto/pinterest

Pukul 08.00 WIB, Ancala mengajakku untuk turun, karena batas hingga puncak hanya sampai 09.00 WIB dan tidak boleh lebih. 

Lewat dari jam tersebut, angin akan berubah jalur ke arah pendakian dengan membawa serta gas beracun. Tentunya akan sangat berbahaya apabila pendaki masih berada di sana. 

"Arunika, hati-hati ya. Fokus!" 

Kalau saat mendaki jalurnya mengerucut ke satu titik, maka saat kembali jalurnya menyebar ke banyak titik. Jadi kita harus berkonsentrasi pada satu jalur lurus yang ia lalui tadi saat mendaki agar bisa kembali menuju Kalimati. Salah sedikit saja, maka Blank 75 siap menanti.

Setelah berjalan cukup lama, tiba juga di Kalimati.

Tapi anehnya, Ancala belum tiba di tenda. Padahal dia berada tak jauh di belakangku.

Sekitar 40 menit kemudian, Ancala datang bersama rombongan lain.

"Mbak, ini temannya tadi drop di tengah jalur." ungkap salah satu pendaki dari rombongan itu.

"Al, kamu kenapa Al? Ini gimana ceritanya tadi, mas?" jawabku dengan sangat panik.

"Kami menemukan masnya di tengah jalur, mbak. Kondisi masnya sudah seperti ini, apa masnya punya riwayat sesak nafas?"

"Nggak, nggak ada mas."

"Ya sudah, biarin temennya istirahat dulu mbak, mungkin kecapekan. Nanti kalau ada apa-apa, mbak langsung samperin kita aja. Tenda kita ada di sebelah situ mbak." ujar pendaki itu sambil menunjukkan ke arah tendanya.

"Iya mas, terima kasih ya mas. Terima kasih!"

Dengan panik, aku langsung membuatkan minuman hangat dan mencoba membangunkan Ancala.

Ancala pun terbangun. "Arunika?" 

"Al, gimana Al kondisi kamu? Maaf aku tadi meninggalkanmu di belakang." kataku dengan rasa bersalah.

"Gapapa, aku tadi kecapekan aja. Hehe. Maaf ya bikin kamu khawatir."

"Ya udah, sekarang kamu istirahat dulu ya Al. Nanti kalau kamu udah enakan, kita turun."

Aku membiarkan Ancala beristirahat.

Dua jam berlalu, Ancala terbangun dari tidurnya.

Sepertinya kondisi dia lebih baik dari sebelumnya.

Untuk pertama kalinya, aku menyiapkan makanan. Ya, aku yang memasak.

Hebat, bukan?

"Ini kamu yang masak?" tanya Ancala dengan mimik wajah yang heran.

"Iya dong, cobain dulu! Pasti lebih enak dari masakan kamu." jawabku dengan sombong.

Dengan lahapnya Ancala memasukkan makanan ke mulutnya. Tiba-tiba Ancala nyeletuk, "Kira-kira masih ada kesempatan lagi nggak ya buat nyobain masakan kamu di pendakian selanjutnya?"

Pertanyaan yang aneh, pikirku.

STAY TUNED FOR THE NEXT STORY, GUYS!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun