Aku berjalan menyusuri jalan setapak
Dihiasi oleh pepohonan tinggi nan rimbun
Yang menghalangi sinar mentari menyentuh kulitku
Entah sudah berapa lama aku berjalan
Tanpa alas kaki yang melindungi
Membuat kakiku tak jarang terkotori cipratan lumpur di sisi jalan
Hangatnya sang surya kala itu
Mengingatkanku akan hangatnya pelukmu
Kesejukan sungai kebahagiaan bagai menatap matamu
Mata indah yang dengannya aku biasa melihat keindahan cinta
Mata indah yang dulu adalah milikku
Kini semua terasa kosong
Jauh meninggalkanku
Rasanya ini seperti mimpi yang tak berujung
Aku kembali berjalan
Tanpa ku sadari, mentari itu perlahan menghilangÂ
Digantikan oleh cahaya mengagetkan yang memotretku dari langit
Dari singgasana tertinggi tempat kaum suci mengintip hiruk pikuk bumi
Ku rasa kali ini semesta mendukungku
Tak berselang lama, air Tuhan turun tanpa permisi
Kini, sekujur tubuhku telah dibasahi oleh-Nya
Begitu pula dengan wajahku
Mungkin dengan air yang berbeda
Dalam rinai hujan yang pongah menghujam
Terbuai wajahmu menyusup bertubi-tubi
Membawa sebaris kata yang menenggelamkan nurani
Di atas pengharapan tak berkesudahan
Tentang kerinduan
Tentang kehilangan
Mengutip satu namamu di antara keluh kesah
Gundah, gelisah, air mata, dan lara
Kini, kesedihan itu resmi menjadi milikku
Penulis : Sintha Wahyu Arista
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H