Selasa (31/3/2020), Presiden Jokowi telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.1 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan persebaran Covid19. Hal itu sekaligus menepis opsi lockdown yang selama ini berhembus kencang.
Sepekan berjalan, tapi data persebaran virus masih masif. Jumlah kasus positif mencapai dua kali lipat lebih sejak PSBB diumumkan. Apakah lockdown saat ini sudah sangat diperlukan? Dan bagaimana negara menjamin kebutuhan masyarakat selama lockdown?
Baik PSBB maupun lockdown diatur dalam UU No.6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. PSBB adalah pembatasan kegiatan penduduk yang diduga berada dalam wilayah infeksi untuk mencegah penyebaran. Pembatasan kegiatan bisa berupa peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan kegiatan lain di tempat umum.
Sedangkan lockdown diistilahkan sebagai karantina wilayah, yang artinya pembatasan penduduk dalam satu wilayah, termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit.
Jika PSBB yang dibatasi adalah jenis kegiatan penduduknya, sehingga keluar masuk wilayah masih memungkinkan. Sedangkan karantina wilayah yang dibatasi adalah akses penduduk dari satu wilayah terinfeksi ke wilayah lain, sehingga penduduk tidak diperbolehkan keluar wilayah selama karantina.
Perbedaan berikutnya adalah mengenai tanggung jawab pemenuhan kebutuhan hidup. Berbeda dengan PSBB dimana penduduk masih bisa beraktivitas terbatas dan memenuhi kebutuhannya sendiri.Â
Tapi jika terjadi karantina wilayah maka pelayanan kesehatan dasar, kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, seperti yang diatur dalam Pasal 8 UU No.6/2018.
Artinya, sekalipun penduduk tidak bekerja atau melakukan aktivitas produktif dalam masa karantina, pemerintah akan tetap memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Lalu apa ukuran kebutuhan hidup sehari-hari penduduk yang menjadi tanggungan pemerintah? Jika definisi kebutuhan hidup sehari-hari diartikan sebagai kebutuhan hidup layak (KHL), maka kita bisa mereferensi Peraturan Presiden No.78 tahun 2015 tentang pengupahan. Dalam peraturan tersebut KHL didefinisikan sebagai kebutuhan seorang pekerja lajang untuk dapat hidup secara layak selama satu bulan.
KHL didapat dari hasil survey harga pasar dalam periode waktu tertentu di setiap tahun. Survey melibatkan Badan Pusat Statistik (BPS) selaku unsur pemerintah, perwakilan serikat pekerja/buruh, asosiasi perusahaan dan pihak akademisi/profesional.
KHL akan menjadi pedoman dalam penentuan upah minimum pekerja di setiap daerah. Sehingga upah minimum yang ditetapkan diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum.