C. Pentingnya pencatatan pernikahan dan dampak jika tidak melakukannya
1. Pentingnya pencatatan perkawinan
a) secara sosiologis pentingnya pencatatan pernikahan yaitu apabila seseorang sudah melangsungkan pernikahan maka mereka akan mendapatkan pengakuan dari masyarakat sekitar bahwasanya mereka telah melakukan sebuah pernikahan yang sah.
b) secara religious pencatatan pernikahan sebenarnya tidak mempengaruhi kesahannya sebuah pernikahan dan dianggap sebagai pelengkap saja namun dengan mempertimbangkan dampak-dampak yang timbul maka sangat penting juga untuk mencatatkan pernikahan yang sudah dilakukan. Selain itu dengan pencatatkan pernikahan pasangan suami istri dapat membuktikan bahwa pernikahan mereka sah.
c) secara yuridis, melihat pentingnya pencatatan secara yuridis dengan mencatatkan pernikahan akan mendapatkan dua keutamaan yaitu dari sisi administrasi kenegaraan dimana pemerintah dapat dengan mudah mengetahui data dari suatu keluarga jika akan dilakukan penyuluan, bantuan, program untuk anak dan lain sebagainya, sedangan dari sisi individu seorang jika mencatatkan perkawinannya maka jika terjadi sesuatu hal di dalam rumah tangga maka dapat mengajukan tuntutan kepengadilan karena memiliki kekuatan hukum.
2. Terdapat beberapa hal yang menjadi dampak tidak melakukan pencatatan pernikahan
a) Melihat dari segi sosiologi apabila tidak melakukan pencatatan pernikahan maka warga masyarakat tidak akan mengetahui dan mereka tidak dapat menunjukkan pernikahan mereka benar-benar sah atau tidak.
b) dari segi religious, sebenarnya tidak terlalu berpengaruh apabila tidak melakukan pencatatan pernikahan tapi jika dilihat dari segi kemanfaatannya maka sangat penting untuk melakukan pencatatan perkawinan dimana salah satunya dapat menunjukkan bahwa anak yang lahir dalam perkawinan tersebut merupakan anak yang sah, sehingga anak tersebut dapat menuntut haknya dari orang tua.
c) Dari segi yuridis apabila suatu perkawinan tidak dicatatkan maka mereka tidak dapat menyatakan perkawinan yang telah berlangsung merupakan perkawinan yang sah dikarenakan tidak dapat menunjukkan bukti secara administrasi. Selain itu jika sudah tidak cocok dan ingin bercerai meraka tidak dapat menuntut hak satu sama lain dikarenakan mereka tidak memiliki kekebalan hukum.
D. Pendapat ulama dan KHI mengenai pernikahan wanita hamil
Menurut ulama:
1. Menurut pandangan Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa jika yang menikahi wanita tersebut adalah laki-laki yang menghamilinya maka hukumnya boleh, sedangkan jika yang menghamilinya adalah laki-laki yang bukan menghamili maka laki-laki tersebut tidak boleh berhubungan dengan wanita hamil tersebut sebelum dia melahirkan.
2. Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad bila yang menikahi bukan yang menghamili maka tidak boleh, jika berkeinginan menikahinya maka harus menunggu wanita tersebut melahirkan dulu dan telah habis masa iddah nya.
Imam Ahmad menambahi satu hal lagi syarat untuk menikahi wanita tersebut yaitu setelah dia bertobat dan meminta maaf kepada Allah SWT dari dosa zinanya. Jika belum bertobat maka dia belum boleh dinikahi oleh laki-laki manapun.
3. Â Sedangkan menurut Imam Syafi'i beliau memperbolehkan baik laki-laki yang menghamilinya maupun bukan.
Menurut KHI:
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut :
Dimana seorang wanita hamil dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya dimana merujuk pada pasal (1) seorang wanita hamil dapat dikawinkan tidak perlu menunggu dia melahirkan terlebih dahulu.