"Susah amat dibilangin," kataku seraya mendekat ke arah bola. Saat bola itu kuambil, salah satu siswa mendekat.
"Pak, itu bola saya."
"Punyamu? Lantas?" tanyaku
"Jangan disita. Lagian si Rio yang mainin."
"Lha, Bapak lihat kamu sendiri ikut main. Kan sudah Bapak ingatkan. Sudah dibilang lapang basket basah, licin, bisa jatuh, cedera."
"Tapi bolanya jangan disita," pinta anak bernama Irwan bersikukuh.
"Siapa yang nyita. Bapak simpankan. Senin bisa kamu ambil. Daripada nanti dimainkan lagi."
"Apa bedanya? Aah sudahlah. Ambil saja bolanya Pak kalau belum bisa beli bola. Masih punya dua juta ini buat beli baru," katanya seraya berlalu.
Aku terkesiap. Untungnya aku masih bisa menahan diri. Aku menoleh ke beberapa siswa tidak jauh dari lapang.
"Kamu dengar apa yang dia katakan? Pantas bicara seperti itu?"
Mereka tidak menjawab dan saling memandang. Aku membayangkan mukaku yang memerah marah. Sangat tidak sopan perkataan itu. Tapi, marah pun tidak akan memecahkan masalah.