Sementara itu, rakyat pribumi termaginalisasi dan tidak memiliki akses terhadap sektor ekonomi atau bisnis dan sebagian besar hidup di wilayah yang terisolir, terpojok, tersudut dan tidak terlindungi, sehingga terus menimbulkan konflik dan perlawanan.
Tidak heran jika selama ini rakyat Papua memandang negara dengan sebelah mata, sebab menyelesaikan konflik yang bernuansa "power politic" tidak dapat dihentikan untuk membantu pembangunan dan kemajuan rakyat Papua, perlu menciptakan upaya-upaya dan ruang yang memadai agar rakyat Papua memiliki jaminan dan kepastian untuk terus bertumbuh dan berkembang serta terlindung dari segala bentuk perlakuan menghilangkan atau menguasai kepemilikan harta benda dan hak hidup rakyat Papua.
Kompleksitas persoalan Papua pada hakikatnya hanyalah konflik seputar pemahaman dan relasi konsep nasionalisme yang berbeda. Parameter tersebut dapat diselisik dari jawaban apakah konsep pemahaman nasionalisme dibangun dengan memberi ruang yang lebih adil dan ramah bagi tumbuhnya pemahaman yang tidak terlalu radikal terhadap nasionalisme.
Jika tidak, maka gejolak di Papua akan terus membesar dan melanggengkan kemelaratan. Kemiskinan akan menjadi salah satu penyebab yang melahirkan kejahatan, perlawanan dan kekerasan.Â
Siapa yang patut disalahkan jika rakyat Papua dilabeli sebagai kelompok separatis, teroris dan kelompok kiriminal? Padahal kejahatan disebabkan oleh watak seseorang. Untuk itu, dalam melihat dinamika ini kita perlu mengubah kaca mata dan cara pandang.
Ancaman bisa muncul karena memang telah lama berkecamuk dalam kehidupan manusia di bumi Papua, tetapi juga bisa ditemukan dan muncul dari pemahaman sempit kita sendiri.Â
Pada dasarnya manusia mewarisi gen survival, dan manusia tentunya akan selalu berusaha dan berupaya untuk menyelamatkan diri dari berbagai konflik yang terasa genting dan mengancam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H