bule nyari pastor. Aku ngerti maksud dia tapi kagak bisa jawabnya," anak gadis berambut ikal itu menuruni tangga Gedung Prakasita. Matanya mengarah pada Tuanku.
      "Bantu dong. Ada      Aku bisa merasakan keraguan Tuanku.Â
      "Ayolah Simon. Bulenya masih menunggu," lanjut gadis itu. Ia menarik tangan Tuanku supaya berdiri. Dengan enggan Tuanku berdiri dan mengekor.
      "Memang dia mau ngapain, Magda?" tanyanya
      "Dia mau ketemu pastor. Tapi pastor Abu kan lagi tidur. Aku gak tahu ngomongnya dalam Bahasa Inggris," jawab gadis yang dipanggil Magda.
      Aku dan kembaranku menaiki tangga ke lantai satu dengan langkah yang tidak ringan. Keraguan Tuanku membuat otot-otot kami setengah tertahan untuk bergerak.
      "Kesampaian juga Tuan kita ketemu bule," bisik kembaranku dalam langkah berirama kadang di depan kadang di belakangku. Sol karet sepatu yang membungkus kami menggesek lantai menghasilkan ketukan irama.
      "Iya, cuman tidak harus segininya. Kayaknya Tuan kita grogi amat," gumamku
      "You know laah," ujar kembaranku.
      "I know." Aku membatin.
      Kuliah di jurusan Bahasa Inggris di tahun kedua semestinya sudah memberikan Tuanku bekal keterampilan berbahasa yang lumayan. Tapi tidak kenyataannya. Dua semester pertama berturut-turut Tuanku mendapatkan nilai D untuk mata kuliah Listening dan Speaking sehingga menjadi beban psikologis yang tidak kecil. Apalagi dua mata kuliah ini menampakkan sebenar-benarnya kemampuan praktis mahasiswa jurusan ini. Beban ini semakin berat manakala Tuanku menyadari ia mendapatkan fasilitas beasiswa untuk kuliahnya. Tentu, nilai D bukan pertanggungjawaban yang baik. Dan sekarang sekarang dia harus bertemu muka dengan bule dan bercakap-cakap dalam Bahasa Inggris.