Mohon tunggu...
SIMSON SARIK
SIMSON SARIK Mohon Tunggu... Pengacara - Alumni Magister Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta

Banyaklah rancangan di hati manusia tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana. (Amsal 19 Ayat 21)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisa Kriminologi terhadap Pengulangan Tindak Pidana di Kota Ambon

25 November 2019   00:15 Diperbarui: 23 September 2023   21:06 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Pengulangan Tindak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Ambon.

Faktor-faktor penyebab timbulnya kejahatan umumnya terdiri dari 2 (dua), yaitu  faktor internal dan faktor eksternal.

  • Faktor Internal, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri pribadi manusia itu sendiri meliputi : faktor agama, pendidikan;
  • Faktor Eksternal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar pribadi manusia yang meliputi : lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, faktor ekonomi.

Dalam ingkungan masyarakat prilaku orang yang tidak sesuai dengan norma atau tidak seharusnya dikatakan sebagai prilaku yang menyimpang, dampak dari penyimpangan prilaku tersebut kemudian memunculkan berbagai akibat yaitu positif dan negatif. Akibat posotif dari adanya hal tersebut selalu terjadi perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek sosial, sehingga dapat mengasah kreatifitas manusia untuk mengatasinya.

Sedangkan dampak negative dari penyimpangan prilaku menjurus kepada pelanggaran hukum kemudian menimbulkan ancaman ketenangan lingkungan sekitar atau mengganggu ketertiban masyarakat, yang mana kerap menimbulkan respon tertentu bagi masyarakat yang merasa terganggu atau terancam ketenangannya.

Salah satu respon dari masyarakat yang merasa terancam ketenangan lingkungan dan ketertiban masyarakatnya kemudian memunculkan stigmatisasi terhadap individu yang melakukan prilaku yang menyimpang tersebut. Stigmatisasi tersebut merupakan proses pemberian cap oleh masyarakat melalui seorang yang jahat.

Lebih jauh dan lebih dalam lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang bersangkutan, lebih besar kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai benar-benar pelanggar hukum yang jahat dan pada gilirannya yang lebih besar lagi penolakan masyarakat terhadap yang bersangkutan sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat dipercaya.  

Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikhawatirkan akan mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum. Dengan adanya kekhawatiran semacam itu kemudian secara tidak langsung berdampak kepada sikap dan perbuatannya dalam berintaraksi dengan masyarakat yang mana secara bertahap lingkungan akan menjauhi dan menutup diri dengan mantan narapidana.

Sedangkan permasalahan bagi narapidana adalah kebanyakan mereka setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan baik yang bebsa murni maupun ataupun yang masih dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan tidak mempunyai atau tidak dibekali dengan keahlian khusus, mengingat selama berada di dalam LAPAS tindakan-tindakan yang dilakukan dalam proses peradilan bahwa ia adalah tidak ada bentuk pembinaan yang sekiranya dapat membantu mencari pekerjaaan di luar LAPAS.

Hasil pembimbingan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan walaupun ada bimbingan kemandirian (keterampilan kerja) namun itu sifatnya hanya sebagai bekal dalam mencari pekerjaan, dan untuk sampai menyalurkan ke tempat kerja dari pihak Lembaga Pemasyarakatan sendiri belum bisa menyalurkannya, sehingga narapidana harus mencari pekerjaannya sendiri dan ini menjadi dilema bagi narapidana, di satu sisi keberadaan mantan narapidana di tengah-tengah masyarakat masih dianggap jahat. 

Di sisi lain narapidana atau mantan narapidana walaupun dibekali dengan keterampilan khusus namun tidak disertai dengan penyaluran ke bursa kerja ataupun pemberian modal sehingga mantan narapidana tidak dapat mengembangkan bakat dan keterampilannya, padahal satu-satunya peluang bagi mantan narapidana adalah berwiraswasta atau membuka usaha sendiri yang kemudian dari dalam diri mantan narapidana muncul persepsi bahwa dirinya tidak lagi diterima di lingkungannya dan mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan serta satu-satunya jalan adalah mencari jalan pintas yaitu mengulangi lagi perbuatannya dengan melanggar hukum.

2. Dampak dari Pengaruh Buruk (Prisonisasi) di Dalam Lembaga Pemasyarakatan

Dalam kaitannya dengan sistem pemasyarakatan, masalah prisonisasi bukanlah hal yang baru, dimana prisonisasi sendiri diartikan sebagai proses terjadinya pengaruh negatif (buruk) yang diakibatkan sistem nilai yang berlaku dalam budaya penjara. Pada saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan oleh Sahardjo pada tahun 1963, salah satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa negara tidak berhak membuat orang lebih buruk atau jahat pada saat sebelum dan dipenjara.

Asumsi ini secara langsung menunjukkan adanya pengakuan bahwa tindakan pemenjaraan secara potensial dapat menimbulkan dampak negatif, sebagaimana yang dinyatakan dalam dalam poin 53, Implementation TheStandard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners (Implementasi SMR) yang berbunyi ;" Tujuan-tujuan pembinaan dalam rangka pemasyarakatan cenderung berbelok ke arah menyimpang, karena terpengaruh kekuatan-kekuatan merusak yang terdapat di dalam hubungan para penghuni.

Terjadinya banyak penyimpangan di dalam LAPAS juga diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni LAPAS, sebagaimana yang telah diketahui bahwa kehidupan seseorang selama berada di dalam LAPAS tidak sebebas orang yang berada di luar tembok penjara.

Tingkat kenaikan dan penurunan residivis selain merupakan indikator berhasil atau tidaknya suatu pembinaan terhadap narapidana tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berkembang dalam masyarakat seperti susahnya mendapat pekerjaan, munculnya stigmatisasi negatif masyarakat terhadap seorang mantan narapidana.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Ambon diperoleh data dengan menyajikan daftar narapidana residivis dari tahun 2008 sampai pada tahun 2014 sebagai berikut :

Berdasarkan rekapitulasi jumlah narapidana yang melakukan pengulangan kejahatan dari tahun 2015 sampai pada tahun 2018 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon, maka dapat dijelaskan bahwa jumlah residivis dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dimana pada tahun 2008 residivis berjumlah sebanyak 5 (lima) narapidana.

Pada tahun 2009 sedikit mengalami penurunan dengan jumlah residivis hanya sebanyak 4 (empat) narapidana, dan pada tahun 2010 kembali mengalami peningkatan dengan jumlah residivis 7 (tujuh) narapidana, tahun 2011 sebanyak 9 (sembilan) narapidana, tahun 2012 sebanyak 11 narapidana, tahun 2013 sebanyak 13 narapidana dan pada tahun 2014 tercatat sementara 15 narapidana yang melakukan pengulangan kejahatan.

Tentu peningkatan jumlah narapidana residivis dari tahun ke tahun merupakan prestasi buruk pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan yang selama ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pola pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan nampaknya belum berjalan sesuai harapan undang-undang pemasyarakatan, faktor prisonisasi yang dapat diartikan sebagai pengaruh buruk kondisi LAPAS terhadap narapidana semakin menguatkan salah satu faktor penyebab terjadinya residivis pada narapidana.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap Kepala Bagian Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Ambon mengenai peningkatan jumlah narapidana residivis di dalam LAPAS, beliau mengatakan bahwa dampak prisonisasi bukan hanya satu-satunya faktor penyebab terjadinya residivis, dampak seperti stigmatisasi masyarakat terhadap seorang mantan narapidana juga menjadi penyebab utama terjadinya residivis.

Pihak LAPAS sudah bekerja maksimal untuk melakukan berbagai pembinaan-pembinaan keterampilan sehingga menurut beliau bahwa lingkungan masyarakatlah yang akan menjadi tumpuan terakhir terhadap seorang mantan narapidana, sehingga apabila masyarakat bisa menerima kembali seorang mantan narapidana tentu saja akan membantu mereka untuk mengembangkan keterampilan yang mereka dapatkan di dalam LAPAS dengan mendapatkan pekerjaan.

Namun sebaliknya jika terjadi penolakan keras maka tentu akan berdampak negatif kepada seorang mantan narapidana karena mereka tidak diberikan ruang untuk kembali menjalankan fungsi sosial seperti masyarakat lainnya, sehingga akan menimbulkan frustasi bagi mantan narapidana akibat pengucilan tersebut, tentu saja kondisi itu sangat potensial membuat seorang mantan narapidana untuk mengulangi kejahatannya sebagai jalan terakhir untuk tetap melanjutkan hidupnya.

Dalam mengidentifikasi faktor-faktor penyebab pengulangan kejahatan (residivie) yang terjadi di LAPAS klas IIA Ambon, maka ada 2 teori dalam  kriminologi yang menurut hemat penulis dapat menjelaskan penyebab terjadinya pengulangan tindak pidana  (residive) di LAPAS klas IIA Ambon diantaranya : Teori Labelling dan Teori Diferensial Asosiasion

  • Disini penulis akan menjelaskan terlebih dahulu terkait dengan teori labeling dan teori  differensial.  Dalam pengertiannya menurut. Lemert, jika individu yang melakukan penyimpangan dari proses labeling yang diberikan dari masyarakat pada individu tersebut dan penyimpangan yang terjadi pada awalnya merupakan penyimpangan primer. Ini akhirnya berakibat individu yang sudah dicap akan sesuai dengan perilakunya seperti penipu atau pencuri. Untuk menanggapi cap atau label tersebut, maka individu primer  penyimpangan akan mengulangi perbuatan penyimpangan  kembali  sehingga akan berubah menjadi penyimpangan sekunder. Teori ini memperkirakan jika pelaksanaan kontrol sosial yang menimbulkan penyimpangan, karena pelaksanaan kontrol sosial akan mendorong seseorang untuk masuk dalam peran menyimpang yang akhirnya menimbulkan macam-macam tingkah laku dalam psikologi khususnya tingkah laku yang meyimpang. Ditutupnya peran konvensional untuk seseorang dengan cara pemberian label, maka membuat individu menjadi penyimpang sekunder terutama dalam mempertahankan diri terhadap label tersebut.
  •  
  • Edwin H Sutherland, memperkenalkan sebuah teori kriminologi yang dia namakan teori asosiasi diferensial. Sutherland  berpendapat  bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial.  Artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Karena itu, perbedaan tingkah laku yang conform  dengan kriminal adalah, apa dan bagaimana sesuatu itu dipelajari[4].

 Menurut Sutherland perilaku jahat itu dipelajari melalui pergaulan yang dekat dengan pelaku kejahatan yang sebelumnya dan inilah yang merupakan proses differential association. Lebih lanjut, menurutnya setiap orang mungkin saja melakukan kontak (hubungan) dengan kelompok yang terorganisasi dalam melakukan aktivitas kriminal atau dengan kelompok yang melawan aktivitas kriminal. Dan dalam kontak yang terjadi tersebut terjadi sebuah proses belajar yang meliputi teknik kejahatan, motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi melakukan suatu kejahatan.

Dasar dari differential social organization theory adalah sebagai berikut;

1. Perilaku kejahatan dipelajari

2. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dari komunikasi

3. Dasar perilaku jahat terjadi dalam kelompok pribadi yang intim

4. Ketika perilaku jahat dipelajari, pembelajaran termasuk juga teknik melakukan kejahatan yang sulit maupun yang sederhana dan arah khusus dari motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap

5. Arah khusus dari motif dan dorongan dipelajari dari definisi aturan hukum yang menguntungkan atau tidak menguntungkan

6. Seseorang menjadi delinkuen disebabkan pemahaman terhadap definisi-definisi yang menguntungkan dari pelanggaran terhadap hukum melebihi definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum

7. Asosiasi yang berbeda mungkin beraneka ragam dalam frekuensi, lamanya, prioritas, dan intensitas

8. Proses pembelajaran perilaku jahat melalui persekutuan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan meliputi seluruh mekanisme yang rumit dalam setiap pembelajaran lainnya

9. Walaupun perilaku jahat merupakan penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut sejak perilaku tidak jahat adalah sebuah penjelasan dari kebutuhan dan nilai nilai yang sama.

Pada kasus residivis,dapat dijelaskan bagaimana proses belajar yang dilakukan warga binaan untuk mengulangi kejahatannya (residivis). Mereka belajar bagaimana cara berperilaku jahat di dalam Lapas sehingga melanggar peraturan, menjadi orang yang 'bernyali', dan perilaku yang didefinisi menyimpang lainnya. Seiring dengan poin-poin Teori Asosiasi yang Berbeda, proses pembelajaran untuk menjadi anggota geng motor sebagai berikut :

1. Tingkah laku menjadi penjahat kambuhan atau residivis dipelajari. Ini terlihat dari usia-usia para residivis yang merupakan mantan warga biaan yang tergolong anak dan orang dewasa. Mereka mempelajari untuk menjadi sosok jahat dan tidak takut akan ancaman hukum. Mantan warga binaan yang telah mendapat pembinaan di lapas setelah menjalani masa pidana kembali ke masyarakat setelah itu melakukan lagi kejahatan masuk kembali ke lapas dan didalam Lapas perilaku jahat itu kembali dipeajari setelah menjalani pidana bersama sama wargabinaan lainnya.

2. Mereka belajar lewat komunikasi, saat para senior warga binaan lain menjelaskan hal-hal jahat apa saja yang harus dilakukan. Dalam proses komunikasi dan melakukan interaksi akan semakin jelas perilaku apa saja yang diinginkan dan tidak diinginkan dalam membentuk perilaku seseorang. Bagaimana pemahaman mereka dll. Contohnya saat warga binaan yang satu dengan warga binaan lainnya membandingkan bagaimana berkomunikasi dengan kelompok satu dan lainnya. Bahwa berbeda cara berkomunikasi saat dengan warga binaan dengan berkomunikasi dengan teman-teman biasa atau masyarakat biasa.

3. Proses pembelajaran pun semakin mantap dengan melakukan proses belajar di dalam kelompok. Bagaimana wargabinaan melihat kebiasaan-kebiasaan para kelompok dan cara mereka bersikap. Seperti perilaku mencuri, merampok, mencuri, aniaya dll. Semua tindakan itu dipelajari dan dipahami terlebih dahulu. Akan lebih intensif lagi proses belajar mereka karena mereka berada di suatu 'ruang' atau 'dalam bilik' yang dapat dipenuhi akan kebudayaan-kebudayaan perilaku jahat.

4.  Memahami bagaimana mereka harus bersikap, memahami bagaimana mereka melakukan tindakan-tindakan pelanggarana hukum, seperti merampok, mencuri, berkelahi, balapan, menganiaya, dll. Memahami pula alasan mengapa mereka harus melakukan itu. Motivasi apa yang mendorong mereka, antara lain seperti 'kekuasaan' di jalanan, status sebagai 'jagoan', bisa mendapatkan kebutuhan hidup mereka dengan menjadi residivis atau penjahatn kambuhan dan lain-lain.

5.  Setelah paham dengan kebutuhan dan nilai dari perilaku tersebut, residivis  pun memiliki motivasi, dorongan dan kemauan untuk melakukan itu semua. Seperti mencuri, merampok, menganiaya, semua mereka berani lakukan. Mulai 'menghalalkan' cara-cara menyimpang seperti melanggar hukum. Sengaja melakukan tingkah laku kejahatan. Hal itu dilakukan antara lain untuk mendapat pujian dari sesama warga binaan.

6. Pola tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh para residivis yang notabennya ada juga anak atau orang dewasa, dipandang sebagai tingkah perilaku jahat. Ini dikarenakan mereka yang masih anak-anak melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum. Karena definisi hukum bahwa tindakan mereka sebagai residivis salah, melanggar dan menyimpang, maka disebut tingkah laku delinkuen.

 7. Terdapat tingkah laku dan tindakan delinkuen yang terpola, yang terus dilakukan oleh para warga binaan untuk trus menunjukan eksistensi mereka. Terdapat waktu, intensitas, frekuensi mereka tersendiri dalam melakukan segala bentuk tindakan mulai dari belajar kembali melakukan kejahatan dari dalam Lapas. Semakin sering mereka melakukan tindakan-tindakan menyimpang ini, maka pengaruh tingkah laku jahat akan semakin kuat..

8. Dalam mempelajari tingkah laku jahat mereka juga mempelajari tingkah laku bukan kejahatan. Seperti didalam Lapas warga binaan mendapat pembinaan baik pembinaan kepribadian maupun pembinaan kemandirian.

 Dengan semakin kuatnya tingkah laku jahat yang terus terpola dan terbiasa dilakukan, telah mengindikasikan bahwa proses belajar yang menimbulkan tingkah laku jahat berhasil. Para residivis tidak hanya menjalankan aksinya sebagai bentuk vandalisme saja melainkan juga sebagai mata pencaharian mereka. Merampok dan mencuri bisa menjadi sumber nafkah mereka. Pada dasarnya, semua manusia butuh nafkah, namun, cara yang dilakukan oleh residivis telah menggunakan cara yang menyimpang karena telah melanggar berbagai norma sosial yang merugikan banyak orang dan mengganggu kepentingan orang lain. Pada akhirnya, semua perilaku jahat yang telah terbentuk bukan lagi untuk mendapatkan status melainkan memang menjadi keharusan mereka atau pekerjaan mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka dan gaya hidup mereka.  Inti dari teori ini adalah ,menjelaskan bagaimana seseorang karena adanya melalui proses interaksi dengan orang jahat,  yang kemudian membuat seseorang itu kemudian belajar menjadi jahat pula. Ke-2 Teori ini menurut penulis sangatlah tepat untuk menjelaskan sebab-sebab terjadinya residivis di Lapas  Klas IIA Ambon.

  • Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan dengan  KASI PEMBINAAN atas nama Ellen M. Risakotta,  maka akan diuraikan mengenai data residive, jenis kelamin serta jenis pidana yang dilakukan dan dalam tiga tahun terakhir atau  terhitung dalam kurung tahun 2015, 2016, 2017  sampai tanggal 13 juli  2018 adalah sebagai berikut :
  • Selanjutnya untuk dapat mengetahui faktor-faktor  pengulangan tindak pidana (residivis) di Lapas klas IIA Ambon maka penulis pun melakukan wawancara terhadap 4 (empat) orang warga binaan residivis diantaranya; yopi
  • (23 tahun), Otis (32 tahun), Manuel ( 45 tahun), dan Paet (38 Tahun)
  • Yopi, adalah warga binaan residivis kasus pencurian
  • Otis warga binaan  yang awalnya melakukan tindak pidana pembunuhan dan berikutnya ia kembali melakukan  tindak pidana penganiaayaan berat.
  • Manuel merupakan warga binaan kasus penipuan, dan kemudian melakukan kembali tindak pidana   pencurian. Sedangkan
  • Paet adalah warga binaan yang awalnya melakukan tindak pidana pemerkosaan yang kembali melakukan tindak pidana  pencurian. Berikut  ini adalah hasil wawancara penulis dengan ke -4 (empat) warga binaan Lapas klas IIA Ambon, yang penulis sajikan sebagai berikut :

  • 1) Wawancara pertama  yang dilakukan penulis terhadap Yopi, yang merupakan warga binaan residivis pencurian, dan ketika ditanya alasannya melakukan kejahatan,  adalah awalnya Ia tidak sengaja melakukan kasus pencurian tersebut karena ajakan dari seorang temannya yang tidak lain adalah mantan warga binaan juga, yang  pada saat itu mereka sedang dipengaruhi oleh pengaruh minuman keras. Yopi diputus bersalah oleh hakim dan menjalani masa hukuman selama kurang lebih 2 (tahun). Dan setelah selesai menjalani masa pembinaan dan Ia kembali ke masyarakat, Ia sudah di Cap oleh masyarakat adalah seseorang yang tidak baik,  dan hal tersebutlah yang memotivasinya untuk kembali melakukan kejahatan, karena pengaruh dari stigmatisasi atau label negatif yang diterimanya dari lingkungan masyarakat tempat ia tinggalnya tersebut. Dari hasil wawancara diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa teori labelling sangat tepat untuk menjustifikasi  faktor penyebab yopi mengulangi tindak pidana (residivis).

 

           2) Wawancara ke 2 (dua) yang penulis lakukan dengan Otis yang merupakan warga binaan residivis pembunuhan, yang berikutnya kembali melakukan tindak pidana penganiyaan berat, tuturnya bahwa awalnya ketika Ia melakukan pembunuhan adalah karena kebiasaannya yang sering bergaul dengan kakaknya sendiri, yang mana tak lain adalah mantan warga binaan pembunuhan juga, yang sering mengajarkannya untuk tidak boleh takut pada siapapun dalam hidupnya, dan tuturnya juga bahwa jika kita berhasil membunuh orang maka kita akan ditakuti dan disegani oleh orang-orang. Tak hanya itu, tuturnya juga bahwa semasa ia masuk dan  menjalani masa pembinaan di Lapas  pun, ia bertemu dengan warga binaan kasus pembunuhan juga dan kemudian  ia pun dirangkul oleh mereka dan membuat semacam satu geng  khusus warga binaan pembunuhan, dan tuturnya juga bahwa di dalam Lapas  dari sekian banyak pelaku tindak pidana yang ada, hanya merekalah warga binaan kasus pembunuhan yang paling ditakuti dan disegani semua warga binaan yang ada  di dalam Lapas. Ketika selesai menjalani hukuman selama 5 (lima) tahun dan kembali ke masyarakat, sebenarnya dalam hati kecilnya ingin menjadi manusia yang baik, karena Otis sangat  meyadari betapa menderitanya hidup dibalik jeruji besi. Namun usaha tersebut tidak dapat dia lakukan karena ketika selesai menjalani masa pembinaannya dan kembali ke masyarakat, Ia bertemu lagi dengan kakaknya yang mana pada saat itu tidak membantu Otis untuk mengarahkannya kejalan yang benar agar dapat menjadi manusia yang seutuhnya, namun justru sebaliknya Ia sangat bangga dengan kondisi adiknya yang telah berhasil membunuh orang dan telah bebas menjalani masa tahanan. Otis pun terus dimotivasi oleh kakaknya untuk lebih lagi menjadi orang yang jahat supaya dapat ditakuti dan disegani oleh orang-orang. dan kemudian hal inilah yang mempengaruhi serta menyebabkan otis kembali mengulangi tindak pidana (residivis). Dari hasil wawancara diatas jika dikaitkan dengan teori causa kejahatan maka, teori yang sangat tepat dipakai untuk menjustifikasi faktor penyebab otis mengulangi tindak pidana (residivis) adalah teori differensial. Karena pengulangan tindak pidana yang dilakukan olehnya pada saat itu adalah merupakan akibat dari interaksinya dengan sesama warga binaan serta eks warga binaan .  

             3)  wawancara ke 3 (tiga) dengan Manuel seorang warga binaan yang awalnya melakukan kasus penipuan dan  kembali melakukan tindak pidana pencurian, tuturnya bahwa ketika ditanya apa alasannya melakukan tindak pidana pertama kalinya. Dan dia pun menjawab awal ketika Ia melakukan penipuan adalah karena keadaan ekonomi yang membuat sehingga Ia harus melakukan tindak pidana tersebut. Divonis bersalah oleh pengadilan dan menjalani hukuman selama kurang lebih 1 (tahun). Setelah selesai menjalani masa pembinaan dan kembali ke masyarakat ia selalu mengalami kendala dalam merubah hidupnya menjadi manusia yang baik. Alasannya tak lain adal  ah cap yang diberikan oleh lingkungannya yang  member cap  bahwa Manuel adalah seorang penipu. Hal inilah yang kemudian memotivasi Manuel untuk mengulangi tindak piidana (residivis). berdasarkan hasil wawancara diatas maka teori yang sangat tepat untuk dipakai dalam menjustifikasi Manuel mengulangi tindak pidana (residivis) adalah teori labeling, karena sesuai dengan penjelasan diatas bahwa; alasan Manuel mengulangi tindak pidana, adalah karena cap yang diberikan oleh lingkungan/masyarakat terhadapnya.

              4)  Terakhir  wawancara yang dilakukan penulis dengan salah satu warga binaan yang bernama Paet seorang warga binaan yang awalnya melakukan tindak pidana pemerkosaan, dan kemudian  melakukan  tindak pidana  pencurian. ketika ditanya apa alasannya melakukan tindak pidana dan jawabannnya  adalah; awalnya Ia melakukan tindak pidana pemerkosaan karena Ia mengakui bahwa pada saat itu Ia sedang dalam keadaan mabuk pasca pesta miras dengan beberapa teman-temannya. Dan akibat dari perbuatannya tersebut paet  divonis bersalah oleh pengadilan dan menjalani masa hukuman selama 7 (tahun). Setelah selesai menjalani masa pembinaan dan kembali ke Masyarakat Ia pun mengalami hal yang sama seperti yang dialami teman-temannya, yaitu Cap sebagai orang yang tidak baik dan tidak pantas untuk dimaafkan. Dan karena semakinm terhimpit oleh kebutuhan ekonomi akibat dari stigmatisasi oleh lingkungan masyarakat yang membuatnya sulit untuk mencari pekerjaan, maka hal inilah yang  memotivasinya untuk melakukan kembali tindak pidana (residivis).  Berdasarkan hasil wawancara diatas maka teori yang tepat untuk dapat dipakai dalam menjelaskan sebab-sebab pengulangan tindak pidana (residivis) yang  dilakukan oleh paaet adalah teori labeling. Berdasarkan keterangan diatas maka dapat dilihat adanya korelasi antara teori labelling dan teori differensial yang sangat berperan penting  dalam mengkaji faktor-faktor penyebab terjadinya pengulangan tindak pidana (residivis) oleh warga binaan di Lapas Klas IIA Ambon. Hal ini sangat terlihat jelas dari keterangan ke 4 (empat) orang warga binaan residivis seperti yang telah diuraikan diatas, yang mana secara umum dapat disimpulkan bahwa ada 2 faktor utama penyebab terjadinya pengulangan tindak pidana (residivis) di Lapas Klas IIA Ambon yaitu;

  • Faktor label/cap yang diberikan masyarakat terhadap mantan  warga binaan tersebut
  • Faktor interaksi, baik antar sesama warga binaan maupun terhadap mantan warga binaan.
  • Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat pada individu.  faktor-faktor internal penyebab terjadinya pengulangan tindak pidana oleh warga binaan, yaitu faktor individu, faktor biologis, faktor psikologis.

Jika diteliti secara seksama maka sebenarnya  penyebab terjadinya pengulangan tindak pidana (residivis) ini, karena banyak faktor antara lain, faktor ekonomi, faktor sosial, maupun budaya dan juga masih banyak faktor-faktor lainnya, oleh karena itu dari data yang didapat oleh penulis pada lembaga pemasyarakatan Klas IIA Ambon terkait dengan kejahatan yang dilakukan oleh residivis maka hal ini dapat membuat banyak orang berpikiran bahwa fungsi pembinaan dari lembaga pemasyarakatan masih belum maksimal padahal jika diamati secara seksama dari sisi regulasi pun bisa dibilang sudah sangat baik, namun realitanya sangat bertolak  belakang dengan apa yang sebenarnya diharapkan.

Berdasarkan uraian-uraian diatas maka, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa faktor-faktor  penyebab terjadinya pengulangan tindak pidana (residive)  di Lapas Klas IIA Ambon yaitu pemberian cap/label yang diberikan oleh masyarakat kepada mantan warga binaan, padahal seorang warga binaan dalam menjalani masa pidana di Lapas telah mendapatkan pembinaan dalam bentuk pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian namun sebagian masyarakat memberikan label/cap  kepada mantan warga binaan membuat mantan warga binaan mengulangi kejahatan lagi dan dampak dari pengaruh di dalam Lembaga Pemasyarakatan juga membawah pengaruh negatif dari sesama warga binaan walaupun sudah mendapatkan pembinaan tetapi perilaku jahat yang dimiliki oleh warga binaan dapat mempengaruhi warga binaan lainnya.

Dari Paparan di atas maka penulis merekomendasikan bahwa : Perlu adanya sosialisasi dari pemerintah dan aparat penegak hukum dalam memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang pembinaan yang telah dilaksanakan kepada warga binaan di Lapas untuk menjadikan  warga binaan tidak mengulangi perbuatannya lagi sehingga masyarakat tidak mudah memberikan label/cap kepada mantan warga binaan

"Terima Kasih"

"Semoga Bermanfaat"

SIMSON SARIK. S.H. M.H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun