Berdasarkan hasil analisis yang sudah penulis uraikan di atas, maka usulan intervensi (solusi) penyelesaian konflik Papua menurut hemat penulis ialah:
1. Pemerintah pusat harus lebih objektif dan realistis dalam melihat dan menetapkan kebijakan pembangunan di Papua.
2. Pemerintah pusat harus bersikap proaktif untuk melihat hal-hal substansial yang menjadi usulan gugatan uji materiil draf undang-undang Otsus Papua yang saat sedang di gugat oleh MRP Papua di Mahkamah Konstitusi (MK). Mungkin ada keterbukaan untuk kembali mengevaluasi ulang draf undang-undang Otsus Papua yang sedang di persoalkan oleh MRP Papua saat ini.
3. Pemerintah pusat harus segera menghentikan segala niat dan inisiatif kebijakan pemekaran DOB Provinsi di Papua. Sebab hal tersebut terkesan hannyalah insiatif kebijakan yang bersifat politis dan akan mengadu domba masyarakat Papua di Papua. Penulis melihat kebijakan pemekaran DOB ini hannyalah permainan elit politik Papua (elit lokal) bersama elit nasional untuk memperkeruh situasi konflik Papua saat ini. Kebijakan ini akan melahirkan konflik horizontal antar masyarakat Papua maupun perang kepentingan antar elit politik Papua yang cenderung akan menghegemoni masyarakat Papua untuk menjadi tumbal (korban) politik kepentingan elit lokal semata.
4. Jika pemerintah pusat saat ini sudah ambil inisiatif penyelesaian konflik Papua melalui jalan dialog damai yang di usung oleh Komnas HAM RI, maka penulis usulkan, pemerintah pusat segera menghentikan program operasi militer yang saat ini masih di jalankan di Papua, serta menarik kembali seluruh pasukan militer TNI/POLRI yang saat ini bergerilya dalam konflik bersenjata di Papua. Dan pemerintah pusat segera membuka ruang demokrasi dan humanis untuk menyelesaikan konflik Papua melalui dialog damai. Sebab pendekatan perdamaian tidak bisa di tekan oleh pendekatan militeristik, itu kekerasan. Lebih baik pemerintah pusat menggunakan pendekatan demokrasi dan humanis sebagai solusi ideal pendekatan perdamaian konflik Papua.
5. Terkait status dan kewenangan Komnas HAM yang dipercayakan oleh pemerintah pusat untuk bertindak sebagai tim investigasi, negosiasi, dan mediator dialog damai konflik Papua, penulis melihat bahwa belum ada acuan hukum yang jelas dalam menegaskan langkah Komnas HAM. Untuk itu pemerintah pusat perlu mengeluarkan Perpu atau peraturan pemerintah yang jelas terkait tugas, fungsi dan wewenang Komnas HAM dalam melaksanakan amanat dialog damai konflik Papua Sehingga hal tersebut dapat menjadi acuan mendasar dan langkah yang jelas untuk dipahami bersama baik bagi Komnas HAM, pemerintah pusat, maupun pihak masyarakat Papua yang berkonflik sendiri. Jika tidak, maka inisiatif penunjukan Komnas HAM ini masih bersifat politis dan tidak mendasar.
6. Pemerintah pusat juga harus bersikap terbuka untuk membuka ruang dan kebebasan bagi akses kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB maupun wartawan asing untuk masuk ke Papua meninjau kondisi objektif konflik Papua. Mengingat sikap ini sebagai bentuk pertanggungjawaban perintah pusat dalam menegaskan posisi Indonesia di mata dunia internasional sebagai negara yang konsisten dalam menegakkan demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di dunia ini. Dimana peran Komisi Tinggi HAM PBB ini akan berkolaborasi bersama peran Komnas HAM untuk melakukan tinjauan bersama melalui investigasi, negosiasi, dan mediasi untuk mendata fakta konflik Papua dan selanjutnya menentukan langkah penyelesaian konflik Papua yang ideal seperti apa dan bagaimana.
7. Solusi perdamaian konflik Papua, menurut hemat penulis, pendekatan yang ideal ialah Dialog Damai yang di mediasi oleh pihak ketiga, yaitu pihak netral. Pemerintah pusat harus mengundang pihak luar yang netral untuk melakukan intervensi konflik dan tata kelola konflik Papua secara demokratis dan humanis, sehingga dapat melahirkan solusi perdamaian yang dapat diterima oleh semua pihak yang berkonflik.
Sebab menurut penulis, peran Komnas HAM yang di tunjuk oleh negara sebagai mediator dialog damai, tidak ideal dalam konteks konflik Papua. Sebab posisi Komnas HAM adalah bagian dari perpanjangan tangan pemerintah pusat yang melakukan tugas independen non yudisial, yang mana akan memberikan laporan dan pertanggungjawaban kepada negara sendiri. Oleh karena itu harus ada pihak luar yang netral untuk mengintervensi konflik dan perdamaian konflik Papua. Peran Komnas HAM hanya bisa melakukan tugas investigasi, negosiasi dan mediasi untuk tujuan penguatan data pembanding bagi kepentingan pemerintah pusat untuk tujuan dialog damai yang dilaksanakan oleh pihak ketiga (pihak netral).
Demikian hasil analisis konflik Papua yang penulis kemukakan kepada semua pihak yang terlibat dalam konflik Papua. Bagi masyarakat Papua, ingat konflik Papua, awas elit politik nasional (elit Jakarta) dan elit politik Papua (elit lokal) mengadu domba masyarakat Papua atas dasar nilai kepentingan elit politik semata. Akhirnya masyarakat Papua yang menjadi korban sia-sia, tanpa adanya pencapaian pembangunan yang terarah, objektif, rasional, dan manusiawi di Papua.
Apakah Papua itu ladang konflik, apakah Papua itu ladang investasi, apakah Papua itu ladang korupsi, apakah Papua itu ladang kekuasaan/jabatan semata ??? Semua itu kembali kepada sikap masyarakat Papua dan pemerintah pusat sendiri. Semoga semua pihak mempunyai inisiatif baik untuk menyelesaikan konflik Papua secara baik, bertanggung jawab, dan bermartabat.