Mohon tunggu...
Sindi Darmawan Prasetyo
Sindi Darmawan Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca yang ingin menulis

Menulis sedikit tapi bermanfaat, karena memberi inspirasi lebih penting dari sekedar menjadi viral

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mau Lockdown? Wani Piro?

8 April 2020   12:55 Diperbarui: 30 April 2020   09:32 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh congerdesign dari Pixabay

Selasa (31/3/2020), Presiden Jokowi telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.1 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan persebaran Covid19. Hal itu sekaligus menepis opsi lockdown yang selama ini berhembus kencang.

Sepekan berjalan, tapi data persebaran virus masih masif. Jumlah kasus positif mencapai dua kali lipat lebih sejak PSBB diumumkan. Apakah lockdown saat ini sudah sangat diperlukan? Dan bagaimana negara menjamin kebutuhan masyarakat selama lockdown?

Baik PSBB maupun lockdown diatur dalam UU No.6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. PSBB adalah pembatasan kegiatan penduduk yang diduga berada dalam wilayah infeksi untuk mencegah penyebaran. Pembatasan kegiatan bisa berupa peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan kegiatan lain di tempat umum.

Sedangkan lockdown diistilahkan sebagai karantina wilayah, yang artinya pembatasan penduduk dalam satu wilayah, termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit.

Jika PSBB yang dibatasi adalah jenis kegiatan penduduknya, sehingga keluar masuk wilayah masih memungkinkan. Sedangkan karantina wilayah yang dibatasi adalah akses penduduk dari satu wilayah terinfeksi ke wilayah lain, sehingga penduduk tidak diperbolehkan keluar wilayah selama karantina.

Perbedaan berikutnya adalah mengenai tanggung jawab pemenuhan kebutuhan hidup. Berbeda dengan PSBB dimana penduduk masih bisa beraktivitas terbatas dan memenuhi kebutuhannya sendiri. 

Tapi jika terjadi karantina wilayah maka pelayanan kesehatan dasar, kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, seperti yang diatur dalam Pasal 8 UU No.6/2018.

Artinya, sekalipun penduduk tidak bekerja atau melakukan aktivitas produktif dalam masa karantina, pemerintah akan tetap memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Lalu apa ukuran kebutuhan hidup sehari-hari penduduk yang menjadi tanggungan pemerintah? Jika definisi kebutuhan hidup sehari-hari diartikan sebagai kebutuhan hidup layak (KHL), maka kita bisa mereferensi Peraturan Presiden No.78 tahun 2015 tentang pengupahan. Dalam peraturan tersebut KHL didefinisikan sebagai kebutuhan seorang pekerja lajang untuk dapat hidup secara layak selama satu bulan.

KHL didapat dari hasil survey harga pasar dalam periode waktu tertentu di setiap tahun. Survey melibatkan Badan Pusat Statistik (BPS) selaku unsur pemerintah, perwakilan serikat pekerja/buruh, asosiasi perusahaan dan pihak akademisi/profesional.

KHL akan menjadi pedoman dalam penentuan upah minimum pekerja di setiap daerah. Sehingga upah minimum yang ditetapkan diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum.

DKI Jakarta yang saat ini menjadi epicentrum wabah Covid19 di Indonesia, di tahun 2020 memiliki KHL sebesar Rp. 3.965.221 per bulan (spn.or.id).

Jika subsidi ekonomi yang diberikan pemerintah selama masa karantina mengikuti konsep tersebut, maka akan cukup mewakili kepentingan ekonomi pekerja yang harus berhenti bekerja atau mendapat pemotongan upah akibat karantina.

Lalu apa anggaran negara cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut?

Lockdown selalu terkait dengan konsekuensi biaya. Negara harus berkorban anggaran jika memilih opsi ini.

Jika melihat pengalaman negara lain yang memberlakukan lockdown, mereka menganggarkan stimulus ekonomi secara proporsional terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah negara selama satu tahun. Apa yang dihasilkan oleh unit produksi dalam negeri merefleksikan total nilai ekonomi yang dihasilkan oleh semua orang dan perusahaan.

Menurut National Public Radio (24/3/2020) Amerika Serikat menganggarkan 2 triliun dolar untuk mensubsidi individu, industri dan sistem layanan kesehatan selama pandemi Covid19. Nilai itu setara dengan 10% PDB.

Sementara itu Malaysia sebagai negara Asia Tenggara dengan jumlah kasus infeksi Covid19 tertinggi, menganggarkan 58 triliun dolar atau setara dengan 15% dari PDB. Sedangkan Singapura mengaggarkan 52 triliun dolar atau 13,6% dari PDB.

Jika mengikuti perhitungan tersebut, maka Indonesia membutuhkan anggaran 147 triliun dolar atau Rp. 2.374 triliun. Sedangkan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang stabilitas perekonomian di masa pandemi corona baru bisa menganggarkan Rp. 405,1 triliun atau 2,5% PDB.

Selain untuk program pemulihan ekonomi nasional, porsi anggaran terbanyak dialokasikan untuk jaring pengaman sosial sebesar Rp. 110 triliun, yang mencakup penambahan anggaran kartu sembako, kartu pra kerja dan subsidi listrik.

Jaring pengaman sosial adalah subsidi yang secara langsung diberikan pemerintah kepada masyarakat. Tapi tidak semua orang bisa mendapatkannya. Seperti bantuan sembako yang hanya diberikan kepada keluarga miskin yang tercatat di data terpadu Kemensos. Data keluarga miskin di Jabodetabek sebanyak 1,7 juta, sedangkan di luar Jabodetabek sebanyak 9 juta. Bantuan diberikan dalam bentuk sembako senilai Rp. 600 ribu/ bulan mulai April-Juni.

Sementara kartu pra kerja hanya diberikan kepada masyarakat yang kehilangan pekerjaan atau pendapatan akibat pandemi Covid19. Pemilik kartu akan mendapat subsidi sebesar Rp. 650 ribu secara bertahap. Pemerintah hanya membatasi 5,6 juta orang penerima bantuan.

Sedangkan bantuan lain diberikan dalam bentuk subsidi harga. Seperti pembebasan dan diskon tarif listrik.

Angka-angka itu tentu jauh dari kondisi normal. Jangankan untuk menggantikan pendapatan yang hilang karena tidak bekerja, untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup layak saja masih jauh.

Penduduk yang membutuhkan bantuan bisa lebih dari yang diperkirakan pemerintah, seiring potensi munculnya kelompok miskin baru akibat dampak ekonomi Covid19.

Lockdown juga berkorelasi terhadap waktu, semakin lama penerapan lockdown, semakin terbuka resiko penyebaran virus, dan akan semakin tinggi biaya recovery.

Jika kita bicara lockdown dalam 1-2 minggu yang lalu, maka Jabodetabek saja yang perlu dilockdown. Tapi jika melihat kondisi kini, mustahil melockdown seluruh wilayah zona merah.

Hitung-hitungan itu memberi gambaran kesiapan ekonomi suatu negara dalam menghadapi skenario lockdown. Lockdown adalah tentang bagaimana negara menyiapkan anggaran dan mengambil keputusan dengan segera. Semakin cepat dilakukan maka itu akan menjadi investasi yang efisien untuk memenangkan waktu melawan Covid19.

Bagi kita yang tinggal di negara dengan kondisi ekonomi yang belum mampu membiayai lockdown, maka upaya penyebaran Covid19 cenderung dilakukan secara parsial dan terkadang dengan kesiapan mandiri masyarakat.

Sehingga PSBB adalah upaya paling memungkinkan yang harus diterima dan perlu dimaknai baik dengan sikap kepatuhan yang tinggi. Menjaga diri dari ancaman virus sudah menjadi tanggung jawab individu. Selama masih bisa produktif dan tetap sehat adalah hal terbaik dalam situasi sekarang. (sdp)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun