"Ini, Kek," disodorkannya tubuhku kepada kakeknya. Pak Salman meraihku dengan tangan gemetar. Puluhan tahun lamanya kami tak berjumpa. Rasanya aku masih mendengar Pak Salman menangis seperti terakhir kali itu. Tapi, suaranya kini lebih parau karena usia. Pak Salman sudah renta.
"Memangnya ini buku apa, Kek?" tanya Andra, si bocah yang lucu itu.
"Sini, duduk sebelah Kakek."
Sore itu di perpustakaan pribadi Pak Salman, cahaya senja masuk lewat kaca jendela. Untuk pertama kalinya sejak puluhan tahun, aku keluar dari pengasingan. Aku merasa begitu tua, apalagi melihat koleksi buku Pak Salman yang bertambah banyak. Mereka bagus-bagus, baru-baru, sampulnya tampak menawan. Meskipun begitu, tak banyak yang berubah dari tempat ini.
"Itu buku apa, Kek?" tanya si bocah itu lagi.
Betapa menggemaskannya anak ini. Duduk di sebelah kakeknya, matanya penuh tanda tanya. Ia sangat penasaran padaku. Kedua kakinya berayun-ayun kegirangan. Diam-diam aku pun melonjak senang. Setelah sekian lama, akhirnya aku akan dibaca lagi!
Usai mengelap tubuhku hingga tak lagi berdebu, Pak Salman kemudian mulai membaca. "Kapal untuk Tuan oleh Arief Syailendra," ujarnya terbata, lalu terdiam.
Si kecil Andra menoleh ke arah kakeknya, "Ayo, baca, Kek!" serunya tak mengerti bahwa kakeknya sedang memendam sedih. Puluhan tahun lamanya aku tersimpan di laci meja kerja, puluhan tahun lamanya pula Pak Salman menyimpan rahasia. Hanya kepada Andra, si cucu kesayangan, sang kakek kemudian mengungkapkan.
Aku adalah buku berjudul Kapal untuk Tuan yang ditulis oleh Arief Syailendra. Penulis buku ini adalah sahabat Pak Salman ketika keduanya bersekolah di akademi pelayaran. Pak Arief dan Pak Salman sama-sama suka membaca buku. Pak Arief bahkan suka menulis juga. Sayang, setelah lulus keduanya malah tidak bekerja di pelayaran. Mereka berpisah. Pak Arief kembali ke kampung halamannya di Makassar, sementara Pak Salman bekerja di bidang penerbitan.
Suatu hari, Pak Arief mengirimi Pak Salman sebuah buku catatan. Isinya adalah cerita anak yang ditulis oleh Pak Arief sendiri.
"Bila umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan," begitu kata Pramoedya Ananta Toer. Ia mengatakan pula, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Aku takut hilang, Salman, dan aku tak tahu sepanjang apa umurku. Maka, aku menulis. Tolong terbitkan, ya, untuk anak cucumu.
Itu adalah isi surat Pak Arief yang disertakan dalam buku catatan. Setelah setahun proses penerbitan, aku pun lahir, tahun 1984. Pada tahun yang sama, Pak Salman membangun perpustakaan pribadi untuk menampung koleksi bukunya yang banyak. Ia membukanya untuk umum.