3. Hak dan Kewajiaban suami istri; Suami istri wajib menciptakan suasana rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warahmah, serta harus saling mencintai, menghormati, setia, dan saling tolong menolong. Dalam rumah tangga suami berkedudukan sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Hak dan kedudukan istri harus sama dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga maupun dalam bergaul di masyarakat.
4. Harta Kekayaan dalam Perkawinan; Harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama sedangan harta yang dibawa masing-masing pihak seperti hadiah dan warisan tetap menjadi milik pribadi.
5. Perkawinan Wanita Hamil; Seorang wanita hamil boleh dikawinkan dengan orang yang menghamilinya, boleh dikawinkan sebelum bayi yang dikandungnya dilahirkan, setelah melahirkan tidak perlu lagi mengulang perkawinan.
Dalam Islam jika pelaksanaan akad pernikahan tidak sesuai dengan syariat yang ada maka hal tersebut bisa dikatakan sia-sia karena dapat dikatakan hal tersebut melanggar hukum dan jika telah terlanjur dilakukan dapat dibatalkan. Menurut ketentuan hukum Islam jika seseorang mengetahui akan diadakan perkawinan namun syarat dan rukunnya belum terpenuhi semua makan ia wajib menghentikan perkawinan tersebut agar perkawinan tersebut gagal untuk dilaksanakan. Secara substansial pembatalan perkawinan bukan hanya karena kurangnya rukun dan syarat namun luas jangkauannya mencakup hal-hal yang menyebabkan dampak negatif bagi pasangan suami istri seperti tidak terdaftarnya perkawinan, wali nikah yang tidak sah, kawin paksa, dan atas dasar lainnya.
Pencatatan perkawinan sangat penting dilakukan, namun pada kenyataanya masih banyak masyarakat yang belum mengetahui akan hal itu sehingga masih diperlukan sosialisasi lebih lanjut lagi. Bagi yang beragama Islam dapat mencatatkan perkawinannya di Direktorat Agama Islam Departemen Agama RI sedangakan bagi non-Islam dapat dilakulan di kantor catatan sipil.Â
Di dalam hukum islam asal usul seorang anak dibagi menjadi 3 yaitu; kelahiran berdasarkan pernikahan yang sah, pengakuan seseorang terhadap anak dengan menyatakan bahwa anak tersebut adalah anaknya, dan membuktikan dengan bukti-bukti yang sah bahwa anak tersebut adalah anak dari si fulan. Dan ada tiga macam status anak yang diatur dalam hukum perdata yaitu; anak sah merupakan anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah, anak yang diakui yaitu anak yang diakui oleh ayah atau ibunya hasil dari anak luar kawin, dan anak yang disahkan yaitu anak luar nikah dari sepasang wanita dan pria yang mengakui bahwa anak yang lahir sebelum pernikahan itu sebagai anak mereka yang sah, pengakuan tersebut dilakuakan dengan mencatatnya di akta perkawinan.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa anak adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Ada empat syarat nasab anak dianggap sah yaitu kehamilan istri bukan suatu hal yang mustahil atau wajar untuk hamil, jangka waktu kelahiran dengan pernikahan sedikit-dikitnya enam bulan, anak yang lahir terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan, dan suami tidak mengingkar anak tersebut.
Dalam pengertian formil bahwa pengakuan anak secara hukum adalah suatu bentuk pemberian keterangan dari seorang pria yang menyatakan pengakuan terhadap anak-anaknya. Pengakuan anak pada awalnya hanya dimaksudkab untuk menciptaka adanya kaitan kekeluargaan kepada anak di luar nikah, namun seiring berjalannya waktu perngertian tersebut diperluas sehingga mempunyai arti yang hampir sama dengan pengangkatan anak dalam hukum perdata. Menurut Konsep Hukum Islam, pengakuan anak ada dua macam yaitu pengakuan anak untuk diri sendiri dan pengakuan anak untuk orang lain.Â
Membahas tentang harta bersama sering kali tidak mendapatkan perhatian khusus padahal dalam kenyataannya hal tersebut sangat penting untuk dibahas karena dapat menimbulkan masalah yang serius jika terdapat pasangan suami istri ingin cerai. Harta bersama ialah harta yang didapat selama sepasang wanita dan pria terikat dalam suatu perkawinan. Para pakar hukum Islam berbeda pendapat mengenai harta bersama. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa agama Islam tidak mengatur secara jelas mengenai harta bersama dalam Al-Qur'an sehingga terserah sepenuhnya pada mereka untuk mengaturnya. Dalampembagian harta bersama yaitu setengah untuk suami dan setengah untuk istri namun karena ditinjau dari yang melatar belakangi yaitu pihak suami dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Demi memenuhi rasa keadilan maka pihak hukum wajib berhati-hati dalam menentukan pembagian bersama. Sehingga tidak melulu setengah untuk istri dan setengah untuk suami.Â
Hibah merupakan memberikan sesuatu harta atau yang lainnya kepada orang lain. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Ada tiga hal yang masuk dalam rukun hibah yaitu orang yang memberi, orang yang menerima, dan harta yang dihibahkan. Syarat orang yang memberikan hibah yaitu barang yang dihibahkan merupakan barang si pemberi hibah sendiri, orang yang memberi hibah bukanlah orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan, orang yang memberi adalah orangnya cakap dalam bertindak hukum, dan orang yang memberi hibah tidak dipaksa untuk melakukan tindakan hibah tersebut. Apabila seseorang yang menghibahkan hartanya dalam keadaan sakit lalu mati karena penyakit tersebut maka hukum dari harta hibah tersebut sama seperti hukum wasiat. Syarat orang yang menerima hibah adalah para penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada ketika hibah dilakukan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dan dewasa. Dan barang yang dihibahkan harus benar-benar ada dan bernilai. Dalam pemberian hibah tidak disebutkan berapa minimal pemberian harta hibah tersebut, sehingga bebas mau memberikan berapapun. Namun ada yang menjelaskan bahwa orang yang memberikan haryanya secara keseluruhan untuk dihibahkan adalah orang yang dungu sehingga tindakannya harus dibatasi.Â
Pengambilan kembali harta yang sudah diberikan merupakan sesuatu yang diharamkan, harta hibah yang boleh ditarik kembali hanyalah harta hibah yang diberikan dari orang tua terhadap anaknya. Dalam hukum perdata menarik kembali harta hibah yang telah diberikan tidak diizinkan atau harta yang telah diberikan tidak dapat ditarik kembali kecuali karena orang yang menerima tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh yang memberi harta hibah, orang yang menerima hibah telah bersalah atau membatu menghilangkan nyawa si pemberi harta hibah, dan jika orang yang menerima hibah menolak untuk memberikan tunjangan nafkah terhadap diri orang yang memberi hibah jika ia terjatuh miskin.Â