Aku sudah tua. Tapi, usia Pak Salman jauh lebih tua daripada aku. Ia bangun perpustakaan pribadi ini tiga puluh tahun yang lalu. Aku lahir di tahun yang sama. Dahulu, aku adalah buku kesayangannya. Mungkin hingga kini.
Kepada orang-orang yang datang, ia selalu bilang, "Ini adalah buku cerita anak terbaik yang pernah kubaca. Aku sangat menyukainya. Bacalah, kamu juga pasti akan suka!"
Aku pun dielu-elukan. Setiap hari orang datang, mengambilku, membacaku, mengagumi kisah yang tertulis. Hingga pada suatu hari, kudengar Pak Salman menangis. Tangannya yang kekar namun lembut mengelus-elus tubuhku. Air matanya yang hangat jatuh membasahi halaman judul buku. Sejak saat itu, kutahu, tak ada lagi yang datang untuk mengambilku. Aku tak lagi dibaca. Pak Salman menyimpanku di laci meja kerja.
***
Aku menghitung kapal pinisi
Satu per satu kembali ke laut
Seorang punggawa menghitung hari
Kayu-kayu saling bertaut
Gatta suka puisi. Ia menulisnya di dermaga yang panas. Ombak tampak bergegas, sementara para lelaki sibuk merakit kapal pinisi.
"Mengapa kita membuat kapal pinisi, Bapa?" tanya Gatta pada ayahnya pada suatu malam.
"Karena kita adalah pelaut," jawab ayah Gatta.