Newcastle sedang bersiap menjadi 'anggota baru' Kerajaan Arab Saudi, setelah Putra Mahkota Mohammed Bin Salman menjajaki pembelian klub Tyneside tersebut.
Menurut media Inggris Mirror (20/4/2020), penawaran Pangeran Salman di angka 300 juta pound telah disepakati oleh owner Newcastle, Mike Ashley. Dengan demikian Pangeran Salman akan menjadi pemegang saham mayoritas klub sebesar 80 persen.
Isu investor baru Newcastle bukanlah yang pertama. Di awal musim 2019/2020 Newcastle pernah dikaitkan dengan akuisisi oleh Midhat Kidwai, konglomerat Bin Zayed Group. Tapi kabar itu menguap di tengah jalan.
Akuisisi klub Inggris oleh investor asing juga bukan cerita baru. Jika Pangeran Salman jadi membeli Newcastle, maka 15 dari 20 klub kasta tertinggi Inggris dimiliki oleh investor asing. Hanya Brighton, Burnley, Tottenham, West Ham dan Norwich yang masih dimiliki orang Inggris Raya.
Padahal saat Roman Abramovich datang membeli Chelsea pada 2003 silam, hanya Mohamed Al Fayed satu-satunya investor asing di Liga Inggris. Pebisnis Mesir tersebut sudah menjadi pemilik Fulham sejak 1997.
Kenapa investor asing jadi berlomba-lomba membeli klub Inggris? Semua karena English Premier League (EPL) atau juga dikenal sebagai Premiership.
EPL tak sekedar sebuah kompetisi tapi sudah menjadi merk yang besar. EPL pertama kali diperkenalkan pada 1992 sebagai konsep baru kompetisi yang mandiri dan lebih komersil.
EPL memperkenalkan konsep pembagian pendapatan hak siar 50-25-25. Artinya 50 persen pendapatan hak siar akan dibagi rata kepada semua klub peserta, 25 persen dibagikan proporsional sesuai posisi akhir klasemen dan 25 persen diberikan berdasarkan jumlah pertandingan suatu klub yang disiarkan televisi. Pendapatan hak siar kemudian berkembang menjadi pendapatan utama klub melebihi pendapatan tiket.
Sekarang EPL disiarkan secara masif di 212 negara. Nilai hak siar pun melonjak tajam. Dilansir dari AP (29/5/2019) Nilai hak siar EPL untuk tahun 2019-2022 sebesar 9,2 miliar pound. Naik jauh dibanding masa awal EPL dimana untuk tahun 1992-1997 nilai hak siar EPL masih 51 juta pound.
Jangkauan siaran yang luas membawa dampak munculnya basis penggemar baru di penjuru dunia. Banyak penggemar bola mulai mengidolakan klub seperti Chelsea, Manchester City hingga Tottenham.Â
Berbeda dengan penggemar EPL dulu yang dukungannya hanya berkutat pada Manchester United (MU) atau Arsenal. Klub EPL mulai dikenal dan semakin mahal.
Hal ini dipandang sebagai peluang emas bagi investor. Lihat bagaimana Mike Ashley membeli Newcastle dengan harga 134,4 juta pound pada 2007, berpeluang menjualnya kembali dengan harga 300 juta pound. Keuntungan 124 persen dalam kurun waktu 13 tahun membuktikan bahwa investasi di EPL tidak pernah salah.
Selain mendapat keuntungan finansial ada keuntungan prestis yang didapat sang pemilik. Pemilik klub ibarat mengiklankan dirinya lewat media besar. Menurut buku karangan James Montague yang berjudul 'The Billionaires Club: The Unstopabble Rise of Footballs Super Rich Owners,' ada penghargaan psikis saat seseorang memiliki klub olahraga elit. Pemilik akan mendapat publisitas secara cuma-cuma, pencitraan positif dan diterima dalam pergaulan elit sosial.
Belasan tahun lalu banyak orang tidak tahu siapa Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan. Tapi dia jadi begitu dipuja setelah membeli Man City.
Sekarang orang lebih mengenal Roman Abramovich sebagai bos Chelsea daripada sebagai pebisnis minyak yang lebih dulu membuatnya kaya.
Bahkan bagi orang-orang di luar Italia dulu, Silvio Berlusconi lebih terkenal sebagai presiden AC Milan daripada Perdana Menteri Italia.
Investasi besar membuktikan EPL bisa ditaklukan lewat teori menukar uang dengan gelar. Abramovich hanya butuh dua musim untuk melihat investasinya berhasil membawa Chelsea juara. Sheikh Mansour butuh tiga musim untuk melihat Man City mengangkat gelar.
Bandingkan dengan Martin Edwards dan Sir Alex Ferguson yang membangun MU dengan cara konservatif dan butuh waktu enam musim untuk melihat usaha mereka berhasil.
EPL adalah pasar bebas. Siapapun bisa memiliki klub asal mampu memenuhi harga di pasar. Faktanya investor Inggris tidak mampu bersaing di sana.
Hanya Daniel Levy yang menjaga martabat orang Inggris yang memiliki aset negeri berupa klub sepakbola yang kuat. Tottenham Hotspur miliknya masih dianggap pesaing papan atas. Tidak demikian dengan West Ham, Burnley, Brighton dan Norwich yang berstatus semenjana.
Tersisihnya orang Inggris tidak hanya terjadi di level pemilik klub. Bakat-bakat Britania perlahan tergeser oleh pemain-pemain asing. Bagi klub berbudget besar bermental kapitalis, membeli pemain bintang adalah jalan pintas yang lebih cepat daripada menunggu bakat-bakat dalam negeri berkembang.
Menurut data dari laman transfermarkt.com hanya ada 182 pemain lokal dari total 512 pemain yang beredar di EPL musim ini. Artinya populasi pemain lokal hanya 35,5%.
Pun demikian dengan pelatih lokal. Hanya ada 9 pelatih Inggris di antara 11 pelatih asing. Frank Lampard jadi satu-satunya pelatih dalam negeri yang masuk jajaran klub top six.
Glamornya Premier League adalah fatamorgana bagi Timnas Inggris. Kompetisi yang berkontribusi secara ekonomi nyatanya tidak memberi kontribusi kualitas ke Timnas. Prestasi mereka belum pernah lagi muncul ke permukaan sejak meraih juara Piala Dunia 1966.
Inggris di Piala Dunia 1966 adalah contoh produk terbaik kompetisi. Sebelum mengemban jabatan pelatih Inggris sejak 1963, Sir Alf Ramsey adalah pelatih yang membawa Ipswich juara Divisi Satu (sekarang EPL) 1961/1962. Skuad Inggris berisi pemain yang mayoritas berstatus punggawa klub papan atas, seperti Bobby Charlton, Jack Charlton dan Geoff Hurst.
Pasca era Ramsey, Inggris belum pernah lagi ditangani pelatih dengan profil pemenang gelar. pelatih lokal Inggris dengan reputasi terbaik adalah Sir Bobby Robson dengan riwayat gelar domestik Spanyol. Setelah itu jabatan pelatih hanya diwariskan secara turun temurun kepada orang Inggris dengan riwayat karir yang biasa-biasa saja.
Satu sisi kelam Crazy Rich Premiership adalah sulitnya melihat prestasi Timnas Inggris berjalan beriringan dengan prestasi klub. EPL lebih liberal menerima arus dari luar. Sedangkan Timnas Inggris lebih konservatif yang tidak ingin meninggalkan unsur Britanianya.
Ini baru fase awal Crazy Rich Premiership. Dimana klub kaya baru telah membuktikan bisa menukar uang dengan gelar. Selanjutnya waktu yang akan membuktikan apakah klub-klub kaya itu suatu saat mampu membeli sejarah.
Jika itu sampai terjadi maka MU dan Liverpool yang susah payah mengkoleksi gelar harus rela jika tinta poundsterling mampu menghapus tinta emas yang telah mereka tulis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI