Pertama, terkait kebijakan perubahan undang-undang Otsus Papua periode pembangunan kedua, pemerintah pusat terkesan lebih sentralistik, top down, dan dominasi penuh dalam menyusun draf Otsus Papua. Pemerintah Papua, DPRP, MRP dan Masyarakat Papua terkesan tidak diberikan ruang demokratis untuk terlibat dalam memberikan pembobotan dalam penyusunan draf Otsus Papua.
Terbukti ada beberapa pasal yang diubah oleh pemerintah pusat tanpa adanya konsultasi publik dan dengar pendapatan rakyat Papua guna pemantapan draf Otsus Papua sesuai kebutuhan OAP sendiri yang didasarkan atas hasil evaluasi implementasi Otsus Papua 20 tahun pertama. Misalnya beberapa pasal yang berkaitan dengan kebijakan keuangan, kebijakan politik, dan kebijakan pemekaran DOB di Papua hal ini dilihat diatur dan rubah secara sepihak oleh pemerintah pusat. Sehingga akibatnya MRP Papua tidak terima dan akhirnya mengajukan banding uji materi undang-undang Otsus Papua di Mahkamah Konstitusi saat ini.
Kedua, terkait kebijakan keamanan, pemerintah pusat terkesan masih menggunakan pendekatan militer untuk meredam konflik Papua. Sehingga bukannya meredam konflik tetapi malah menciptakan eskalasi konflik Papua semakin tinggi lagi. Dalam kebijakan keamanan, pemerintah pusat terkesan tidak menetapkan status konflik Papua sebagai daerah darurat militer "daerah operasi militer" secara terbuka kepada publik, tetapi dalam praktiknya, fakta yang berlangsung di Papua membuktikan masih berkumandang perang dan pertumpahan darah antara pihak TNI/POLRI dan pihak TPN PB/OPM yang juga berdampak kepada rakyat sipil di Papua. Inilah yang penulis pandang sebagai kebijakan darurat militer sistemik (kebijakan keamanan tertutup) yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat. (Data:
https://news.detik.com/berita/d-5971019/kkb-di-papua-terus-berulah-telan-belasan-korban-jiwa-di-awal-2022)
Ketiga, terkait kebijakan penyelesaian dan perdamaian atas tindakan pelanggaran HAM berat di Papua, pemerintah pusat terkesan masih memainkan isu dialog damai sebagai wacana politik yang mempengaruhi situasi publik dan masyarakat Papua semata, tanpa adanya insiatif dan sikap konsisten dari pemerintah pusat untuk bersikap realistis dalam menyelesaikan konflik Papua secara bertanggung jawab dan bermartabat.
Mengingat isu dialog damai sepanjang tahun sudah diusulkan oleh berbagai pihak kepada pemerintah pusat sebagai resolusi ideal penyelesaian konflik Papua. Penulis menilai, entah dialog damai dalam skala nasional atau pun dialog damai dalam skala internasional, semua itu baik untuk memulihkan citra Indonesia di mata publik nasional maupun internasional, sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan di dunia ini. Langkah dialog inilah yang harus di lakukan oleh pemerintah pusat sebagai kebijakan perdamaian yang ideal untuk konflik Papua.
Terkait penanganan Dialog Damai Konflik Papua, kebijakan pemerintah pusat yang saat ini  telah memberikan kepercayaan kepada Komnas HAM RI bulan Mareth tahun 2022 (saat ini) sebagai tim investigasi, negosiasi, dan mediator dialog damai konflik Papua antara Jakarta dan Papua (dikutip: https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/nasional/20220309195028-12-769058/komnas-ham-jokowi-setuju-dialog-damai-dengan-opm/amp), penulis melihat langkah tersebut tidak ideal. Mengingat Komnas HAM RI adalah sebuah lembaga peradilan non yudisial yang masih berada di bawah naungan pemerintah pusat.
Sehingga penulis melihat langkah Komnas HAM ini juga tidak berdasar hukum dan belum ideal, karena Komnas HAM juga adalah bagian dari perpanjangan tangan negara, yang bersifat independen, tetapi dalam tindakannya, harus mendapatkan persetujuan dan perlindungan hukum oleh negara. Artinya bahwa jika pemerintah pusat memberikan amanat kepada Komnas HAM maka pemerintah pusat harus menetapkan amanat tersebut dalam bentuk Perpu atau peraturan pemerintah yang akhirnya dapat menjadi dasar hukum dan acuan bersama baik bagi Komnas HAM, pemerintah pusat, maupun pihak masyarakat Papua yang berkonflik sendiri. Sehingga arah langkah dari Komnas HAM dapat dipahami oleh semua pihak secara baik, guna menghindari muatan politik terselubung (independensi terjaga) untuk menghindari intervensi politik tertentu yang mungkin dapat mengacaukan agenda Komnas HAM yang di usung.
Untuk itu, dengan melihat insiatif pemerintah pusat melalui Komnas HAM maka, saran penulis, lebih idealnya, pemerintah pusat harus tetap bersikap terbuka, yaitu selain memberikan mandat kepada Komnas HAM, pemerintah pusat juga harus terbuka untuk memberikan ruang kepada Tim Pemantau Komisi Tinggi HAM PBB untuk turun bersama-sama meninjau persoalan konflik Papua. Sehingga hasil dari investigasi tersebut dapat ditemukan fakta otentik dan solusi penyelesaian yang ideal bagi Konflik Papua. Komnas HAM dan Komisi Tinggi HAM PBB bisa saling proaktif dan dapat mengkorelasikan data bersama-sama dan selanjutnya dapat memutuskan langkah penyelesaian konflik Papua yang ideal itu seperti bagaimana untuk selanjutnya hasilnya disampaikan kepada pemerintah pusat maupun pihak internasional.
Keempat, kebijakan pemekaran DOB Provinsi Papua dan Papua Barat menjadi beberapa provinsi baru, penulis melihat pemerintah pusat terkesan memaksakan kehendak politik secara sepihak, pertimbangan strategis intelijen, dan tidak objektif; (Baca: https://polkam.go.id/daerah-otonomi-baru-papua-untuk-kokohkan-nkri/) : Aspirasi pembentukan Daerah Otonomi Baru Papua dapat dilakukan salah satunya dengan mempertimbangkan kepentingan strategis nasional dalam rangka mengokohkan NKRI. Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, dalam acara Coffee Morning, di Kantor Kemenko Polhukam, Selasa(30/11).
Pemerintah pusat semestinya harus mempertimbangkan berbagai kemungkinan buruk dampak DOB bagi masyarakat Papua sendiri. Sebab sampai saat ini belum ada dasar ilmiah atau kajian ilmiah yang menunjukkan pemekaran kabupaten kota dan provinsi baru harus dimekarkan di Tanah Papua. Sesuatu yang dilakukan tanpa kajian ilmiah menunjukkan bahwa para elit Papua yang memperjuangkan pemekaran sedang mengajak masyarakat Papua untuk masuk dalam lorong kegelapan. Masyarakat di buat tidak tahu bagaimana dampaknya, ungkap Dr. Agus Sumule, Akademisi Unipa Manokwari, 3 Februari 2022/ https://suarapapua.com/2022/02/03/akademisi-unipa-pemekaran-prov. Untuk itu lebih baik pemerintah pusat lebih  fokus kepada penyelesaian akar masalah utama konflik Papua  terlebih dahulu, sehingga berbagai kebijakan dapat di atur secara bertahap, terarah, dan objektif secara berkelanjutan.
Artinya yang seharusnya menjadi agenda prioritas pemerintah pusat saat ini ialah penyelesaian kontradiksi gugatan dan uji materiil draf undang-undang Otsus Papua yang hari ini masih di gugat oleh MRP Papua di Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian agenda prioritas yang berikut ialah penyelesaian pelanggaran HAM Papua dan dialog damai konflik Papua. Bukan pemerintah pusat harus memaksakan kehendak politik untuk mendorong semua agenda kebijakan pembangunan harus berjalan bersamaan. Kebijakan ini akan tumpang tindih dan semakin mempersulit semua inisiatif penyelesaian konflik Papua secara menyeluruh. (Dikutip: https://nasional.sindonews.com/read/629247/15/mendagri-sebut-tahun-2022-ruu-pemekaran-papua-mulai-dibahas-1639566769)