Selama ini investigasi tentang Papua lebih banyak menampilkan fakta dan data mengenai konflik, dimana Papua direkonstruksi menjadi negeri yang penuh konflik dan rakyatnya terlihat sangat sulit untuk diajak berdamai.Â
Rakyat Papua diposisikan sebagai objek yang diam dan miskin inisiatif sehingga memerlukan inisiatif eksternal, terutama melalui diplomasi dan kebijakan internasional.
Bumi Papua dengan segala kekayaan dan permasalahan yang booming, selalu kita dengar melalui berbagai platform media sosial. Kemelut ini tidak hanya menjadi perhatian domestik, namun juga menjadi perhatian dan tontonan di mata masyarakat internasional. Konflik Papua dalam berbagai aspek kehidupan terus menguras energi kita untuk memikirkan dan menyeselesaikannya.
Heterogenitas etnik, budaya dan kompleksitas adat istiadat serta gerakan sosial-politik dan sosial-ekonomi di Papua mempunyai sejarah panjang yang penuh ketegangan dan konfrontasi.Â
Berbagai permasalahan yang terjadi sejatinya menggambarkan dinamika masyarakat yang ternyata selalu menghadirkan cerita tentang konflik, disintegrasi dan kefakiran yang dialami rakyat Papua.
Tidak heran, di tengah melimpahnya kekayaan alam yang seharusnya menjadi berkah, yang dituai adalah rasa tidak aman dan konflik atas pengelolaan sumber daya alam yang muncul akibat arogansi negara dan kewenangan perusahaan nasional maupun swasta asing dalam mengeksploitasi sumber daya alam tanpa menunjukkan keadilan dalam hal distribusi hasilnya.
Meski kerap dipuja sebagai tanah eksotis, namun dibalik semua kemolekannya Papua menyimpan banyak ironi, oleh kebanyakan orang keniscayaan ini adalah sebuah kebenaran yang bisa disalahkan, namun sangat sulit untuk dikalahkan, karena puing-puing masa lalu selalu aktual. Kekayaan alam ini kemudian berubah drastis menjadi jebakan yang berujung pada jurang kemiskinan.
Konflik terpanjang dalam sejarah umat manusia, sejak tahun 1960 hingga kini. Ketidakstabilan ekonomi dan politik disertai kekerasan dan kejahatan telah mewarnai kehidupan manusia sebagai memoria passionis dan trauma psikologis yang sangat sulit disembuhkan menjadi penghambat besar bagi kemajuan.
Kasus-kasus tersebut kemudian mempunyai implikasi yang sangat signifikan terhadap marginalisasi dan depopulasi dalam pembangunan dan pemberdayaan dengan segala sumber daya yang dimiliki rakyat Papua.
Kondisi yang ideal di Papua dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pembangunan ekonomi yang baik, potensi sumber daya alam yang melimpah, sayangnya tidak mampu meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat Papua sebaik-baiknya. Ironisnya, di tengah konflik dan kemiskinan, kekayaan alam yang melimpah di tanah Papua belum mampu menjamin kemakmuran.
Bukan rakyat Papua yang makmur, melainkan para oligarki yang kekayaannya melimpah justru membawa masyarakat hidup di garis kemiskinan dan penuh dengan konflik karena kegagalan penguasa dalam menerjemahkan kekayaan menjadi alat penggerak kesejahteraan masyarakat.
Banyak persoalan strategis yang menjadi pangkal ironi Papua, seperti sejarah integrasi, kekerasan politik dan pelanggaran HAM, kegagalan pembangunan, inkonsistensi kebijakan dan strategi pemerintah pusat dalam menghadapi gangguan keamanan. Kita melihat persoalan-persoalan tersebut dari perspektif yang sebenarnya sudah tidak elok lagi dalam melihat keniscayaan.
Kefakiran, marginalisasi dan keterisolasian masyarakat Papua disertai kerusakan ekologi merupakan dampak dari kebijakan pembanguan yang dilakukan pemerintah dengan violent approach, sehingga hasil yang dicapai justru memperpanjang penderitaan dan melanggengkan pemerintahan yang otoritarian untuk terus menggarap hasil bumi di tengah pergolakan.
Masyarakat Papua di seluruh pelosok negeri ini masih terperosok dalam perangkap kerentanan sosial-ekonomi yang berkepanjangan. Permasalahan sosial-ekonomi dan lingkungan hidup yang dihadapi rakyat Papua merupakan ironi besar ditengah kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Salah satu penyakit sosial terbesar yang menimbulkan banyak skeptisme adalah aktivitas pertambangan emas PT. Freeport Indonesia yang berlangsung selama 56 tahun, mega proyek ini dinilai biangkerok konflik politik dan kemiskinan berkepanjangan di Papua.
Berbagai disparitas tersebut menunjukkan potret buruk tragedi kemanusiaan di mata dunia internasional, di tengah menjamurnya nasionalisme yang tumpang tindih atas sengketa politik tanah Papua.
Kekerasan dan pelanggaran yang terdokumentasi lebih banyak dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia sejak 1960-an hingga saat ini - ditambah dengan impunitas dan eksploitasi sumber daya alam serta meluasnya kemiskinan di kawasan bumi Cenderawasih, telah memicu kebencian terhadap pemerintah Republik Indonesia. Selain gejolak nasionalisme, dalam konteks ini juga terdapat unsur kejahatan yang dilatarbelakangi oleh kemiskinan.
Rakyat Papua serta-merta menjadi korban langsung transmigrasi penduduk, bahkan perusahaan-perusahaan domestik maupun mancanegara yang masuk silih berganti dengan berbagai upaya dan kesepakatan terselubung yang berakibat pada marginalisasi rakyat pribumi serta melakukan eksploitasi secara paksa dan ilegal terhadap seluruh penghasilan sumber daya alam.
Selain itu, kegagalan dalam menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, kebutuhan primer manusia dan pelayanan dasar lainnya bagi daerah terisolir, menunjukkan bahwa marginalisasi rakyat merupakan kebijakan yang terabaikan dan disengaja telah mengurat akar.Â
Kegagalan dalam merekonstruksi kondisi di Papua dalam membangun masyarakat madani yang adil dan makmur disinyalir menjadi salah satu penyebab berlanjutnya konflik dan kemiskinan.
Hak hidup rakyat Papua makin sulit dijamin, ditambah lagi dengan jumlah mereka yang jauh lebih kecil dibandingkan seluruh penduduk Indonesia. Sektor ekonomi menengah ke atas mendiami wilayah perkotaan.Â
Sementara itu, rakyat pribumi termaginalisasi dan tidak memiliki akses terhadap sektor ekonomi atau bisnis dan sebagian besar hidup di wilayah yang terisolir, terpojok, tersudut dan tidak terlindungi, sehingga terus menimbulkan konflik dan perlawanan.
Tidak heran jika selama ini rakyat Papua memandang negara dengan sebelah mata, sebab menyelesaikan konflik yang bernuansa "power politic" tidak dapat dihentikan untuk membantu pembangunan dan kemajuan rakyat Papua, perlu menciptakan upaya-upaya dan ruang yang memadai agar rakyat Papua memiliki jaminan dan kepastian untuk terus bertumbuh dan berkembang serta terlindung dari segala bentuk perlakuan menghilangkan atau menguasai kepemilikan harta benda dan hak hidup rakyat Papua.
Kompleksitas persoalan Papua pada hakikatnya hanyalah konflik seputar pemahaman dan relasi konsep nasionalisme yang berbeda. Parameter tersebut dapat diselisik dari jawaban apakah konsep pemahaman nasionalisme dibangun dengan memberi ruang yang lebih adil dan ramah bagi tumbuhnya pemahaman yang tidak terlalu radikal terhadap nasionalisme.
Jika tidak, maka gejolak di Papua akan terus membesar dan melanggengkan kemelaratan. Kemiskinan akan menjadi salah satu penyebab yang melahirkan kejahatan, perlawanan dan kekerasan.Â
Siapa yang patut disalahkan jika rakyat Papua dilabeli sebagai kelompok separatis, teroris dan kelompok kiriminal? Padahal kejahatan disebabkan oleh watak seseorang. Untuk itu, dalam melihat dinamika ini kita perlu mengubah kaca mata dan cara pandang.
Ancaman bisa muncul karena memang telah lama berkecamuk dalam kehidupan manusia di bumi Papua, tetapi juga bisa ditemukan dan muncul dari pemahaman sempit kita sendiri.Â
Pada dasarnya manusia mewarisi gen survival, dan manusia tentunya akan selalu berusaha dan berupaya untuk menyelamatkan diri dari berbagai konflik yang terasa genting dan mengancam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H