"Mau ikut lomba tidak?" kataku kesal. Gadis berambut ikal di depanku tidak lantas menjawab. Ia malah menjatuhkan pantatnya ke sofa dan menghembuskan nafas panjang.Â
      "Lima hari lagi lho, pertandingannya dan kamu belum hafal satu baitpun." keluhku.
      "Saya banyak PR dan ulangan. Mana sempat menghafal puisinya," bantah gadis itu.
      Aku berpaling pada Candy yang sedang mempelajari pidatonya.Â
      "Kamu ada PR dan ulangan tidak, minggu-minggu ini?" tanyaku.Â
      "Lha, saya kan sama-sama kelas 8, Pak. Gurunya sama. PR-nya sama. Ulangannya sama," terangnya.
      "Tapi kamu kok sudah hafal pidatomu? Pidato lho, bukannya puisi," timpalku sambil menoleh pada Lala.
      "Tidak bisa dibandingkan, Pak, anak rajin dan anak... aduuuh!" jerit Candy. Bantal sofa telak mengenai kepalanya sementara Lala mengepalkan tangannya.
      "Yes!" ujarnya girang.
      Aku garuk2 kepala menyaksikan dua anak didikku. Antara kesal dan tertantang. Menaklukkan Lala  khususnya, yang kurang serius berlatih.
***
      "Sudah berapa kali ikut lomba?" tanyaku pada Lala.
     "Lumayan," jawabnya enteng
     "Lumayan apa?" kataku mulai gusar. "Pertanyaannya berapa kali?" tegasku
     "Hmm.. tiga kali." Ia menjawab dengan lebih serius. Mungkin melihat gelagatku.
     "Hasilnya?" tanyaku tajam. Gadis itu menghindari tatapanku.  Perlahan dia menggelengkan kepalanya.Â
     "Look! Lala, look at me!" pintaku. Lala menengadah.Â
     Aku mencondongkan badanku yang semula bersandar di rak buku.
     "You have something that others don't have." Aku menatapnya. "English," lanjutku.Â
     "Itulah alasannya Bapak  pilih kamu. Bapak percaya kamu pasti bisa!"
     "Kenyataannya saya tidak sebagus Candy," gumamnya.
     "Who's talking about Candy? We are talking about you!" kataku meninggi. "Ok-lah sebelumnya kamu ikut lomba kategori yang sama dengan dia. Tapi yang sekarang lain! Kamu tidak bisa bandingkan. Dia pidato kamu puisi."
     "Four more days we have. It's more than enough for you to practice. Show me you are serious."
***
In the stillness of the morning,
while the world was still asleep,
the sun was hidden under cover
and silence was strong and deep.
I whispered a short prayer
with just a few choice words.
God was there in the silence,
and I knew my prayer was heard.*
      Alunan puisi yang dibawakan Lala melelehkan perasaanku.  Pandanganku mengabur. Bukan semata karena penghayatan puisi anak gadis yang sedang berlutut dengan selendang hitam menutup kepala, tapi juga trophy juara 1 di lantai di depan Lala yang ia bawa dari pertandingan. Ingin menunjukkan tampilan terbaiknya menyabet piala, Lala meminta aku yang tidak bisa datang menyaksikan perlombaan untuk menonton penampilannya.  Â
      "You did it girl," bisikku teringat perjuangan empat hari terakhir persiapan lomba.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H