2. Dampak dari Pengaruh Buruk (Prisonisasi) di Dalam Lembaga Pemasyarakatan
Dalam kaitannya dengan sistem pemasyarakatan, masalah prisonisasi bukanlah hal yang baru, dimana prisonisasi sendiri diartikan sebagai proses terjadinya pengaruh negatif (buruk) yang diakibatkan sistem nilai yang berlaku dalam budaya penjara. Pada saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan oleh Sahardjo pada tahun 1963, salah satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa negara tidak berhak membuat orang lebih buruk atau jahat pada saat sebelum dan dipenjara.
Asumsi ini secara langsung menunjukkan adanya pengakuan bahwa tindakan pemenjaraan secara potensial dapat menimbulkan dampak negatif, sebagaimana yang dinyatakan dalam dalam poin 53, Implementation TheStandard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners (Implementasi SMR) yang berbunyi ;" Tujuan-tujuan pembinaan dalam rangka pemasyarakatan cenderung berbelok ke arah menyimpang, karena terpengaruh kekuatan-kekuatan merusak yang terdapat di dalam hubungan para penghuni.
Terjadinya banyak penyimpangan di dalam LAPAS juga diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni LAPAS, sebagaimana yang telah diketahui bahwa kehidupan seseorang selama berada di dalam LAPAS tidak sebebas orang yang berada di luar tembok penjara.
Tingkat kenaikan dan penurunan residivis selain merupakan indikator berhasil atau tidaknya suatu pembinaan terhadap narapidana tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berkembang dalam masyarakat seperti susahnya mendapat pekerjaan, munculnya stigmatisasi negatif masyarakat terhadap seorang mantan narapidana.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Ambon diperoleh data dengan menyajikan daftar narapidana residivis dari tahun 2008 sampai pada tahun 2014 sebagai berikut :
Berdasarkan rekapitulasi jumlah narapidana yang melakukan pengulangan kejahatan dari tahun 2015 sampai pada tahun 2018 di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon, maka dapat dijelaskan bahwa jumlah residivis dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dimana pada tahun 2008 residivis berjumlah sebanyak 5 (lima) narapidana.
Pada tahun 2009 sedikit mengalami penurunan dengan jumlah residivis hanya sebanyak 4 (empat) narapidana, dan pada tahun 2010 kembali mengalami peningkatan dengan jumlah residivis 7 (tujuh) narapidana, tahun 2011 sebanyak 9 (sembilan) narapidana, tahun 2012 sebanyak 11 narapidana, tahun 2013 sebanyak 13 narapidana dan pada tahun 2014 tercatat sementara 15 narapidana yang melakukan pengulangan kejahatan.
Tentu peningkatan jumlah narapidana residivis dari tahun ke tahun merupakan prestasi buruk pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan yang selama ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pola pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan nampaknya belum berjalan sesuai harapan undang-undang pemasyarakatan, faktor prisonisasi yang dapat diartikan sebagai pengaruh buruk kondisi LAPAS terhadap narapidana semakin menguatkan salah satu faktor penyebab terjadinya residivis pada narapidana.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap Kepala Bagian Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Ambon mengenai peningkatan jumlah narapidana residivis di dalam LAPAS, beliau mengatakan bahwa dampak prisonisasi bukan hanya satu-satunya faktor penyebab terjadinya residivis, dampak seperti stigmatisasi masyarakat terhadap seorang mantan narapidana juga menjadi penyebab utama terjadinya residivis.
Pihak LAPAS sudah bekerja maksimal untuk melakukan berbagai pembinaan-pembinaan keterampilan sehingga menurut beliau bahwa lingkungan masyarakatlah yang akan menjadi tumpuan terakhir terhadap seorang mantan narapidana, sehingga apabila masyarakat bisa menerima kembali seorang mantan narapidana tentu saja akan membantu mereka untuk mengembangkan keterampilan yang mereka dapatkan di dalam LAPAS dengan mendapatkan pekerjaan.