Mohon tunggu...
Sinta Rusmawati
Sinta Rusmawati Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional UPN veteran Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perempuan dalam Terorisme di Indonesia: Aktor Utama atau Korban?

16 Juni 2022   18:41 Diperbarui: 16 Juni 2022   18:46 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perempuan dalam Terorisme di Indonesia: Aktor Utama atau Korban?

Oleh: Itmamud Dirojah (19044010003); Sinta Rusmawati (19044010048); Fathan Luthpah (19044010049)

Pendahuluan

Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme bukanlah hal yang baru, terutama di Indonesia. Pada awal tahun 2021, tepatnya pada Rabu (31/03), seorang wanita bercadar berinisial ZA menjadi tersangka dalam aksi terorisme yang terjadi di Mabes Polri Jakarta. 

Dalam aksinya tersebut, ia melancarkan sejumlah tembakan yang diarahkan kepada beberapa anggota polisi yang tengah bertugas. Diketahui, bahwa aksi teror tersebut dilatarbelakangi oleh ideologi radikal ISIS yang dipahaminya. 

Tidak hanya sampai disitu saja, Tindakan bom bunuh diri yang kerap kali digunakan sebagai pembuktian keberanian pria juga dapat dilakukan oleh perempuan. Sebagai contoh Ika Puspita Sari dan Umi Delima yang terlibat dalam aksi bom bunuh diri juga terlibat dalam upaya penyusunan rencana dan strategi penyembunyian pelaku

Peristiwa bom bunuh diri oleh perempuan juga terjadi di Surabaya pada tahun 2018 yang melibatkan satu keluarga dan empat anaknya yang berusia 12 dan 9. Bom diledakkan di lokasi berbeda, yaitu tiga gereja, kantor polisi, da rumah susun di Surabaya. Pelaku serangan tersebut ialah Puji Kuswati dan dua putrinya. 

Suami Kuswati diketahui ialah anggota unit teroris lokal yang berhubungan dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Pada kasus Bom Surabaya, pelaku terorisme menggunakan perempuan sebagai strategi untuk menyukseskan aksi teror. Hal ini dikarenakan aksi perempuan dianggap tidak menimbulkan kecurigaan, memiliki kemampuan untuk menyembunyikan bahan peledak dan pengawasan terhadap perempuan dan anak-anak lebih rendah.

Berdasarkan laporan tersebut, tampaknya aksi terorisme tidak lagi berfokus sebagai sebuah ajang jihad yang hanya dilakukan oleh kaum pria. Dapat dikatakan bahwa kaum perempuan tidak lagi hanya sebatas memegang peranan pendukung, tetapi juga berperan aktif sebagai pelaku utama dalam aksi terorisme. 

Terkait hal tersebut, beragamnya peran perempuan dalam aksi terorisme merupakan sebuah pertanda, akankah perempuan berganti peran menjadi aktor utama atau justru hanya sebatas strategi perang yang digunakan oleh kelompok-kelompok ekstremis.

Perempuan sebagai Strategi Terorisme

Kasus bom bunuh diri di Surabaya pada 13 Mei 2018 menandakan bahwa perempuan dapat menjadi strategi operasi terorisme. Aksi pengeboman gereja yang dilakukan oleh Satu keluarga yaitu Dita Oepriarto, Puji Kuswati, dan keempat anak-anaknya. Aksi pengeboman tersebut dilakukan dengan memberi sabuk bom kepada kedua anak perempuan Bersama sang ibu dan meledakkan diri di depan gereja. Aksi tersebut berhasil menewaskan 18 orang, yaitu 6 pelaku dan 12 masyarakat umum (Voi.id, 2021).

Strategi perlibatan perempuan dan anak dalam aksi terorisme memberikan keuntungan. Sebagai contoh kasus Bom Surabaya tersebut telah menjadi perhatian dunia, meraih simpati yang lebih besar terhadap tujuan para teroris, meningkatkan ketakutan publik. Hal ini menandakan bahwa tujuan terorisme dengan mudah tercapai dengan menggunakan strategi perempuan sebagai pejuang.

Kelompok teroris telah menargetkan perempuan melalui aksi dengan tindakan seksual yang berbasis gender serta kekerasan untuk mencapai tujuan ideologi dan tujuan taktis. Banyak perempuan yang terlibat dalam kelompok terorisme akibat dari paksaan dan diluar kemauan, keterlibatan paksaan tersebut dilakukan dengan berbagai cara seperti membuat ancaman, menculik, hingga ancaman terhadap orang terdekat seperti kepada keluarga (UNODC, 2019).

Selain mendapat kekerasan dan tindakan seksual, tidak jarang perempuan yang menjadi korban dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok seperti untuk membantu menyembunyikan pelaku teror. 

Perempuan yang menjadi korban hingga masuk ke dalam kelompok terorisme biasanya direkrut oleh keluarga mereka sendiri secara tidak sadar seperti oleh ayah, suami, hingga keluarga laki-laki lainnya. Hal tersebut diperkuat dengan statemen yang diberikan bahwa perempuan harus patuh dan tidak melawan,  kondisi tersebut tentu saja membuat para perempuan tidak berdaya dan kesulitan untuk melawan (Zuriah, 2022). 

Penargetan perempuan oleh kelompok terorisme juga sering kali dilakukan dengan tujuan khusus dan pasti akan melibatkan  tindakan kekerasan seksual berbasis gender, seperti pernikahan paksa, pemerkosaan, hingga perbudakan seksual (Crelinsten, 2022). 

Hal tersebut dirancang sebagai upaya untuk mengintimidasi para perempuan untuk tidak terlibat dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Keterlibatan perempuan sebagai korban dapat dimulai dari kekerasan rumah tangga terutama dari pasangan yang telah bergabung dengan kelompok radikal atau terorisme.

Kekerasan yang melibatkan seksualitas pada perempuan telah berfungsi sebagai upaya untuk mempromosikan tujuan teroris dari perhatian media,  meningkatkan rasa takut dan khawatir, simpati yang lebih besar, serta untuk memperluas jumlah rekrutan atau anggota. 

Pernyataan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa perempuan perempuan tidak memiliki kredibilitas sebagai aktor terorisme dan jarang menduduki posisi sebagai pemimpin (Banks, 2019). Kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan oleh kelompok teroris cenderung dianggap menguntungkan karena keberadaan kelompok tersebut telah diliput. 

Meskipun banyak perempuan yang telah menjadi korban kekerasan terorisme hal tersebut tidak jarang diabaikan bahkan hanya sedikit yang dipertimbangkan karena dianggap tidak begitu terlibat dalam garis depan aksi terorisme. 

Hal tersebut juga didukung bahwa para perempuan sering kali tidak memiliki kekuatan untuk memberontak karena tidak dihormati oleh laki-laki. Banyak kelompok ekstrimis yang tidak hanya memperdagangkan perempuan untuk tujuan kelompok saja tetapi sebagai award atau hadiah yang akan diberikan pada anggota kelompok laki-laki dengan pernikahan secara paksa. 

Pernikahan tersebut biasanya berorientasi pada eksploitasi seksual, kerja paksa, hingga reproduksi paksa dengan kekuasaan mutlak yang dimiliki laki-laki dalam rumah tangga (Daliwal & Kelly, 2020) . Semakin banyak perempuan yang telah menjadi korban kekerasan dalam aksi terorisme. Hal tersebut karena para korban sulit untuk mendapatkan dan mengakses hukum serta keadilan, meskipun para korban tersebut telah berupaya melakukan berbagai aksi untuk mendapatkan keadilan dan dukungan dari tingkat aparat pemerintahan hingga sosial.

Motivasi Perempuan Sebagai Pelaku Terorisme

Perspektif lain  untuk menyangkal pernyataan yang mengungkapkan bahwa keterlibatan perempuan dalam terorisme merupakan bagian dari strategi perang yang digunakan oleh kelompok- kelompok ekstremisme, atau dalam kata lain mengungkapkan bahwa keterlibatan perempuan didalamnya hanya diartikan sebagai korban. 

Terkait hal ini, perspektif baru hadir untuk memberikan pandangan berbeda dalam menanggapi fenomena tersebut, yang mana mempercayai kehadiran motivasi lain, tidak hanya doktrin atau paksaan hingga akhirnya menjadikan mereka sebagai korban, tetapi sejumlah motivasi pribadi yang pada akhirnya mendorong mereka menjadi pelaku utama dalam aksi terorisme. 

Untuk lebih memahami maksud yang coba diungkapkan oleh perspektif baru ini, mari kita menilik sejumlah kasus terorisme di Indonesia, mengingat beragamnya peran perempuan dalam aksi terorisme yang terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, khususnya pada rentang tahun 2011-2021.

Pada kasus yang pertama, yakni keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme yang didorong oleh alasan religius, yakni memperoleh gelar syahid dalam kematiannya. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen Pol Idham Aziz sat menggelar konferensi pers menanggapi laporan tiga orang perempuan yang bergabung bersama kelompok teroris MIT di wilayah Poso Pesisir, Kabupaten Poso. 

Diketahui, ketiga perempuan tersebut merupakan istri dari para pimpinan MIT, yakni Santoso alias Abu Wardah, Basri, dan Ali Kalora. Selain it, alasan lain yang diduga turut mendorong perempuan-perempuan tersebut tergabung ke dalam kelompok teroris MIT yakni sebagai ajang untuk membalaskan dendam para suaminya yang telah tewas lebih dulu.

Pada kasus yang kedua, kembali menilik pada aksi terorisme yang terjadi di Mabes Polri Jakarta pada Rabu, 31 Mart 2021. Aksi teror yang terjadi yakni berupa penembakan terhadap anggota polisi yang tengah bertugas. Dalam aksinya tersebut, ZA tersangka pelaku teror merupakan tersangka 'lone wolf, yang berarti ia melakukan aksinya seorang diri.

Namun, dalam aksinya tersebut ia berhasil ditaklukkan dengan cara ditembak mati. Terkait motif dibalik serangannya, polisi berhasil menemukan jawaban melalui akun instagram pelaku, dimana selanjutnya a diketahui sebagai salah satu pengikut aliran ISIS. Selain itu, berdasarkan unggahan terakhir pelaku di akun instagramnya terkait perjuangan jihad, menjadikan jihad sebagai alasan terkuat dibalik aksi terornya tersebut.

Berdasarkan dua kasus di atas, dapat diketahui bahwa alasan keterlibatan perempuan dalam terorisme tidak hanya didorong oleh satu motif tertentu, melainkan didorong oleh sejumlah motif yang pada akhirnya dapat mengubah peran perempuan dari korban atau pelaku pasif menjadi pelaku aktif. 

Selain alasan jihad dan balas dendam, terdapat alasan lain yang diduga kuat dapat mendorong perempuan untuk terlibat ke dalam aksi terorisme. Beberapa alasan tersebut diantaranya: feminisme; trauma; balas dendam; bentuk nasionalisme; marjinalisasi: penilaian negatif terkait identitas yang dimilikinva: serta komitmen yang kuat akan identitas kelompok (ekstremis).

Kesimpulan 

Dengan Kedua penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perempuan bisa saja menjadi pelaku maupun korban, hal ini dapat dilihat pada tujuan dan keadaan yang dialami perempuan. 

Perempuan yang awalnya hanya berperan sebagai pendukung juga bisa jadi pelaku aktif dalam terorisme. selain itu banyak juga perempuan yang terpaksa menjadi pelaku penyerangan karena doktrin serta ancaman dari pemimpin organisasi. Maka dari itu diperlukan pemahaman lebih lanjut bahwa perempuan memiliki identitas berbeda dalam perannya di organisasi terorisme.

Dengan fakta bahwa perempuan dapat berperan sebagai pelaku dan adakalanya perempuan merupakan korban, hal ini dapat menjadi pertimbangan dalam menangani kasus tersebut. Pertimbangan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan penanganan lanjutan tentang aksi terorisme.

References

Banks, C., 2019. Introduction: Women, Gender, and Terrorism: Gendering Terrorism, Women & Criminal Justice. Routledge, Issue 29:, pp. 4-5.

BBC News Indonesia. (2021). Penembakan Mabes Polri: 'Terduga teroris berideologi ISIS', polisi ungkap identitas perempuan 25 tahun pelaku serangan. Retrieved April 18, 2022, from https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56579674

Crelinsten, R., 2022. Online Gender-Based Violence is Endemic: It Should Be Considered a Form of Terrorism. [Online]
Available at: https://www.cigionline.org/articles/online-gender-based-violence-is-endemic-it-should-be-considered-a-form-of-terrorism/
[Accessed 15 May 2022].

Cyndi Banks (2019) Introduction: Women, Gender, and Terrorism: Gendering Terrorism, Women & Criminal Justice, 29:4-5, 181-187, DOI: 10.1080/08974454.2019.1633612

Daliwal, S. & Kelly, L., 2020. The Links Between Radicalisation and Violence Against Women and Girl. s.l.:London Metropolitan Unoversity.

G. R. (2021). Salience identity of women in terrorism. Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies. doi:https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/equality/article/view/10407

UNODC, 2019. Handbook on: Gender Dimension of Criminal Justice Responses to Terrorism.. English: Publishing and Library Section, United Nations Office at Vienna.

Voi.id, 2021. Pengeboman Tiga Gereja di Surabaya dalam Sejarah 13 Mei 2018. [Online]
Available at: https://voi.id/memori/51062/pengeboman-tiga-gereja-di-surabaya-dalam-sejarah-13-mei-2018
[Accessed 15 Mei 2022].

Zuriah, N., 2022. Perempuan dalam Isu Terorisme, Jadi Korban dan Sulitnya Pemulihan. [Online]
Available at: https://www.nu.or.id/nasional/perempuan-dalam-isu-terorisme-jadi-korban-dan-sulitnya-pemulihan-iDpeH
[Accessed 15 May 2022].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun