Mohon tunggu...
Seno Rocky Pusop
Seno Rocky Pusop Mohon Tunggu... Penulis - @rockyjr.official17

सेनो आर पूसॉप जूनियर

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Wajah Baru Melihat Peta Konflik di Papua

22 Juni 2023   19:02 Diperbarui: 6 Februari 2024   19:19 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Munculnya berbagai konflik yang melanda bumi Papua terus mengalami perlawanan ideologi politik yang sengit dan pemberontokan bersenjata menuntut kemerdekaan yang ditanggapi pemerintah dengan represif dan menjadikan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM) dengan tetap menerapkan kebijakan pembangunan yang bersifat kapitalis.

Lebih dari 30 tahun sejak 1963, Indonesia melancarkan operas militer di Papua untuk mempertahankan kekuasaan terhadap wilayah Papua dari kelompok pro-kemerdekaan, bahkan mengintimidasi rakyat Papua agar memilih berintegrasi dengan Indonesia. Selain itu, eskalasi operasi militer di Papua dilakukan untuk terus menggaruk sumber daya alam di Papua. Selama operasi militer ini terjadi banyak pelanggaran HAM.

Di era reformasi, Indonesia melakukan pendekatan akomodasi untuk mendapatkan dukungan rakyat Papua, sehingga diambil kebijakan dengan menghapus DOM pada tanggal 5 Oktober 1998. Namun sejauh ini belum satu pun pelanggaran HAM masa lalu yang diselesaikan, baik pelanggaran HAM ringan hingga yang berat. Masih banyak lagi konflik dan pelanggaran yang terus mewarnai bumi Cenderawasih tanpa henti.

Menengok lebih dalam rangkaian konflik tersebut, tentu masih dan sangat banyak yang belum direkonstruksi di sana dengan baik. Berbagai upaya pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan konflik mengalami perubahan dengan efek autokinetik dari waktu ke waktu.

Sebuah langkah untuk meredam potensi konflik yang berkepanjangan, maka diputuskanlah ketetapan MPR  No IV/1999 tentang GBHN dan ketetapan MPR No IV/2000 tentang rekomendasi kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini merupakan peralihan sistem pemerintahan sentralisasi menuju desentralisasi yang ditetapkan sebagai daerah otonomi khusus.

Kebijakan pemerintah tentang Otsus Papua dianggap sebagai jalan tol dalam melanggengkan kekuasaan ditengah maraknya konflik di Papua. Melalui berbagai gejolak dan perdebatan yang panjang serta-merta pemerintah dan DPR menetapkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Jilid I) 21 November 2001. Berlanjut pengesahan perubahan kedua atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Jilid II) 15 Juli 2021.

Namun, substansi otsus Papua itu sendiri tidak mencakup upaya penyelesaian seluruh akar konflik. Otsus hanya sebagai instrument normatif yang ditetapkan untuk terus memegang kendali atas Papua, bukan sebagai resolusi atas berbagai konflik dan pelanggaran. Proses dan legalitas integrasi Papua sama sekali tidak disinggung, sejauh ini realitas masih menunjukkan kuatnya pengaruh akar persoalan dalam konflik di Papua.

Gagasan pemetaan konflik pun beranjak dari refleksi pengalaman hidup Otsus Papua di mana sentralisasi telah menutup ruang partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, tetapi juga menyebabkan adanya ketimpangan distribusi pembangunan ke daerah sehingga muncul berbagai gejolak, diantaranya kekecewaan dan protes keras yang kerap kali disikapi secara represif.

Pengalaman yang terjadi di Papua telah memperlihatkan rentetan konflik yang  sangat sarat dengan berbagai ketimpangan dan perlakuan represif terhadap kelompok-kelompok yang dimarginalkan karena menentang kebijakan pemerintah yang otoriter dan kapitalis. Semua kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan, akselerasi dan pemberdayaan, semakin drastis membuahkan peta-peta konflik yang membooming di tanah Papua.

Selain itu, pemekaran 4 provinsi 17 November 2022 dianggap proyek paketan yang dilanggengkan. Akibat ketergesaan dalam meratifikasi Otsus Papua dan daerah otonomi baru (DOB). Walaupun secara sosiologis-politik, kebijakan pemekaran dan Otsus seharusnya tidak dilakukan karena mendapat penolakan dan perlawanan yang luas melalui unjuk rasa dari seluruh rakyat Papua.

Terkecuali, elit-elit Papua yang terlibat dalam skenario Otsus Papua dan pemekaran provinsi. Namun demikian, kebijakan tersebut justru memicu terjadinya eskalasi konflik. Konflik yang terjadi akibat kausalitas ini menjadi bumerang bagi rakyat Papua dan pada akhirnya telah mempengaruhi seluruh kelangsungan hidup rakyat dalam menuntut hak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun