Mohon tunggu...
Seno Rocky Pusop
Seno Rocky Pusop Mohon Tunggu... Penulis - @rockyjr.official17

सेनो आर पूसॉप जूनियर

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Wajah Baru Melihat Peta Konflik di Papua

22 Juni 2023   19:02 Diperbarui: 6 Februari 2024   19:19 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konspirasi internasional terjadi setahun kemudian dalam forum yang diprakarsai oleh Amerika Serikat melalui sebuah kesepakatan Bunker Plan (seorang bekas dubes AS yang mencontohkan cara plebisit untuk menguasai Hawaii atas perintah John F. Kennedy), maka New York Agreement 15 Agustus 1962 ditandatangani Belanda dan Indonesia untuk mengakhiri sengketa Politik Papua Barat dan sekaligus Belanda menyerahkan Papua dibawah kendali otoritas eksekutif sementara PBB.

Pada tanggal 1 Mei 1963 aneksasi Papua Barat dari Otoritas Pemerintahan Sementara PBB United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) diserahkan ke pangkuan Indonesia di Jayapura sesuai amanat New York Agreement. Aneksasi ini ditandai dengan upacara penyerahan dan pengibaran bendera merah putih untuk pertama kalinya di Irian Barat.

Sebelum Pepera dilaksanakan pemerntah Indonesia dibawah kendali Soeharto belum genap sebulan menjadi presiden, pada 7 April 1967 menandatangani akselerasi kontrak karya dengan Freeport-McMoRan Inc. untuk memulai eksploitasi tambang emas di Papua. Hal ini dilabeli sebagai kepentingan dan motif Amerika mendukung penyerahan Papua kepada Indonesia dan mengancam Belanda untuk menyerahkan wilayah Irian Barat.

Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang disahkan 10 Januari 1967, dalam penyusunan dan isinya serta-merta melegalkan Amerika untuk mengelola tambang di Papua. Kontrak karya ini sebagai kapitalisasi yang lambat laun menjadi salah satu akar konflik berkepanjangan dalam sengketa status tanah Papua.

Setelah itu, salah satu maklumat yang masih tersisa dari New York Agreement, yakni pemerintah Indonesia harus melaksanakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua. PBB mengutus wakilnya, Dr. Fernando Ortiz Sans ke Papua Barat 22 Agustus 1968 untuk mempersiapkan dan mengatur jalannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau tindakan pemilihan bebas.

Pada 14 Juli – 2 Agustus 1969, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice akhirnya digelar sebagai referendum yang menentukan apakah rakyat Papua harus tetap bergabung dengan Indonesia atau tidak. Sehingga dibentuklah Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang beranggotakan 1.026 orang yang mewakili sekitar 815.904 penduduk Papua.

Hasil Pepera diumumkan tanggal 2 Agustus 1969, Dewan Musyawarah Pepera (DMP) memilih agar Papua Barat tetap menjadi bagian dari bingkai Indonesia. Meski Irian Barat jatuh ke tangan Indonesia, rakyat Papua merasa hasil Pepera penuh kecurangan dan tidak mewakili hasrat yang seutuhnya menjadi “Act of No Choice”. Pepera dianggap hanya ditentukan oleh perwakilan kelompok masyarakat, bukan dengan mekanisme one man one vote. Tidak sah untuk dikualifikasi sebagai proses yang adil dalam penentuan nasib sendiri.

Bahkan tidak mengakui New York Agreement karena tidak secara resmi melibatkan rakyat Papua. Amerika dianggap terlibat dan bertanggung jawab sehingga keluarlah New York Agreement yang dinilai tidak menguntungkan rakyat Papua. Pemerintah Indonesia melakukan agresi dan intimidasi terhadap rakyat Papua. Dalam dokumen (PBB Annex I, A/7723) yang diungkapkan perwakilan PBB Dr. Fernando Ortiz Sans mengenai kecurangan Pepera, terungkap adanya invasi militer dalam upaya menjamin kemenangan Indonesia.

Hasil ini kemudian dikukuhkan oleh Majelis Umum PBB dalam sidang ke-24 pada tanggal 19 November 1969 yang dituangkan dalam resolusi nomor 2504. Pengesahan ini kemudian dijadikan landasan oleh pemerintah Indonesia untuk mempertahankan wilayah Papua bahwa seluruh proses Pepera sesuai ketentuan internasional dan hasilnya telah diterima oleh komunitas internasional.

Namun pada kenyataannya berbeda dengan rakyat pro-kemerdekaan yang menginginkan Papua membentuk negara sendiri dan berpisah dari kerangka Indonesia, tidak dapat menerima proses dan hasil Pepera. Argumentasi yang disampaikan didasarkan pada berbagai intimidasi yang dilakukan oleh otoritas dan militer Indonesia selama masa sosialisasi Pepera.

Buntut Pepera menyebabkan menguatnya gerakan sipil untuk memisahkan diri dari Indonesia. Terlepas dari tajamnya perbedaan argumentasi antara rakyat pro-integrasi dan rakyat pro-kemerdekaan di seluruh wilayah Papua, pada faktanya sejak peralihan kekuasaan telah terjadi banyak konflik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun