Mohon tunggu...
Si Murai
Si Murai Mohon Tunggu... Editor - Itu, burung kecil berekor panjang yang senang berkicau!

“Do not ask who I am and do not ask me to remain the same. More than one person, doubtless like me, writes in order to have no face.” ― Michel Foucault

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita untuk Tuan

15 Oktober 2019   12:26 Diperbarui: 15 Oktober 2019   13:01 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sudah tua. Tapi, usia Pak Salman jauh lebih tua daripada aku. Ia bangun perpustakaan pribadi ini tiga puluh tahun yang lalu. Aku lahir di tahun yang sama. Dahulu, aku adalah buku kesayangannya. Mungkin hingga kini.

Kepada orang-orang yang datang, ia selalu bilang, "Ini adalah buku cerita anak terbaik yang pernah kubaca. Aku sangat menyukainya. Bacalah, kamu juga pasti akan suka!"

Aku pun dielu-elukan. Setiap hari orang datang, mengambilku, membacaku, mengagumi kisah yang tertulis. Hingga pada suatu hari, kudengar Pak Salman menangis. Tangannya yang kekar namun lembut mengelus-elus tubuhku. Air matanya yang hangat jatuh membasahi halaman judul buku. Sejak saat itu, kutahu, tak ada lagi yang datang untuk mengambilku. Aku tak lagi dibaca. Pak Salman menyimpanku di laci meja kerja.

***

            Aku menghitung kapal pinisi

            Satu per satu kembali ke laut

            Seorang punggawa menghitung hari

            Kayu-kayu saling bertaut

Gatta suka puisi. Ia menulisnya di dermaga yang panas. Ombak tampak bergegas, sementara para lelaki sibuk merakit kapal pinisi.

"Mengapa kita membuat kapal pinisi, Bapa?" tanya Gatta pada ayahnya pada suatu malam.

"Karena kita adalah pelaut," jawab ayah Gatta.

"Mengapa kita melaut?" tanya Gatta lagi.

"Karena begitulah yang diajarkan nenek moyang kita. Lagi pula, kau tahu, Gatta? Luas perairan Nusantara lebih besar daripada daratannya."

Angin laut membawa malam yang dingin. Sayup-sayup keduanya berdendang, sambil menikmati bintang-bintang.

            Nenek moyangku orang pelaut

            Gemar mengarung luas samudra

            Menerjang ombak, tiada takut

            Menempuh badai, sudah biasa

            ...

***

Puluhan tahun lamanya aku tinggal di sini, laci meja kerja Pak Salman. Entah bagaimana rupaku sekarang. Mungkin lapuk, penuh debu. Tapi, aku percaya seseorang akan mengeluarkanku dari laci meja kerja ini, seperti yang kemudian terjadi.

Sebuah tangan mungil menyentuh tubuhku. Jemari kecil meraba-raba, menyapu debu. Itu bukan tangan Pak Salman. Si pemilik kulit halus itu adalah cucunya, Andra.

"Ini, Kek," disodorkannya tubuhku kepada kakeknya. Pak Salman meraihku dengan tangan gemetar. Puluhan tahun lamanya kami tak berjumpa. Rasanya aku masih mendengar Pak Salman menangis seperti terakhir kali itu. Tapi, suaranya kini lebih parau karena usia. Pak Salman sudah renta.

"Memangnya ini buku apa, Kek?" tanya Andra, si bocah yang lucu itu.

"Sini, duduk sebelah Kakek."

Sore itu di perpustakaan pribadi Pak Salman, cahaya senja masuk lewat kaca jendela. Untuk pertama kalinya sejak puluhan tahun, aku keluar dari pengasingan. Aku merasa begitu tua, apalagi melihat koleksi buku Pak Salman yang bertambah banyak. Mereka bagus-bagus, baru-baru, sampulnya tampak menawan. Meskipun begitu, tak banyak yang berubah dari tempat ini.

"Itu buku apa, Kek?" tanya si bocah itu lagi.

Betapa menggemaskannya anak ini. Duduk di sebelah kakeknya, matanya penuh tanda tanya. Ia sangat penasaran padaku. Kedua kakinya berayun-ayun kegirangan. Diam-diam aku pun melonjak senang. Setelah sekian lama, akhirnya aku akan dibaca lagi!

Usai mengelap tubuhku hingga tak lagi berdebu, Pak Salman kemudian mulai membaca. "Kapal untuk Tuan oleh Arief Syailendra," ujarnya terbata, lalu terdiam.

Si kecil Andra menoleh ke arah kakeknya, "Ayo, baca, Kek!" serunya tak mengerti bahwa kakeknya sedang memendam sedih. Puluhan tahun lamanya aku tersimpan di laci meja kerja, puluhan tahun lamanya pula Pak Salman menyimpan rahasia. Hanya kepada Andra, si cucu kesayangan, sang kakek kemudian mengungkapkan.

Aku adalah buku berjudul Kapal untuk Tuan yang ditulis oleh Arief Syailendra. Penulis buku ini adalah sahabat Pak Salman ketika keduanya bersekolah di akademi pelayaran. Pak Arief dan Pak Salman sama-sama suka membaca buku. Pak Arief bahkan suka menulis juga. Sayang, setelah lulus keduanya malah tidak bekerja di pelayaran. Mereka berpisah. Pak Arief kembali ke kampung halamannya di Makassar, sementara Pak Salman bekerja di bidang penerbitan.

Suatu hari, Pak Arief mengirimi Pak Salman sebuah buku catatan. Isinya adalah cerita anak yang ditulis oleh Pak Arief sendiri.

"Bila umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan," begitu kata Pramoedya Ananta Toer. Ia mengatakan pula, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." 

Aku takut hilang, Salman, dan aku tak tahu sepanjang apa umurku. Maka, aku menulis. Tolong terbitkan, ya, untuk anak cucumu.

Itu adalah isi surat Pak Arief yang disertakan dalam buku catatan. Setelah setahun proses penerbitan, aku pun lahir, tahun 1984. Pada tahun yang sama, Pak Salman membangun perpustakaan pribadi untuk menampung koleksi bukunya yang banyak. Ia membukanya untuk umum.

Kepada orang-orang yang datang, Pak Salman selalu membanggakanku. "Ini ditulis oleh sahabatku. Cerita anak yang sangat bagus! Ia seorang pelaut. Penulisnya sekarang sedang berlayar ke Vancouver, Kanada. Iya, dengan kapal pinisi! Aku bangga sekali pada sahabatku ini," serunya sambil mengacung-acungkan tubuhku ke udara. Itu adalah kalimat terakhir yang kudengar dari Pak Salman sebelum ia menangis dan mengasingkanku dalam laci meja kerja.

Dalam ekspedisi pinisi Nusantara ke Vancouver, Kanada, pada tahun 1986, Pak Arief ikut serta. Pelayaran yang memakan waktu 62 hari itu sangat membanggakan Indonesia. Namun, sekaligus pula memilukan hati Pak Salman. Ia mendapat kabar bahwa sahabatnya meninggal dunia dalam pelayaran tersebut. Iya, Pak Arief sakit di kapal ketika berlayar hingga nyawanya tidak tertolong.

Kini aku mengerti arti tangis Pak Salman ketika itu. Air matanya yang jatuh masih terasa basah di halaman judul buku. Aku memang tidak mengenal Arief Syailendra, penulisku. Tapi, bagaimana pun, aku adalah dia.

 ***

 "Apakah aku bisa menjadi seorang punggawa seperti Bapa Toa?" tanya Gatta kepada ayahnya.

Punggawa adalah kepala tukang yang memimpin setiap upacara dalam proses pembuatan kapal pinisi. Kapal tradisional ini dibuat dengan ritual, tidak boleh sembarangan. Ada hari baik untuk mencari kayu. Ada upacara peletakan lunas, yaitu balok yang memanjang di dasar perahu. Ada pula upacara peluncuran kapal. Semua penuh simbol dan makna. Diucapkan dengan doa-doa.

"Memangnya kamu mau membuat kapal pinisi?" tanya Bapa pada anak laki-lakinya ini.

"Tentu saja, Bapa! Aku mau menjadi pelaut, seperti Bapa, Bapa Toa," seru Gatta dengan bersemangat.

"Kalau begitu, kau harus tahu dulu cerita sejarah kapal pinisi."

"Ceritakan, Bapa!"

Dikisahkan, Sawerigading dan We Tenriyabeng adalah saudara kembar. Keduanya adalah putra dan putri raja Kerajaan Luwu yang terletak di Teluk Bone. Mereka saling mencintai dan hendak menikah. Tapi karena bersaudara, tentu tidak boleh. Sawerigading kemudian meninggalkan kerajaan dan berjanji tidak akan kembali.

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa. Ia berlayar menuju negeri Cina dengan sebuah kapal. Di sana ia meminang seorang putri Cina yang bernama We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri itu, Sawerigading hendak kembali ke kampung halamannya, Luwu. Namun, menjelang masuk perairan Luwu, kapalnya diterjang ombak besar. Terbelahlah kapal itu menjadi tiga. Ketiganya terdampar di Desa Ara, Tanah Beru, dan Tanah Lemo. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapalnya menjadi kapal baru yang dinamakan pinisi. Konon, kata ini diambil dari nama seseorang, yaitu Pinisi.

"Begitu menurut legenda dalam naskah La Galigo, Gatta," jelas sang ayah.

"Apa itu naskah La Galigo, Bapa?" tanya Gatta lagi. Rasa ingin tahunya seperti tak pernah habis.

"Itu adalah naskah Bugis klasik yang ditulis pada abad ke-13 dan 14. Saat itu Kerajaan Bugis sedang berkembang pesat, anakku."

"Oh, begitu..." Gatta mengangguk-angguk tanda mengerti.

Dalam keremangan malam, rangka kapal pinisi tetap terlihat gagah di ujung dermaga sana. Tubuhnya bersandar pada tiang-tiang kayu. Ayah Gatta adalah salah seorang pengrajin kapal itu, sementara kakeknya adalah kepala tukang atau yang disebut punggawa. Sepanjang hari Gatta tak pernah berhenti memperhatikan, bagaimana orang-orang Bugis itu membuat pinisi. Ia juga akan membuatnya suatu hari nanti. 

Pinisiku terbuat dari kayu terhebat

Tak lapuk dimakan ombak, tak landai diterjang badai

Aku adalah kapten bagi kapalku

Berlayarlah aku jauh, kapal melayar...

Kepada sahabat hatiku tertambat

"Ini kapal untukmu, Tuan."

Di dermaganya ku 'kan berlabuh

...

"Mari kita pulang, Syailendra," ujarnya sambil menutup buku. Pak Salman tak menangis lagi. Ia telah mengisahkan semuanya kepada Syailendra. Ceritanya, rahasianya. Mungkin, aku yang akan menangis sekarang.

"Andra ngantuk, Kakek. Gendong..."

Kakek dan cucu itu meninggalkan ruang perpustakaan. Aku tak dimasukkannya lagi ke dalam laci meja kerja. Dibawanya aku ikut serta, dalam genggaman tangan Syailendra, cucu Pak Salman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun