Sejarah dunia adalah sejarah kaum muda. Jika generasi muda mati rasa maka matilah sejarah suatu bangsa. Peran orang muda dalam suatu bangsa adalah sebuah keniscayaan. Orang muda adalah aset bangsa. Negara mencatat bahwa kiprah kaum muda memiliki peran yang signifikan dalam suatu demokratisasi bangsa.Â
Mencermati demokratisasi saat ini masih jauh dari panggang api. Memperjuangkan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan mulia dari negara demokrasi. Sejarah perjuangan generasi muda kita dapat melihat pada peristiwa sumpah pemuda 1928, peristiwa rengasdengklok 1945 dan rezim sejarah yang berhasil melengserkan kekuasaan diktator,otoriter,dan arogansi yaitu gerakan reformasi 1998.
Reformasi 1998 Â merupakan contoh gerakan orang muda yang berdampak positif bagi demokrasi suatu bangsa. Perjuangan ini merupakan pertaruhan militansi generasi muda dalam mengambil posisi sebagai alternatif solusi ditengah kebisuan sosial serta eksistensi suatu bangsa. Berdasarkan sejarah diatas bahwa kemerdekaan bangsa ini merupakan hasil perjuangan generasi muda dan juga menjadi inspirasi bagi generasi muda masa kini.Â
Perjuangan generasi muda masa lalu telah dibekukan oleh generasi muda saat ini. Yang menjadi pertanyaan refleksi buat kita sebagai generasi muda adalah apakah kita sudah memperjuangkan hak-hak masyarakat yang ditindas oleh kaum kapitalis ?? Â Generasi muda saat ini tenggelam dalam euforia serta tidak mampu memaknai perannya sebagai agen of change dan agen of control.
Realita yang terjadi hari ini generasi muda sering dihadapkan dengan berbagai tuntutan modernisme global yang menyeret kaum muda dalam berbagai macam perkembangan yang tidak menguntungkan. . Â Begitu banyak persoalan yang terjadi oleh kaum muda masa kini diantara tawuran, mabuk-mabukan, hamil diluar nikah dan lain sebagainya.Â
Tawuran pesona modernisme global yang berwajah ganda dengan plus-minusnya membuat para kaum muda mengalami erosi kekebalan moral dan eksistensi idealisme, sehingga membuat publik cenderung memposisikan kaum muda masa kini digaris hitam (black line). Berkaitan dengan penilaian dangkal yang seakan mendeskreditkan ini merupakan salah satu bahan refleksi bagi generasi muda saat ini.
Penerapan pendidikan
Generasi muda saat ini kehilangan jati diri dan saya ibaratkan seperti pohon yang  ditanam di lahan yang buruk, akan sukar baginya untuk tumbuh. Akar-akarnya harus berjuang jauh kedalam tanah untuk mencari air dan makanannya agar bisa tumbuh dengan subur.
Begitu pula dengan generasi muda saat ini bahwa orientasi pemikirannya lebih mengarah hal yang hura-hura. Oleh karenanya orientasi pemahaman serta pengembangan sumber daya generasi muda perlu ditingkatkan. Berdasarkan realita hari ini bahwa Pendidikan kita selama ini lebih banyak mengisi pikiran ketimbang  mengajarkan berpikir. Walhasil, murid-murid kita jadi lemah penalarannya. Â
Inilah inti persoalan Sumber Daya Manusia (SDM). Ini pula masalah utama bangsa dalam menyongsong masa depan. Meski berpikir bukanlah representasi keseluruhan dari kemanusiaan, kekuatan jiwa terletak pada kemampuan berpikir.
 "Pikir itu pelita hati", kata peribahasa Melayu kuno. Ketika pikiran tak menerangi jiwa, bukan saja kekayaan akan tak maslahat, lebih daripada itu  daya-daya manusia akan jadi destruktif. Mengajarkan berpikir bukanlah dominasi satu atau beberapa mata pelajaran, melainkan menuntut keterlibatan seluruh komponen sekolah sebagai sarana penalaran.
Sebenarnya setiap mata pelajaran secara implisit memfasilitasi model berpikir tertentu.  Ketika belajar sains, misalnya, murid lebih dituntun berpikir pola induktif, sementara saat mendalami matematika dan bahasa, mereka lebih dibawa ke alam berpikir deduktif (Mohammad Abduhzen, Kompas, 2007). Namun, mengandalkan pengaruh  logis saja dari setiap mata pelajaran tak akan membuat murid (istilah Iwan Pranoto) "kasmaran" belajar dan berpikir. Pengembangan nalar membutuhkan strategi  pembelajaran yang terintegrasi dalam desain pendidikan nasional. Ini sangat penting! karena kemampuan menalar sangat dekat dengan kecerdasan yang jadi tujuan utama pendidikan kita.
Mengajarkan berpikir seharusnya dengan berpikir. Seperti berenang, murid tak hanya mendengarkan pikiran guru, tetapi juga diceburkan secara aktif ke dalam aliran ide-ide. Socrates, filsuf Yunani kuno, menunjukkan peran guru seperti bidan yang menolong proses persalinan. Itulah sebabnya perhatian utama dalam perbaikan pendidikan kita seharusnya pada metode, bukan kurikulum.Â
Metode melekat pada perilaku guru sehingga pembaruan metode inheren dengan pengembangan kualitas guru. Sejarah pendidikan kita menunjukkan bahwa pergantian kurikulum tak selalu diikuti dengan perubahan metode pembelajaran. Pembaruan pendidikan Indonesia seyogianya menyentuh aspek paling mendasar dari kualitas SDM kita, yaitu kemampuan menalar. Mengabaikan hal ini, membuat masa depan kita mengkhawatirkan.
Harapan
Penulis berharap bahwa lembaga yang pendidikan agar mampu menerapkan pendidikan yang baik agar generasi yang dibentuk mampu berpikir kritis sehingga apa yang menjadi tugasnya sebagai agen kontrol dan agen perubahan dapat terealisasi dan juga Membangun kesadaran kritis kaum muda akan eksistensi bangsa ini dengan menanamkan jiwa nasionalis dan semangat patriotisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H