Mohon tunggu...
Simplisius Ngaja
Simplisius Ngaja Mohon Tunggu... Jurnalis - Epozth ngaja

Epozth ngaja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Orang Muda dan Pola Pemahaman

1 November 2020   17:02 Diperbarui: 1 November 2020   17:14 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Pikir itu pelita hati", kata peribahasa Melayu kuno. Ketika pikiran tak menerangi jiwa, bukan saja kekayaan akan tak maslahat, lebih daripada itu  daya-daya manusia akan jadi destruktif. Mengajarkan berpikir bukanlah dominasi satu atau beberapa mata pelajaran, melainkan menuntut keterlibatan seluruh komponen sekolah sebagai sarana penalaran.

Sebenarnya setiap mata pelajaran secara implisit memfasilitasi model berpikir tertentu.  Ketika belajar sains, misalnya, murid lebih dituntun berpikir pola induktif, sementara saat mendalami matematika dan bahasa, mereka lebih dibawa ke alam berpikir deduktif (Mohammad Abduhzen, Kompas, 2007). Namun, mengandalkan pengaruh  logis saja dari setiap mata pelajaran tak akan membuat murid (istilah Iwan Pranoto) "kasmaran" belajar dan berpikir. Pengembangan nalar membutuhkan strategi  pembelajaran yang terintegrasi dalam desain pendidikan nasional. Ini sangat penting! karena kemampuan menalar sangat dekat dengan kecerdasan yang jadi tujuan utama pendidikan kita.

Mengajarkan berpikir seharusnya dengan berpikir. Seperti berenang, murid tak hanya mendengarkan pikiran guru, tetapi juga diceburkan secara aktif ke dalam aliran ide-ide. Socrates, filsuf Yunani kuno, menunjukkan peran guru seperti bidan yang menolong proses persalinan. Itulah sebabnya perhatian utama dalam perbaikan pendidikan kita seharusnya pada metode, bukan kurikulum. 

Metode melekat pada perilaku guru sehingga pembaruan metode inheren dengan pengembangan kualitas guru. Sejarah pendidikan kita menunjukkan bahwa pergantian kurikulum tak selalu diikuti dengan perubahan metode pembelajaran. Pembaruan pendidikan Indonesia seyogianya menyentuh aspek paling mendasar dari kualitas SDM kita, yaitu kemampuan menalar. Mengabaikan hal ini, membuat masa depan kita mengkhawatirkan.

Harapan

Penulis berharap bahwa lembaga yang pendidikan agar mampu menerapkan pendidikan yang baik agar generasi yang dibentuk mampu berpikir kritis sehingga apa yang menjadi tugasnya sebagai agen kontrol dan agen perubahan dapat terealisasi dan juga Membangun kesadaran kritis kaum muda akan eksistensi bangsa ini dengan menanamkan jiwa nasionalis dan semangat patriotisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun