Mohon tunggu...
Si Murai
Si Murai Mohon Tunggu... Editor - Itu, burung kecil berekor panjang yang senang berkicau!

“Do not ask who I am and do not ask me to remain the same. More than one person, doubtless like me, writes in order to have no face.” ― Michel Foucault

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita untuk Tuan

15 Oktober 2019   12:26 Diperbarui: 15 Oktober 2019   13:01 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa. Ia berlayar menuju negeri Cina dengan sebuah kapal. Di sana ia meminang seorang putri Cina yang bernama We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri itu, Sawerigading hendak kembali ke kampung halamannya, Luwu. Namun, menjelang masuk perairan Luwu, kapalnya diterjang ombak besar. Terbelahlah kapal itu menjadi tiga. Ketiganya terdampar di Desa Ara, Tanah Beru, dan Tanah Lemo. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapalnya menjadi kapal baru yang dinamakan pinisi. Konon, kata ini diambil dari nama seseorang, yaitu Pinisi.

"Begitu menurut legenda dalam naskah La Galigo, Gatta," jelas sang ayah.

"Apa itu naskah La Galigo, Bapa?" tanya Gatta lagi. Rasa ingin tahunya seperti tak pernah habis.

"Itu adalah naskah Bugis klasik yang ditulis pada abad ke-13 dan 14. Saat itu Kerajaan Bugis sedang berkembang pesat, anakku."

"Oh, begitu..." Gatta mengangguk-angguk tanda mengerti.

Dalam keremangan malam, rangka kapal pinisi tetap terlihat gagah di ujung dermaga sana. Tubuhnya bersandar pada tiang-tiang kayu. Ayah Gatta adalah salah seorang pengrajin kapal itu, sementara kakeknya adalah kepala tukang atau yang disebut punggawa. Sepanjang hari Gatta tak pernah berhenti memperhatikan, bagaimana orang-orang Bugis itu membuat pinisi. Ia juga akan membuatnya suatu hari nanti. 

Pinisiku terbuat dari kayu terhebat

Tak lapuk dimakan ombak, tak landai diterjang badai

Aku adalah kapten bagi kapalku

Berlayarlah aku jauh, kapal melayar...

Kepada sahabat hatiku tertambat

"Ini kapal untukmu, Tuan."

Di dermaganya ku 'kan berlabuh

...

"Mari kita pulang, Syailendra," ujarnya sambil menutup buku. Pak Salman tak menangis lagi. Ia telah mengisahkan semuanya kepada Syailendra. Ceritanya, rahasianya. Mungkin, aku yang akan menangis sekarang.

"Andra ngantuk, Kakek. Gendong..."

Kakek dan cucu itu meninggalkan ruang perpustakaan. Aku tak dimasukkannya lagi ke dalam laci meja kerja. Dibawanya aku ikut serta, dalam genggaman tangan Syailendra, cucu Pak Salman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun