Perlindungan hak pendidikan anak dalam konteks migrasi paksa tidak dapat dipisahkan dari kerangka hukum internasional yang telah ada. Salah satu dokumen paling penting yang mengatur hak anak adalah Konvensi Hak Anak (CRC), yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1989. CRC menegaskan bahwa setiap anak berhak atas pendidikan dan harus diberi akses yang setara tanpa diskriminasi, termasuk anak-anak yang terpaksa migrasi akibat konflik atau bencana. Selain itu, dalam konteks perlindungan pekerja migran, Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarga Mereka, yang diratifikasi oleh sejumlah negara, juga menekankan perlunya perlindungan bagi anak-anak pekerja migran, termasuk dalam akses pendidikan (Alvianto & Sutrisno, 2023).
Penelitian oleh Anggraeni dan Sabrina (2018) menyoroti pentingnya model nota kesepahaman antara negara asal dan negara tujuan sebagai salah satu upaya untuk melindungi hak konstitusional buruh migran, yang mencakup akses pendidikan bagi anak-anak mereka. Hal ini sangat relevan, mengingat banyak anak-anak migran yang menjadi korban ketidakadilan dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan adanya kerjasama antar negara, diharapkan hak-hak pendidikan anak-anak dapat terjamin dan dipenuhi.
Daniah dan Apriani (2018) juga menunjukkan bahwa kebijakan nasional anti-trafficking memainkan peran penting dalam melindungi hak-hak anak dalam migrasi internasional. Kebijakan tersebut tidak hanya bertujuan untuk mencegah praktik perdagangan manusia, tetapi juga untuk memastikan bahwa anak-anak yang terjebak dalam situasi migrasi paksa mendapatkan perlindungan yang memadai, termasuk akses ke pendidikan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa perlindungan hak anak harus menjadi bagian integral dari kebijakan migrasi, dan bukan hanya respons terhadap masalah keamanan atau ketertiban umum.
Dalam kajian yang lebih luas mengenai migrasi dalam perspektif hubungan internasional, Dewi (2024) menekankan bahwa perlindungan hak pendidikan anak migran harus dipandang sebagai tanggung jawab bersama dari semua negara. Pengembangan kerangka hukum yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan anak-anak migran sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pendidikan yang berkualitas bagi mereka. Hal ini mencakup penyediaan sumber daya yang cukup dan kebijakan yang mendukung integrasi sosial anak-anak migran ke dalam sistem pendidikan lokal.
Perlindungan hak asasi manusia juga menjadi fokus dalam studi Gustini et al. (2023), yang membahas peran lembaga hukum dalam melindungi pengungsi dalam konteks hukum internasional. Dalam konteks ini, penting bagi negara penerima untuk memiliki sistem hukum yang tidak hanya menghormati hak asasi manusia, tetapi juga memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak migran, termasuk dalam akses pendidikan. Dalam situasi di mana anak-anak migran sering kali menghadapi diskriminasi dan eksklusi, lembaga hukum harus berfungsi sebagai penjamin bagi pemenuhan hak-hak tersebut.
Dalam konteks lebih lanjut, Irianto et al. (2011) mengungkapkan bahwa akses keadilan bagi pekerja migran, termasuk pendidikan, merupakan salah satu aspek penting dalam memahami dinamika migrasi global. Penelitian ini memberikan gambaran tentang bagaimana pengalaman perempuan pekerja domestik Indonesia di Uni Emirat Arab mencerminkan tantangan dalam mendapatkan akses pendidikan yang layak. Keterbatasan ini tidak hanya mempengaruhi anak-anak migran secara langsung tetapi juga berdampak pada generasi mendatang.
Iskandar (2012) dalam karyanya mengenai hukum HAM internasional juga menegaskan bahwa perlindungan hak-hak anak dalam konteks migrasi harus menjadi prioritas. Ini termasuk penyediaan pendidikan yang inklusif dan berkualitas, yang menjadi hak dasar setiap anak tanpa memandang status migrasinya. Konsepsi ini menekankan bahwa pendidikan adalah alat untuk memberdayakan anak-anak, memberi mereka kemampuan untuk berkontribusi pada masyarakat, serta mengurangi ketidakadilan sosial.
Terakhir, studi oleh Safitri dan Burhanuddin (2024) mengenai pelanggaran HAM dalam konteks migrasi menunjukkan bahwa kondisi migrasi yang berisiko tinggi, seperti yang dialami oleh warga negara Ethiopia di perbatasan Arab Saudi-Yaman, menuntut perhatian serius terhadap perlindungan hak-hak anak. Dalam situasi seperti ini, hak pendidikan sering kali terabaikan, sehingga penting bagi lembaga internasional dan negara-negara penerima untuk memperkuat mekanisme perlindungan agar anak-anak tidak hanya selamat secara fisik, tetapi juga mendapatkan pendidikan yang layak.
Dengan merujuk pada berbagai sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan teori mengenai perlindungan hak pendidikan anak dalam konteks migrasi paksa harus mengintegrasikan pendekatan hukum internasional, kebijakan nasional, dan respons sosial yang komprehensif. Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak anak terlindungi dan diakui, serta akses pendidikan yang berkualitas dapat diperoleh oleh anak-anak migran di seluruh dunia.
- Pembahasan
Perlindungan hak pendidikan anak dalam konteks migrasi paksa merupakan isu kompleks yang melibatkan banyak dimensi hukum, sosial, dan politik. Dalam banyak kasus, anak-anak yang terpaksa berpindah akibat konflik, kekerasan, atau bencana alam sering kali mengalami gangguan serius dalam pendidikan mereka. Hal ini bukan hanya berdampak pada mereka secara individu, tetapi juga mempengaruhi perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat di mana mereka tinggal. Oleh karena itu, penting untuk memahami tantangan yang dihadapi dan mencari solusi yang efektif.
Keterbatasan Akses Pendidikan