Pernikahan tersebut biasanya berorientasi pada eksploitasi seksual, kerja paksa, hingga reproduksi paksa dengan kekuasaan mutlak yang dimiliki laki-laki dalam rumah tangga (Daliwal & Kelly, 2020) . Semakin banyak perempuan yang telah menjadi korban kekerasan dalam aksi terorisme. Hal tersebut karena para korban sulit untuk mendapatkan dan mengakses hukum serta keadilan, meskipun para korban tersebut telah berupaya melakukan berbagai aksi untuk mendapatkan keadilan dan dukungan dari tingkat aparat pemerintahan hingga sosial.
Motivasi Perempuan Sebagai Pelaku Terorisme
Perspektif lain  untuk menyangkal pernyataan yang mengungkapkan bahwa keterlibatan perempuan dalam terorisme merupakan bagian dari strategi perang yang digunakan oleh kelompok- kelompok ekstremisme, atau dalam kata lain mengungkapkan bahwa keterlibatan perempuan didalamnya hanya diartikan sebagai korban.Â
Terkait hal ini, perspektif baru hadir untuk memberikan pandangan berbeda dalam menanggapi fenomena tersebut, yang mana mempercayai kehadiran motivasi lain, tidak hanya doktrin atau paksaan hingga akhirnya menjadikan mereka sebagai korban, tetapi sejumlah motivasi pribadi yang pada akhirnya mendorong mereka menjadi pelaku utama dalam aksi terorisme.Â
Untuk lebih memahami maksud yang coba diungkapkan oleh perspektif baru ini, mari kita menilik sejumlah kasus terorisme di Indonesia, mengingat beragamnya peran perempuan dalam aksi terorisme yang terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, khususnya pada rentang tahun 2011-2021.
Pada kasus yang pertama, yakni keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme yang didorong oleh alasan religius, yakni memperoleh gelar syahid dalam kematiannya. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen Pol Idham Aziz sat menggelar konferensi pers menanggapi laporan tiga orang perempuan yang bergabung bersama kelompok teroris MIT di wilayah Poso Pesisir, Kabupaten Poso.Â
Diketahui, ketiga perempuan tersebut merupakan istri dari para pimpinan MIT, yakni Santoso alias Abu Wardah, Basri, dan Ali Kalora. Selain it, alasan lain yang diduga turut mendorong perempuan-perempuan tersebut tergabung ke dalam kelompok teroris MIT yakni sebagai ajang untuk membalaskan dendam para suaminya yang telah tewas lebih dulu.
Pada kasus yang kedua, kembali menilik pada aksi terorisme yang terjadi di Mabes Polri Jakarta pada Rabu, 31 Mart 2021. Aksi teror yang terjadi yakni berupa penembakan terhadap anggota polisi yang tengah bertugas. Dalam aksinya tersebut, ZA tersangka pelaku teror merupakan tersangka 'lone wolf, yang berarti ia melakukan aksinya seorang diri.
Namun, dalam aksinya tersebut ia berhasil ditaklukkan dengan cara ditembak mati. Terkait motif dibalik serangannya, polisi berhasil menemukan jawaban melalui akun instagram pelaku, dimana selanjutnya a diketahui sebagai salah satu pengikut aliran ISIS. Selain itu, berdasarkan unggahan terakhir pelaku di akun instagramnya terkait perjuangan jihad, menjadikan jihad sebagai alasan terkuat dibalik aksi terornya tersebut.
Berdasarkan dua kasus di atas, dapat diketahui bahwa alasan keterlibatan perempuan dalam terorisme tidak hanya didorong oleh satu motif tertentu, melainkan didorong oleh sejumlah motif yang pada akhirnya dapat mengubah peran perempuan dari korban atau pelaku pasif menjadi pelaku aktif.Â
Selain alasan jihad dan balas dendam, terdapat alasan lain yang diduga kuat dapat mendorong perempuan untuk terlibat ke dalam aksi terorisme. Beberapa alasan tersebut diantaranya: feminisme; trauma; balas dendam; bentuk nasionalisme; marjinalisasi: penilaian negatif terkait identitas yang dimilikinva: serta komitmen yang kuat akan identitas kelompok (ekstremis).