Salah satu dosa asal umat manusia adalah ketidakmampuannya untuk hidup damai. Sejak awal sejarah, konflik perebutan wilayah, kekayaan, kekuasaan dan prestise hampir selalu berulang. Memang, banyak dari apa yang terjadi di masa lalu hanyalah serangkaian konflik. Papua yang kita kenal sekarang, dari negeri tempat kita tinggal hingga berbagai konflik yang kita lihat dan dengar setiap hari, dibentuk oleh perjuangan yang penuh kekerasan.
Dari berbagai data observasi yang saya rampung, sangat menolong dalam mendeskripsikan tulisan ini. Berawal dari sejarah peralihan kekuasaan sampai konflik berkepanjangan di Papua. Hingga dewasa ini, banyak menyisihkan nanah dari luka nurani yang tidak dapat disembuhkan, menjadi penyakit sosial-politik yang dapat dilihat, masih dirasakan dan sedang terjadi.
Coba lihat seperti apa wajah baru Papua sekarang? Melalui berbagai proses dan tahapan yang dilalui tidak pernah ada jalan tengah atau sebuah resolusi untuk mengakhiri konflik Papua. Gejolak yang kian memanas sejatinya merupakan ketimpangan dalam persoalan hak politik Papua di masa lalu yang terabaikan dan tidak sejalan dengan hasrat rakyat pribumi.
Berbagai konflik tidak lenyap begitu saja, menghadapi beragam kemelut yang tidak mudah, seperti halnya orang yang tidak pernah merasa kenyang, selalu dahaga dan lapar akan konflik dan peperangan. Dalam berbagai realitas yang terpampang di mata publik, baik secara fisik maupun daring terlihat percikan api yang selalu membara dan tak kunjung padam.
Menguaknya nasionalisme di Papua memunculkan berbagai peta konflik yang tidak dapat dihindari dalam proses penyelesaian sengketa tanah Papua. Perang ideologi yang dilakukan antara pro-kemerdekaan dan pro-integrasi, dalam pencarian jati diri dalam konsep dan semangat nasionalisme, berhasil memetik percikan api di dalam diri rakyat Papua.
Memasuki pertengahan abad ke-20, menjelang kekalahan Jepang pada tahun 1945 melawan sekutu dalam Perang Dunia II, sejarah Papua memasuki babak baru. Dalam sidang kedua BPUPKI 10-17 Juli 1945, pembahasan status tanah dan sengketa politik Papua menjadi topik menarik, sekaligus memicu perdebatan sengit kala itu. Menjadikan bekas wilayah Belanda dianggap sebagai bagian dari Republik Indonesia.
Setelah hengkangnya penduduk Belanda pada tahun 1949, Papua menjadi wilayah tarik-menarik akibat pengaruh antara rezim nasionalisme dan ekspansionis Sukarno dan Amerika, yang disusul oleh pendudukan brutal rezim Soeharto yang merupakan sekutu kepentingan ekonomi dan politik Amerika.
Selain kepentingan Indonesia dan Amerika, adapun Australia, Uni Soviet, Belanda, Inggris, termasuk PBB juga berperan dalam menentukan nasib wilayah dan rakyat Papua. Dengan dibentuknya Komisi PBB untuk Indonesia dan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949, Indonesia memulai pergolakan untuk mendominasi Papua.
Pada tanggal 1 Desember 1961 di Hollandia (sekarang Jayapura), para tokoh Papua yang terpelajar mendirikan dan mendeklarasikan “Kemerdekaan Republik Papua Barat” yang ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora di samping bendera Belanda dan menyanyikan lagu kebangsaan Papua “Hai Tanahku Papua” dan lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi ini disiarkan langsung oleh radio Belanda dan Australia.
18 hari pasca proklamasi kemerdekaan Papua Barat, Soekarno geram dan mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961 di Alun-alun Utara Yogyakarta, berisi perintah untuk membatalkan negara boneka Papua buatan Belanda, bahkan merencanakan dan menyiapkan operasi militer dalam skala besar untuk menyatukan Papua Barat dengan Indonesia dan melepaskan wilayah jajahan dari cengkeraman imperialisme Belanda.
Konspirasi internasional terjadi setahun kemudian dalam forum yang diprakarsai oleh Amerika Serikat melalui sebuah kesepakatan Bunker Plan (seorang bekas dubes AS yang mencontohkan cara plebisit untuk menguasai Hawaii atas perintah John F. Kennedy), maka New York Agreement 15 Agustus 1962 ditandatangani Belanda dan Indonesia untuk mengakhiri sengketa Politik Papua Barat dan sekaligus Belanda menyerahkan Papua dibawah kendali otoritas eksekutif sementara PBB.
Pada tanggal 1 Mei 1963 aneksasi Papua Barat dari Otoritas Pemerintahan Sementara PBB United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) diserahkan ke pangkuan Indonesia di Jayapura sesuai amanat New York Agreement. Aneksasi ini ditandai dengan upacara penyerahan dan pengibaran bendera merah putih untuk pertama kalinya di Irian Barat.
Sebelum Pepera dilaksanakan pemerntah Indonesia dibawah kendali Soeharto belum genap sebulan menjadi presiden, pada 7 April 1967 menandatangani akselerasi kontrak karya dengan Freeport-McMoRan Inc. untuk memulai eksploitasi tambang emas di Papua. Hal ini dilabeli sebagai kepentingan dan motif Amerika mendukung penyerahan Papua kepada Indonesia dan mengancam Belanda untuk menyerahkan wilayah Irian Barat.
Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang disahkan 10 Januari 1967, dalam penyusunan dan isinya serta-merta melegalkan Amerika untuk mengelola tambang di Papua. Kontrak karya ini sebagai kapitalisasi yang lambat laun menjadi salah satu akar konflik berkepanjangan dalam sengketa status tanah Papua.
Setelah itu, salah satu maklumat yang masih tersisa dari New York Agreement, yakni pemerintah Indonesia harus melaksanakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua. PBB mengutus wakilnya, Dr. Fernando Ortiz Sans ke Papua Barat 22 Agustus 1968 untuk mempersiapkan dan mengatur jalannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau tindakan pemilihan bebas.
Pada 14 Juli – 2 Agustus 1969, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice akhirnya digelar sebagai referendum yang menentukan apakah rakyat Papua harus tetap bergabung dengan Indonesia atau tidak. Sehingga dibentuklah Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang beranggotakan 1.026 orang yang mewakili sekitar 815.904 penduduk Papua.
Hasil Pepera diumumkan tanggal 2 Agustus 1969, Dewan Musyawarah Pepera (DMP) memilih agar Papua Barat tetap menjadi bagian dari bingkai Indonesia. Meski Irian Barat jatuh ke tangan Indonesia, rakyat Papua merasa hasil Pepera penuh kecurangan dan tidak mewakili hasrat yang seutuhnya menjadi “Act of No Choice”. Pepera dianggap hanya ditentukan oleh perwakilan kelompok masyarakat, bukan dengan mekanisme one man one vote. Tidak sah untuk dikualifikasi sebagai proses yang adil dalam penentuan nasib sendiri.
Bahkan tidak mengakui New York Agreement karena tidak secara resmi melibatkan rakyat Papua. Amerika dianggap terlibat dan bertanggung jawab sehingga keluarlah New York Agreement yang dinilai tidak menguntungkan rakyat Papua. Pemerintah Indonesia melakukan agresi dan intimidasi terhadap rakyat Papua. Dalam dokumen (PBB Annex I, A/7723) yang diungkapkan perwakilan PBB Dr. Fernando Ortiz Sans mengenai kecurangan Pepera, terungkap adanya invasi militer dalam upaya menjamin kemenangan Indonesia.
Hasil ini kemudian dikukuhkan oleh Majelis Umum PBB dalam sidang ke-24 pada tanggal 19 November 1969 yang dituangkan dalam resolusi nomor 2504. Pengesahan ini kemudian dijadikan landasan oleh pemerintah Indonesia untuk mempertahankan wilayah Papua bahwa seluruh proses Pepera sesuai ketentuan internasional dan hasilnya telah diterima oleh komunitas internasional.
Namun pada kenyataannya berbeda dengan rakyat pro-kemerdekaan yang menginginkan Papua membentuk negara sendiri dan berpisah dari kerangka Indonesia, tidak dapat menerima proses dan hasil Pepera. Argumentasi yang disampaikan didasarkan pada berbagai intimidasi yang dilakukan oleh otoritas dan militer Indonesia selama masa sosialisasi Pepera.
Buntut Pepera menyebabkan menguatnya gerakan sipil untuk memisahkan diri dari Indonesia. Terlepas dari tajamnya perbedaan argumentasi antara rakyat pro-integrasi dan rakyat pro-kemerdekaan di seluruh wilayah Papua, pada faktanya sejak peralihan kekuasaan telah terjadi banyak konflik.
Munculnya berbagai konflik yang melanda bumi Papua terus mengalami perlawanan ideologi politik yang sengit dan pemberontokan bersenjata menuntut kemerdekaan yang ditanggapi pemerintah dengan represif dan menjadikan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM) dengan tetap menerapkan kebijakan pembangunan yang bersifat kapitalis.
Lebih dari 30 tahun sejak 1963, Indonesia melancarkan operas militer di Papua untuk mempertahankan kekuasaan terhadap wilayah Papua dari kelompok pro-kemerdekaan, bahkan mengintimidasi rakyat Papua agar memilih berintegrasi dengan Indonesia. Selain itu, eskalasi operasi militer di Papua dilakukan untuk terus menggaruk sumber daya alam di Papua. Selama operasi militer ini terjadi banyak pelanggaran HAM.
Di era reformasi, Indonesia melakukan pendekatan akomodasi untuk mendapatkan dukungan rakyat Papua, sehingga diambil kebijakan dengan menghapus DOM pada tanggal 5 Oktober 1998. Namun sejauh ini belum satu pun pelanggaran HAM masa lalu yang diselesaikan, baik pelanggaran HAM ringan hingga yang berat. Masih banyak lagi konflik dan pelanggaran yang terus mewarnai bumi Cenderawasih tanpa henti.
Menengok lebih dalam rangkaian konflik tersebut, tentu masih dan sangat banyak yang belum direkonstruksi di sana dengan baik. Berbagai upaya pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan konflik mengalami perubahan dengan efek autokinetik dari waktu ke waktu.
Sebuah langkah untuk meredam potensi konflik yang berkepanjangan, maka diputuskanlah ketetapan MPR No IV/1999 tentang GBHN dan ketetapan MPR No IV/2000 tentang rekomendasi kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini merupakan peralihan sistem pemerintahan sentralisasi menuju desentralisasi yang ditetapkan sebagai daerah otonomi khusus.
Kebijakan pemerintah tentang Otsus Papua dianggap sebagai jalan tol dalam melanggengkan kekuasaan ditengah maraknya konflik di Papua. Melalui berbagai gejolak dan perdebatan yang panjang serta-merta pemerintah dan DPR menetapkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Jilid I) 21 November 2001. Berlanjut pengesahan perubahan kedua atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Jilid II) 15 Juli 2021.
Namun, substansi otsus Papua itu sendiri tidak mencakup upaya penyelesaian seluruh akar konflik. Otsus hanya sebagai instrument normatif yang ditetapkan untuk terus memegang kendali atas Papua, bukan sebagai resolusi atas berbagai konflik dan pelanggaran. Proses dan legalitas integrasi Papua sama sekali tidak disinggung, sejauh ini realitas masih menunjukkan kuatnya pengaruh akar persoalan dalam konflik di Papua.
Gagasan pemetaan konflik pun beranjak dari refleksi pengalaman hidup Otsus Papua di mana sentralisasi telah menutup ruang partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, tetapi juga menyebabkan adanya ketimpangan distribusi pembangunan ke daerah sehingga muncul berbagai gejolak, diantaranya kekecewaan dan protes keras yang kerap kali disikapi secara represif.
Pengalaman yang terjadi di Papua telah memperlihatkan rentetan konflik yang sangat sarat dengan berbagai ketimpangan dan perlakuan represif terhadap kelompok-kelompok yang dimarginalkan karena menentang kebijakan pemerintah yang otoriter dan kapitalis. Semua kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan, akselerasi dan pemberdayaan, semakin drastis membuahkan peta-peta konflik yang membooming di tanah Papua.
Selain itu, pemekaran 4 provinsi 17 November 2022 dianggap proyek paketan yang dilanggengkan. Akibat ketergesaan dalam meratifikasi Otsus Papua dan daerah otonomi baru (DOB). Walaupun secara sosiologis-politik, kebijakan pemekaran dan Otsus seharusnya tidak dilakukan karena mendapat penolakan dan perlawanan yang luas melalui unjuk rasa dari seluruh rakyat Papua.
Terkecuali, elit-elit Papua yang terlibat dalam skenario Otsus Papua dan pemekaran provinsi. Namun demikian, kebijakan tersebut justru memicu terjadinya eskalasi konflik. Konflik yang terjadi akibat kausalitas ini menjadi bumerang bagi rakyat Papua dan pada akhirnya telah mempengaruhi seluruh kelangsungan hidup rakyat dalam menuntut hak.
Pasca penetapan Otsus jilid II dan pemekaran 4 provinsi di Tanah Papua, penyelesaian konflik Papua secara komprehensif belum membawa titik terang. Penyelesaian konflik Papua pun mengalami kebuntuan yang serius. Resolusi menuju dialog, negosiasi, rekonsiliasi, dan praktik politik bersama yang lebih demokratis masih tetap menjadi mimpi belaka.
Tuntutan yang menjadi sumber konflik semakin beragam, mulai dari tuntutan kemerdekaan, otonomi khusus, pemekaran provinsi, pemerataan kesejahteraan, sampai pada pemeliharaan kesatuan wilayah dan identitas bangsa Papua. Sehingga peta konflik Papua semakin menjadi kompleks. Namun di sisi lain, komplesitas konflik Papua juga menguak akibat inkonsistensi tindakan pemerintah dalam mencari resolusi konflik di Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H