Mohon tunggu...
Sinta NurFatimah
Sinta NurFatimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

JJ Fansbase

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Serba-serbi Hukum Perdata Islam di Indonesia

29 Maret 2023   19:22 Diperbarui: 29 Maret 2023   19:29 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia
Hukum Perdata Islam di Indonesia adalah salah satu hukum positif yang berlaku dan berkembang di Indonesia yang berkaitan dengan hukum perkawinan, kewarisan dan pengaturan masalah kebendaan, dan hak-hak atas benda, aturan jual beli, pinjam meminjam, persyarikatan atau kerjasama, pengalihan hak, dan segala yang berkaitan dengan transaksi.

Dalam pengertian umum hukum perdata Islam mengatur mengenai hal-hal yang berkenaan dengan hukum perkawinan, hukum waris, hukum ziswaf, hukum hibah dan wasiat, dan ekonomi syariah. Sedangkan dalam pengertian khusus hukum perdata islam juga mengatur mengenai bisnis islam seperti hutang piutang, sewa menyewa, upah, syirkah/serikat, mudharabah, muzara'ah, mukhabarah, dan lain sebagainya.

Dalam hukum Perdata Islam di Indonesia membahas lebih dalam menyangkut persoalan yang berhubungan antara orangtua dengan anak, gono gini, talak, perceraian, rujuk, dan segala hal permasalahan yang muncul baik sebelum dan setelah adanya perkawinan serta apa saja akibat hukum yang berkaitan mengenai perceraian. Hal itu pula menyangkut mengenai masalah waris, ahli waris, pembagian harta dan lain sebagainya.

Hukum perdata Islam di Indonesia adalah hukum yang mengikat dan berlaku menyangkut pasal hak-hak dan kewajiban di Indonesia yang berkenaan tentang apa saja yang memiliki kaitannya dengan hukum Islam. Dengan kata lain hukum perdata Islam di Indonesia juga dapat disebut dengan privat materiil Sebagai sumber data atau pedoman bagi khususnya umat Islam di Indonesia.

Hukum Perdata Islam di Indonesia hanya berlaku untuk umat Islam saja sehingga hukum ini tidak berlaku bagi masyarakat nonmuslim. Sehingga hukum mengenai perkawinan islam, waris islam, ziswaf, hibah, wasiat, ekonomi syariah hanya mengatur untuk umat Islam saja.

B. Prinsip Perkawinan Merujuk dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Yang menjadi prinsip perkawinan dalam UU No. 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut:

1. Membangun keluarga yang bahagia dan kekal, setiap pasangan yang membangun hubungan lalu menikah tentu saja mengharapan kehidupan rumah tanggal yang dijalani berjalan selamanya hingga akhir hayat dan menjalani kehidupan yang membahagiakan. Maka untuk demikian pasangan suami istri harus saling melengkapi dan membatu supaya dapat memahami kepribadian satu sama lain dan menciptakan kesejahteraan dalam rumah tangga.

2. Setiap pernikahan dapat dikatakan sah apabila dilakukan dengan yang seagama dan dilakukan menurut hukum agama masing-masing kemudian dicatatkan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
3. Monogami, namun dalam hal ini terdapat pengecualian dimana seorang laki-laki dapat beristri lebih dari satu karena hukum agama yang bersangkutkan memperbolehkan hal tersebut dengan syarat memenuhi setiap syarat dan ketentuan yang berlaku.

4. Memiliki prinsip mempersulit melakukan perceraian karena sejalan dengan tujuan pernikahan yaitu menciptakan keluarga yang bahagian dan kekal.
5. Suami istri memiliki kedudukan yang sama baik di dalam keluarga maupun di lingkungan masyarakat.

6. Prinsip saling mencintai, dimana jika pasangan saling mencintai akan menjadi perekat keharmonisan dalam rumah tangga. Maka dengan sikap penuh kesabaran, kesetiaan, penuh kasih sayang akan menciptakan suasana yang harmonis.
7. Prinsip saling melindungi dan melengkapi, sepasang suami istri harus memiliki sikap saling melindungi satu sama lain dan saling menjaga kenyamanan dan kesejahteraan bersama. Selain itu mereka juga harus melengkapi kekurangan satu sama lain

8. Prinsip diskusi dan komunikasi, sebagai pasangan jika terdapat perbedaan pendapat atau menghadapi suatu permasalahan dapat diselesaikan dengan berkomunukasi dengan kepala dingin dan saling mendengarkan satu sama lain, maka dengan demikian maka kehidupan rumah tangga akan lebih harmonis.

C. Pentingnya pencatatan pernikahan dan dampak jika tidak melakukannya

1. Pentingnya pencatatan perkawinan
a) secara sosiologis pentingnya pencatatan pernikahan yaitu apabila seseorang sudah melangsungkan pernikahan maka mereka akan mendapatkan pengakuan dari masyarakat sekitar bahwasanya mereka telah melakukan sebuah pernikahan yang sah.

b) secara religious pencatatan pernikahan sebenarnya tidak mempengaruhi kesahannya sebuah pernikahan dan dianggap sebagai pelengkap saja namun dengan mempertimbangkan dampak-dampak yang timbul maka sangat penting juga untuk mencatatkan pernikahan yang sudah dilakukan. Selain itu dengan pencatatkan pernikahan pasangan suami istri dapat membuktikan bahwa pernikahan mereka sah.

c) secara yuridis, melihat pentingnya pencatatan secara yuridis dengan mencatatkan pernikahan akan mendapatkan dua keutamaan yaitu dari sisi administrasi kenegaraan dimana pemerintah dapat dengan mudah mengetahui data dari suatu keluarga jika akan dilakukan penyuluan, bantuan, program untuk anak dan lain sebagainya, sedangan dari sisi individu seorang jika mencatatkan perkawinannya maka jika terjadi sesuatu hal di dalam rumah tangga maka dapat mengajukan tuntutan kepengadilan karena memiliki kekuatan hukum.

2. Terdapat beberapa hal yang menjadi dampak tidak melakukan pencatatan pernikahan
a) Melihat dari segi sosiologi apabila tidak melakukan pencatatan pernikahan maka warga masyarakat tidak akan mengetahui dan mereka tidak dapat menunjukkan pernikahan mereka benar-benar sah atau tidak.

b) dari segi religious, sebenarnya tidak terlalu berpengaruh apabila tidak melakukan pencatatan pernikahan tapi jika dilihat dari segi kemanfaatannya maka sangat penting untuk melakukan pencatatan perkawinan dimana salah satunya dapat menunjukkan bahwa anak yang lahir dalam perkawinan tersebut merupakan anak yang sah, sehingga anak tersebut dapat menuntut haknya dari orang tua.

c) Dari segi yuridis apabila suatu perkawinan tidak dicatatkan maka mereka tidak dapat menyatakan perkawinan yang telah berlangsung merupakan perkawinan yang sah dikarenakan tidak dapat menunjukkan bukti secara administrasi. Selain itu jika sudah tidak cocok dan ingin bercerai meraka tidak dapat menuntut hak satu sama lain dikarenakan mereka tidak memiliki kekebalan hukum.

D. Pendapat ulama dan KHI mengenai pernikahan wanita hamil
Menurut ulama:
1. Menurut pandangan Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa jika yang menikahi wanita tersebut adalah laki-laki yang menghamilinya maka hukumnya boleh, sedangkan jika yang menghamilinya adalah laki-laki yang bukan menghamili maka laki-laki tersebut tidak boleh berhubungan dengan wanita hamil tersebut sebelum dia melahirkan.

2. Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad bila yang menikahi bukan yang menghamili maka tidak boleh, jika berkeinginan menikahinya maka harus menunggu wanita tersebut melahirkan dulu dan telah habis masa iddah nya.
Imam Ahmad menambahi satu hal lagi syarat untuk menikahi wanita tersebut yaitu setelah dia bertobat dan meminta maaf kepada Allah SWT dari dosa zinanya. Jika belum bertobat maka dia belum boleh dinikahi oleh laki-laki manapun.

3.  Sedangkan menurut Imam Syafi'i beliau memperbolehkan baik laki-laki yang menghamilinya maupun bukan.
Menurut KHI:
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut :

Dimana seorang wanita hamil dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya dimana merujuk pada pasal (1) seorang wanita hamil dapat dikawinkan tidak perlu menunggu dia melahirkan terlebih dahulu.


E. Hal yang dapat dilakukan untuk mengghindari terjadinya perceraian
Memang sebuah perceraian diperbolehkan dalam agama Islam namun akan lebih baiknya sebuah perceraian dihindari. Ada berapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya tindak perceraian seperti:
1. Saling mengerti satu sama lain
Jika dalam sebuah hubungan rumah tangga tidak saling mengerti maka akan banyak sekali muncul perdebatan didalamnya. Dengan saling mengerti dan memahami satu sama lain maka dengan pasangan akan lebih damai dan harmonis karena mengerti apa yang diingin kan dan dipikiran oleh pasangan kita.

2. Mengungkapkan apa yang dipikirkan
Jika ada hal yang ingin disampaikan kepada pasangan kita hendaknya langsung saja diungkapkan dengan baik. Dengan saling terbuka dengan pasangan maka akan mengetahui sudut pandang dari pasangan kita. Jika terlalu sering memendam apa yang ingin diungkapkan maka akan menimbulkan kesalahpahaman. Mengungkapkan perasaan atau apa yang dipikirkan dapat mempermudah menyelesaikan permasalahan di dalam rumah tangga.
3. Hindari menyalahkan pasangan

Tidak ada yang ingin disalahkan walau dirinya sendiri tau bahwa dia salah. Pada umumnya antar pasangan akan saling menyalahkan satu sama yang lain dan hal itu akan menyebabkan pertengkaran yang besar yang tidak ada ujungnya. Sebuah hal yang lumrah bahwa dalam sebuah kehidupan berumah tangga terdapat masalah-masalah yang muncul maka dengan demikian akan lebih baiknya diselesaikan dengan baik-baik dengan kepala yang dingin.
4. Belajar memaafkan

Setiap manusia pasti memiliki kesalahan tidak luput juga pasangan kita maka dengan demikian tidak ada salahnya jika kita bisa memaafkan kesalahan pasangan jika sudah selesai masalahnya. Dan jangan sering mengungkit-ungkit lagi masalah yang sudah berlalu, karena tidak ada yang ingin diungkit lagi kesalahannya.


F. Tentang review buku yang sudah saya baca

Buku tulisan Abdul Manan yang berjudul "Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia" berisikan tentang apa saja masalah yang ada dalam hukum perdata islam di Indonesia dimana untuk menudahkan para pembaca buku ini terbagi menjadi 10 BAB dalam masing masing BAB nya membicarakan hal yang berbeda-beda. Buku ini menjelaskan secara lengkap mengenai berbagai macam hal seperti hukum perkawinan, problematika nikahul fasid dan pembatalan perkawinan, masalah pengakuan anak, hukum tentang harta bersama, hibah, wasiat, hukum waris islam, wakaf, sedekah, dan pengaruh teori receptie.

Dalam buku ini penulis sudah sangat lengkap memberikan penjelasan-penjelasan mengenai materi-materi yang dijabarkan, materi yang dimuatpun sangat beragam Dan bervariasi sehingga pembaca disuguhkan banyak informasi baru. 

Namun dalam buku ini terdapat banyak Hal yang dijelaskan secara bertele-tele dan diulang lagi sehingga dapat menyebabkan pembaca menjadi bosan dan tidak tertarik untuk membaca lebih lanjut mengenai buku ini. Selain itu disetiap BAB tidak konsisten dimana ada terdapat BAB yang disertai dengan kesimpulannya sedangkan di BAB lain tidak disertakan kesimpulannya. Diharapkan untuk kedepannya penulis dapat menuliskan karyanya lebih menarik lagi untuk dibaca oleh pembaca dan lebih konsisten dalam penulisannya.

Setelah saya membaca keseluruhan dari buku ini saya mendapat banyak pengetahuan baru mengenai apa saja ruang lingkup aneka masalah hukum perdata islam di Indonesia. Seperti halnya dalam masalah hukum perkawinan dimana di dalam buku ini saya menjadi mengetahui apa saja yang berkenaan tentang larangan pernikahan, batalnya pernikahan, hak suami istri dan lain sebagainya.

Nama: Sinta Nur Fatimah

NIM: 212121124

Kelas: 4D HKI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun