Bukan rakyat Papua yang makmur, melainkan para oligarki yang kekayaannya melimpah justru membawa masyarakat hidup di garis kemiskinan dan penuh dengan konflik karena kegagalan penguasa dalam menerjemahkan kekayaan menjadi alat penggerak kesejahteraan masyarakat.
Banyak persoalan strategis yang menjadi pangkal ironi Papua, seperti sejarah integrasi, kekerasan politik dan pelanggaran HAM, kegagalan pembangunan, inkonsistensi kebijakan dan strategi pemerintah pusat dalam menghadapi gangguan keamanan. Kita melihat persoalan-persoalan tersebut dari perspektif yang sebenarnya sudah tidak elok lagi dalam melihat keniscayaan.
Kefakiran, marginalisasi dan keterisolasian masyarakat Papua disertai kerusakan ekologi merupakan dampak dari kebijakan pembanguan yang dilakukan pemerintah dengan violent approach, sehingga hasil yang dicapai justru memperpanjang penderitaan dan melanggengkan pemerintahan yang otoritarian untuk terus menggarap hasil bumi di tengah pergolakan.
Masyarakat Papua di seluruh pelosok negeri ini masih terperosok dalam perangkap kerentanan sosial-ekonomi yang berkepanjangan. Permasalahan sosial-ekonomi dan lingkungan hidup yang dihadapi rakyat Papua merupakan ironi besar ditengah kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Salah satu penyakit sosial terbesar yang menimbulkan banyak skeptisme adalah aktivitas pertambangan emas PT. Freeport Indonesia yang berlangsung selama 56 tahun, mega proyek ini dinilai biangkerok konflik politik dan kemiskinan berkepanjangan di Papua.
Berbagai disparitas tersebut menunjukkan potret buruk tragedi kemanusiaan di mata dunia internasional, di tengah menjamurnya nasionalisme yang tumpang tindih atas sengketa politik tanah Papua.
Kekerasan dan pelanggaran yang terdokumentasi lebih banyak dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia sejak 1960-an hingga saat ini - ditambah dengan impunitas dan eksploitasi sumber daya alam serta meluasnya kemiskinan di kawasan bumi Cenderawasih, telah memicu kebencian terhadap pemerintah Republik Indonesia. Selain gejolak nasionalisme, dalam konteks ini juga terdapat unsur kejahatan yang dilatarbelakangi oleh kemiskinan.
Rakyat Papua serta-merta menjadi korban langsung transmigrasi penduduk, bahkan perusahaan-perusahaan domestik maupun mancanegara yang masuk silih berganti dengan berbagai upaya dan kesepakatan terselubung yang berakibat pada marginalisasi rakyat pribumi serta melakukan eksploitasi secara paksa dan ilegal terhadap seluruh penghasilan sumber daya alam.
Selain itu, kegagalan dalam menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, kebutuhan primer manusia dan pelayanan dasar lainnya bagi daerah terisolir, menunjukkan bahwa marginalisasi rakyat merupakan kebijakan yang terabaikan dan disengaja telah mengurat akar.Â
Kegagalan dalam merekonstruksi kondisi di Papua dalam membangun masyarakat madani yang adil dan makmur disinyalir menjadi salah satu penyebab berlanjutnya konflik dan kemiskinan.
Hak hidup rakyat Papua makin sulit dijamin, ditambah lagi dengan jumlah mereka yang jauh lebih kecil dibandingkan seluruh penduduk Indonesia. Sektor ekonomi menengah ke atas mendiami wilayah perkotaan.Â