Kalau saja aku lepas kendali, bola basket di tanganku sudah mengenai muka Irwan, terpicu ucapannya yang sangat menyinggung.
"Ambil saja bolanya Pak kalau belum bisa beli bola. Masih punya dua juta ini buat beli baru," katanya seraya berlalu. Aku mengeraskan rahangku mencegah umpatan keluar dari mulutku.
***
Jumat siang itu sudah gerimis. Hawa yang semula panas agak mereda. Aku meninggalkan kelas menuju kantor guru. Sekolah sudah lengang. Sebagian besar siswa sudah pulang.
"Ada sejam untuk koreksi ulangan," pikirku. Namun staminaku tidak kompromi setelah jadwal mengajar yang padat. Baru saja 15 menit, aku menyerah dan berkeinginan untuk menghirup udara segar.
"Hmm, sudah berhenti hujannya." Gumamku. Tiba-tiba telingaku mendengar sesuatu. Aku menajamkan pendengaran dan bergegas ke luar ruangan
"Hei! Berhenti! Licin!" teriakku dari lantai 2. Lima anak yang sedang bermain basket di lapangan yang basah oleh air hujan sontak berhenti.
"Bahaya! Bisa terpeleset. Cedera!"
Kelima anak lelaki menyingkir dari lapangan basket. Aku bertahan di koridor untuk memastikan mereka tidak bermain lagi. Baru setelah yakin tidak ada lagi yang bermain bola aku menuruni tangga menuju kamar kecil tidak jauh dari lapang basket. Belum juga aku membuka pintu, suara-suara itu kembali kudengar.
"Nantang ya," gumamku gusar. Berbalik batal ke kamar kecil.
"Hei!" teriakku pada siswa di lapang basket. Mereka belingsatan meninggalkan bola basket yang menggelinding.
"Susah amat dibilangin," kataku seraya mendekat ke arah bola. Saat bola itu kuambil, salah satu siswa mendekat.
"Pak, itu bola saya."
"Punyamu? Lantas?" tanyaku
"Jangan disita. Lagian si Rio yang mainin."
"Lha, Bapak lihat kamu sendiri ikut main. Kan sudah Bapak ingatkan. Sudah dibilang lapang basket basah, licin, bisa jatuh, cedera."
"Tapi bolanya jangan disita," pinta anak bernama Irwan bersikukuh.
"Siapa yang nyita. Bapak simpankan. Senin bisa kamu ambil. Daripada nanti dimainkan lagi."
"Apa bedanya? Aah sudahlah. Ambil saja bolanya Pak kalau belum bisa beli bola. Masih punya dua juta ini buat beli baru," katanya seraya berlalu.
Aku terkesiap. Untungnya aku masih bisa menahan diri. Aku menoleh ke beberapa siswa tidak jauh dari lapang.
"Kamu dengar apa yang dia katakan? Pantas bicara seperti itu?"
Mereka tidak menjawab dan saling memandang. Aku membayangkan mukaku yang memerah marah. Sangat tidak sopan perkataan itu. Tapi, marah pun tidak akan memecahkan masalah.
"Tak bisa kubiarkan." Pikirku
***
"Perkataanmu hari ini sangat tidak pantas - ambil saja bolanya, kalau belum bisa beli bola, dan bahwa kamu masih punya banyak uang untuk bisa beli bola.
Pertama-tama kejadian ini BUKAN tentang bola basket dan uangmu. Tapi tentang kamu dan temanmu, menghindarkan kalian dari cedera.
Dulu sudah pernah ada kejadian patah tulang terpeseleset sampai harus dibawa ke rumah sakit. Masa harus kejadian lagi? Saya sangat kecewa dan prihatin dengan sikapmu itu. Kamu boleh punya banyak uang, tapi kalau tidak dibarengi karakter, uangmu tidak akan banyak membantu kamu.
Money is power but character is more. Saya perlu bertemu kamu. Senin saya mintakan kamu ijin ke guru di kelas untuk bicarakan hal ini."
Pesan itu kubaca ulang dan kukirim ke nomor Irwan. Semoga ia baca. Setidaknya ia tahu ada hal yang jauh lebih penting dibandingkan uang yang ia miliki.
"Let see on Monday." Gumamku seraya meraih tas ransel bersiap meninggalkan kantor guru, juga bola basket Irwan di pojok bawah meja erjaku.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H