"Maksudmu...?" Jawab Ibu pelan dengan wajah memucat. Aku tak lantas menjawab. Entah kekuatan apa yang membuatku berani menantang mata itu.
      "Tamu barusan Mas Pram, kan?" Ibuku gelagapan.
      "Emmm..." Ibuku tergagap.
      "Herannya, kok, dia tidak menjenguk saya?" Ibu mereman-remas jarinya. Gelisah. Wajah memucatnya semakin jelas.
      "Atau dia tidak peduli dengan keadaan saya?" Aku tak percaya dengan suaraku yang sinis dan sedingin es. Demikian halnya tatapanku yang bertemu dengan mata ibuku yang gelisah.
      "Atau..." aku menggigit bibir. Ada kemarahan yang berkelejat ingin menerobos bibirku.Â
      "Memang niat Mas Pram hanya untuk bermesraan dengan Ibu?" lanjutku tajam tanpa terlepas menatap Ibuku.
      Aku tak pernah melihat wajah ibu begitu pucat. Bibirnya bergetar namun tak ada kata yang keluar.
      "Saya merasa iba pada Bapak. Apa jadinya kalau Bapak tahu calon mantunya kekasih istrinya?"
      "Ratih..." Bentak Ibu  tergetar, namun berlanjut isak tangis. Jemari tangannya menutupi wajahnya. Tapi aku mencurigai isak tangisnya. Aku menyangsikan sedunya sebagai bentuk penyesalan. Dengan lunglai aku meninggalkan dia. Tak ada gambaran sang dewi yang cemerlang. Sirna terangnya, menyisakan kegelapan. Akh, haruskah aku tetap memanggilnya IBU?***