Aku sendiri kagum dengan sosok yang sedang diperhatikan Tuanku. Anak muda berperawakan kecil itu telaten memandikan MK, anak balita yang diasuhnya. A strong-willed child. H, inisial anak muda ini pastinya memiliki motivasi besar untuk bekerja sebagai pengasuh anak, pekerjaan yang tidak biasa untuk seorang laki-laki.
      "Apa nggak salah tuh?" Kembaranku menanyakan pertanyaan yang sama dari semenjak sadar bahwa itulah pekerjaan Tuan kami kelak.
      "Kita lihat saja dulu," jawabku, "Lagian sepertinya Tuan kita nyaman-nyaman saja," lanjutku.
      "Iya, cuman alamaak... itu si MK itu kok aktif bangeet. Anak sekecil itu energinya mengalahkan orang dewasa. Kayaknya itu pula alasan, ya, dipilih pengasuh laki-laki," komentar kembaranku.
      Aku hanya mengernyitkan keningku.
      Deal dengan Mrs. M saat wawancara menghantarkan Tuanku untuk datang beberapa hari kemudian, di hari Minggu, untuk berguru. Aku menyaksikan bahwa anak berusia kisaran tiga tahunan ini belum lepas dari pamper.
      "Lha, Tuanku mau gituh melakukannya?" Aku membatin. Namun, dua puluh tahun lebih aku menjadi bagian dari Tuanku, hal yang orang anggap kotor sepertinya tidak menjadi persoalan baginya. Dibesarkan di keluarga petani dan pedagang sayur aku ingat tuanku membiasakan aku dan kembaranku menginjak kotoran kambing dan sapi di kandang, jalan berbecek di pasar juga tempat-tempat becek berlumpur lainnya. Belum lagi di masa kecil Tuanku, belum ada yang namanya jamban keluarga. Alhasil kali, sungai, kolam ikan jadi tempat untuk membersihkan berbagai hal. Mestinya untuk urusan terkait pampers bukan masalah besar baginya.
      Karena Tuanku berguru di hari Minggu, kami berjumpa dengan Mr. W, suami dari Mrs. M dan calon ayah dari MK. MK belum resmi diadopsi secara hukum negara.  Berkewarganegaan Jerman dan bekerja sebagai Insinyur Bangunan, Mr. W berperawakan tinggi besar dan rambut lurus beruban. Berbeda dengan suaminya, Mr. W seorang yang sangat tertib, perhitungan, dan perhatian pada kebersihan. Tipikal orang Jerman. Kisahnya ia sedang bekerja di Amerika ketika bertemu dengan calon istri. Keduanya sama-sama menjadi volunteer di rumah singgah The Catholic Workers. Mereka memutuskan untuk menikah. Dari yang kutahu pernikahan Mr. W seolah antithesis dari sejarah negaranya. Ia menikahi calon istrinya yang berlatar belakang yahudi.  Sempat bekerja di Rusia dan Saudi Arabia, pasangan ini hampir memiliki anak namun keguguran. Karena usia Mrs. M tidak memungkinkan memiliki anak, maka adopsi adalah pilihan mereka. Mr. W seorang yang soft-hearted dan mencintai anak-anak. Berbeda dari tipikal orang-orang bule yang aku dengar liberal dan mendewakan freedom, pasangan ini justru 180 derajat berbeda: konservatif, taat terhadap ajaran gereja dan pacifist. Di sela-sela obrolan di meja makan, aku menyimak pandangan mereka tentang dunia dan perkembangnnya. Tidak ada hari minggu yang tidak dilewatkan tanpa pergi ke gereja. Dari sharing Mrs. M, buku dan video-videonya aku lebih mempelajari agamaku. Dalam Bahasa Inggris tentunya. Sekali mendayung, dua pulau terlampaui.
     "Kalau untuk mengasuh anak saja memperkerjakan orang, terus kerjaan Mrs. M, apa ya?" tanya kembaranku. Saat itu Tuanku sedang menata mainan dan buku-buku MK. Ia terkesima dengan deretan buku-buku cerita anak berbahasa Inggris di rak yang menarik minatnya untuk membaca. MK sedang tidur siang sementara H berada di ruangannya.
     "Kamu lihat sendiri, dia masak, sekarang tidur siang, nanti masak lagi buat makan malam," jawabku
     "Juru masaknya kemana? Waktu kita ke sini sebelumnya, ada yang bertugas masak."
     "Kalau hari Minggu, pekerja rumah off. Jadi ya Mrs. M yang masak," jelasku
     "Tapi kok hampir tidak kulihat dia main sama anaknya, ya?" lanjut kembaranku.
     "Lha, apa gunanya ada pengasuh kalau masih harus mengasuh anaknya?" sergahku, "Lagian biar saja. Malah bagus buat Tuan kita. Dia jadi dapat pekerjaan. Bisa belajar Bahasa Inggris. Dan tuh lihat, dia serius ama baca bukunya," kataku mengalihkan topik.
     "Kayaknya bukan serius," tukas kembaranku.
     "Maksudmu?" tanyaku.
     "Lihat tuh keningnya sampai berkerut begitu. Kayaknya dia kagak ngarti apa yang dia baca," jawab kembaranku sembari tersenyum
     Mau tidak mau aku juga turut tersenyum, "Bisa juga ya. Padahal itu bukunya MK."
     Posisi Tuanku yang sedang menggelosor di lantai membuat kami rileks dan merasakan dinginnya ubin. Aku perhatikan ruangan sekitar. Ranjang susun dua. MK sedang tidur di ranjang atas. Ranjang bawah yang ditarik keluar untuk jaga-jaga kalau-kalau MK terjatuh. Di ranjang bawah itu pula aku tahu H menemani MK sampai tertidur. Di dinding dekat pintu masuk, rak kayu berisikan beragam mainan dan buku-buku menyita perhatianku. Mainan-mainan warna-warni yang tidak pernah kulihat sebelumnya sepertinya barang-barang yang tidak murah. Lemari kayu untuk menyimpan baju MK dan stok pampers berada di salah satu pojok ruangan.
     "Ssssh, bangun." Aku menggoyangkan diriku melihat Tuanku kerkantuk-kantuk
     "Jangan tidur. Nanti kalau ketahuan tidak jadi deh kerjanya," bisikku khawatir. Tuanku terperanjat dan terbangun. Ia melihat ke sekitarnya.      Menyadari tidak ada orang yang memergokinya ketiduran, Tuanku menyibukkan diri merapikan mainan-mainan MK.
     Hari berguru menjelang usai. Memandikan, membersihkan, menemani bermain, menidurkan, merapikan mainan adalah pekerjaan-pekerjaan yang Tuanku pelajari dari H. Menjelang sore, hari berguru tuntas.
     "Gak susah ternyata," gumam Tuanku. Aku melirik pada kembaranku yang mengangguk mengiyakan. Paham atas lirikanku. Tekad Tuanku sudah bulat. Setelah pamit kepada pemilik rumah, Tuanku bergegas mengayun langkah menjauhi jalan Rancabentang menuju jalan Ciumbuleuit. Tak berapa lama aku dan kembaranku menjejak angkot  yang segera melaju membawa kami ke tujuan berikutnya, tempat kost. (Cimahi, 4 Juni 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H