Yang menurut Galtung, Sikap adalah persepsi anggota etnis tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kelompok lain. Perilaku dapat berupa kerja sama, persaingan atau paksaan, suatu gerak tangan dan tubuh yang menunjukkan persahabatan atau permusuhan. Kontradiksi adalah kemunculan situasi yang melibatkan problem sikap dan perilaku sebagai suatu proses, artinya kontradiksi diciptakan oleh unsur persepsi dan gerak etnis-etnis yang hidup dalam lingkungan sosial. Secara sederhana, sikap melahirkan perilaku, dan pada gilirannya melahirkan kontradiksi atau situasi. Sebaliknya, situasi bisa melahirkan sikap dan perilaku (Rombostham, Wood, dan Miall, 2003: 10); dikutip, Novri Susan, MA, 2010, Pengantar Sosiologi Konflik.
Perspektif multidisipliner Galtung ini di rangkaikan menjadi satu perspektif dari berbagai terminologi ilmu sosial yang lahir dari tiga mazhab besar ilmu sosial yaitu positivisme (Aguste Conte, Emile Durkheim), humanisme (Wilhelm Dilthey, Max Weber), dan kritisisme (H.Marcuse, Adorno, Horkeimer, Habermas, Giddens, Mills), dalam melihat konteks konflik sosial yang terjadi.
Dimana perspektif positivisme melihat konflik sosial sebagai bagian daripada konflik perebutan kekuasaan atas sumber daya sosial semata, mengedepankan fakta objektif sosial, konflik alamiah dan fungsi positif konflik, yang harus di kelola secara realistis, rasional, dan ilmiah untuk kepentingan perubahan dan kemajuan pembangunan manusia ke arah yang lebih baik (pemahaman modernisme).
Kemudian perspektif humanisme melihat konflik sosial bukan hanya sebagai konflik kekuasaan, fakta sosial, konflik alamiah dan fungsi positif konflik semata, tetapi lebih menekankan kepada kepentingan nilai-nilai dan ide-ide dasar suatu komunitas sosial maupun individu yang diekspresikan sebagai jati diri yang harus di utamakan dalam tata kelola konflik dan penentuan kebijakan pembangunan yang lebih baik. Nilai-nilai dan ide-ide dasar ini meliputi, kepentingan etnisitas, bahasa, budaya, agama, dan geografis.
Sedangkan perspektif kritisisme lebih menekankan kepada makna positif tindakan yang dilahirkan dari kedua mazhab positivisme (modernisme) dan humanisme (kemanusiaan). Yaitu bagaimana perilaku dari kedua mazhab tersebut harus koheren dengan tata sosial konflik yang bersifat ideal dan manusiawi, berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan tata kelola konflik yang lebih baik.
Berbagai perbedaan dan pertentangan mazhab inilah, Galtung mencoba menyatukannya dalam satu perspektif analisis konflik yang bersifat komprehensif dan menyeluruh, yaitu analisis konflik multidisipliner. Sehingga fakta sosial konflik dapat dilihat secara baik guna dicapai suatu tujuan praktis yang menjadi solusi positif untuk menyelesaikan konflik sosial secara menyeluruh.
Untuk itu, terkait persoalan konflik Papua, penulis melihat bahwa berbagai dinamika konfliknya perlu untuk di kaji secara mendetail dan objektif berdasarkan terminologi sosial konflik yang tepat, guna menemukan sebuah pemahaman dan solusi yang baik untuk mencapai langkah penyelesaian yang tepat. Solusi yang penulis maksudkan ialah, pendekatan penyelesaian yang benar-benar murni dan bebas dari kepentingan politik suatu kelompok tertentu. Sebuah langkah penyelesaian yang terlihat netral, berdasarkan fakta objektif, rasional, dapat di ukur, serta berlandaskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip keilmuan, agama, dan kemanusiaan yang hakiki.
Mengingat berbagai langkah pendekatan penyelesaian konflik Papua sudah beberapa kali di teliti dan di ajukan oleh beberapa pihak yang berkompeten, diantaranya seperti, pihak lembaga gereja, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga perguruan tinggi (akademisi), pemerhati, Komnas HAM, dan juga lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI).
Misalnya LIPI pernah dalam Jurnal Papua Road Mapnya, telah memetakan fakta konflik Papua dan menemukan beberapa sumber (akar) konflik Papua, yang diantara seperti, kegagalan pembangunan oleh pemerintah, pelanggaran HAM berat di masa orde baru, transmigrasi dan diskriminasi sosial, serta status sejarah politik Papua di masa lalu. Bahkan LIPI juga telah mengajukan sebuah resolusi konflik Papua dalam skema konsep Dialog Damai Jakarta-Papua, yang menurut hemat LIPI, adalah langkah strategis untuk menyelesaikan akar persoalan konflik Papua yang sudah di temukan. Tetapi usulan tersebut tetap saja masih di abaikan oleh berbagai pihak, terutama pemerintah pusat yang terkesan selalu menghindar karena alasan politik tertentu.
Untuk itu, dengan melihat berbagai dinamika konflik Papua saat ini, terutama pasca Implementasi Otsus Papua selama 20 tahun pertama yang berakhir pada tahun 2021 kemarin, dan telah di rubah undang-undangnya menjadi UU No. 2 tahun 2021 tentang Otsus Papua, maka kompleksitas persoalan Papua bukannya semakin berkurang dan terselesaikan, tetapi malah menciptakan eskalasi konflik yang semakin meningkat dan kian kompleks di Papua.
Dengan melihat kompleksitas persoalan konflik Papua yang dikemukakan maka, penulis coba menganalisisnya melalui dimensi sikap, perilaku dan kontradiksi (situasi) konflik masyarakat Papua pasca resolusi Otsus Papua 20 tahun pertama, dan juga sikap, perilaku, dan kontradiksi (situasi) konflik pemerintah pusat dalam menanggapi sikap dan perilaku masyarakat Papua tersebut, yang akhirnya menciptakan konstelasi, pertentangan, kontradiksi, dan eskalasi konflik Papua yang semakin memanas saat ini. Serta langkah-langkah penyelesaian konflik Papua yang ideal.