"Sebentar, Ibu tinggal dulu, ya." Ibu melirik kepadaku. Aku tak berani menatap wajah Pram. Dari cermin tepat di seberang tempat dudukku aku bisa memastikan tatapannya yang tak lepas dari diriku.
      "E...ehem..." Ia mendehem. "Masih kuliah?" tanyanya. Aku menggeleng.
      "Sudah kerja?" tanyanya lagi
      "Dalam proses mencari." Jawabku terbata
      "Memang tidak gampang cari pekerjaan." Katanya. Aku mengangguk mengiyakan. Mulutku terbuka hendak bertanya. Namun tidak ada kata yang terujar.
      "Saat ini saya punya usaha kecil-kecilan." Kata Pram, seakan menangkap maksudku.
      "Usaha apa?" Belum sempat dijawab, ibuku memasuki ruangan
      "Maaf lho, di sini tidak ada apa-apa." Ibuku menaruh gelas air dan penganan di meja.
     Â
Ada yang berubah semenjak pertemuanku dengan Pram. Berkali ia bertandang. Tapi, masih gelap entah dia memiliki ketertarikan padaku. Ibukulah yang bersemangat. Acapkali setengah memaksa dia menuntutku untuk berias. Aku risih dan mengatakan terlalu dini untuk membicarakan menantu. Namun, ibuku malah tersinggung. "Justru kamu harus memikirkannya dari sekarang. Ibaratnya sudah mengepal emas, masa mau dilepas begitu saja?"
      "Ibu kok begitu bersemangat tentang Pram?" Aku bertanya menyelidik suatu saat.